“He’s
saying goodbye, without goodbye. Can you see what I mean here…”
Restu
menutup diari-nya sejenak. Ia pejamkan mata. Lelah setelah seharian berkutat
dengan pekerjaan yang seakan tiada habisnya. Konsolidasi lapangan, evaluasi
ulang, meeting, rechecking schedule, dan lain sebagainya yang memaksanya untuk tinggal
di kantor hingga pukul 9 malam. Pun begitu, ia tersenyum, sedikit senang karena
target proyeknya 85% terpenuhi. Yes, yes, yes, serunya dalam hati. Si bos pasti
tidak sanggup untuk memberikan pujian lagi. Maklumlah, untuk proyek yang agak becek
dan highly risky seperti ini, jarang
ada yang bersedia menerima. Lagi-lagi Restu. Mungkin karena ia masih single dan tipe fighter. Single fighter.
Bolehlah
dalam urusan kerjaan Restu dikatakan beruntung. Hanya saja, dalam percintaan, Nampaknya
dewi fortuna kurang berpihak padanya. Ah, kalau saja ia sedikit menunjukkan isi
hatinya. Kalau saja ia mencegahnya pergi. Kalau saja saat itu ia mengatakan
sesuatu… Restu ingin tidur di sofa malam ini. Sofa dekat jendela kamarnya di
ruang attic. Restu merebahkan
dirinya, ia menerawang. Wajahnya selalu terbayang. Matanya. Restu selalu takluk
melihat jendela hatinya Faris. Matanya, aku suka matanya, bisiknya dalam hati. Kenapa
aku jatuh cinta oleh hal yang sepele ini? Entahlah, aku mau tiduuuurrrrr….
***
Pukul 04.36.
Handphone-nya bergetar lembut, kala telpon masuk. Restu gelagapan. “Hhalo, ya..Restu,”
sembari menguap, menahan kantuk, tiba-tiba matanya segera menjadi awas. Aware. Seseorang di ujung sana mengabarkan
berita tak sedap. “Kapan? Maksudku dimana?”
Sedetik kemudian, ia menyambar
jaketnya dan melajukan ninjanya ke arah jalan protokol. Tujuannya satu. RS
Borromeus. Adalah Dian, yang menelponnya barusan. Dian mengabarkan adiknya yang
mengalami kecelakaan motor dan sedang menjalani operasi. Dian meminta doa Restu
untuk sang adik. Adik yang sangat disayanginya, Faris. Sementara keluarga Dian
sudah berkumpul di RS yang dimaksud. Begitulah kurang lebih isi pembicaraan
tadi.
Dian adalah kakak tingkatnya semasa
kuliah yang menjadi teman akrab karena satu organisasi, satu kosan, dan kini
bekerja di perusahaan yang sama. Dian sangat berharap Restu benar-benar menjadi
adiknya. Dan dengan adanya peristiwa ini, entahlah…. Restu tak ingin berpikir
macam-macam. Ia berdoa dan terus berdoa. Sudah lebih dari 6 jam sejak operasi
dimulai. Pun sejak ia tiba di RS, ia menghibur Dian dan keluarganya, berusaha
menabahkan dan membesarkan hati mereka. Selalu berada disamping Dian yang
kondisinya tak jauh dari ibundanya, shock dan sembab karena kebanyakan
menangis.
Aslinya, jauh dalam lubuk hati
Restu, ia menyalahkan dirinya karena tak bersikap peka. Tak bisa membaca yang
tersirat dalam nuansa. Kini penyesalan bertahta di pelupuk mata. Rasa bersalah
karena ia tak jua memberi keputusan pada Faris..
***
Restu tersadar dari lelapnya, tatkala
Dian mengusap lembut bahunya. Entah sudah berapa jam ia di RS ini, proyek
apapun harus menunggu, karena ia sudah meminta izin tak masuk hari ini. “Faris
sudah siuman,” Dian tersenyum matanya berkaca-kaca, “ingin bicara denganmu,
katanya.”
Tak menunggu lama, Restu segera beranjak
menuju ruang pemulihan dan mengenakan pakaian khusus pengunjung bezuk. Ia termangu
di lorong kamar, matanya tertuju pada seseorang yang terbaring dengan monitor, infusan
dan selang dimana-mana. Ia trenyuh, tak kuat menahan rasa. Menunduk, dan imaji menyerbu
berkelebatan dalam otaknya. Imaji tentang Faris..
Terduduk di samping Faris, yang
rupanya jatuh tertidur, ada banyak yang ingin ia ungkapkan, ada saatnya untuk
mengatakan apa yang ada di pikirannya dengan jujur, ada banyak… namun tak satu
patah kata pun meluncur. Hanya memandang mata Faris, yang kini sudah terjaga…
dapat memandang mata itu kembali, hatinya sudah basah oleh puja-puji pada Tuhan…
Terima kasih ya Rabb… Terima kasih..
Subuh yang dingin di Bogor, 20 Sept 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar