Rabu, 19 September 2012

Roman Picisan




                “He’s saying goodbye, without goodbye. Can you see what I mean here…”
                Restu menutup diari-nya sejenak. Ia pejamkan mata. Lelah setelah seharian berkutat dengan pekerjaan yang seakan tiada habisnya. Konsolidasi lapangan, evaluasi ulang, meeting, rechecking schedule, dan lain sebagainya yang memaksanya untuk tinggal di kantor hingga pukul 9 malam. Pun begitu, ia tersenyum, sedikit senang karena target proyeknya 85% terpenuhi. Yes, yes, yes, serunya dalam hati. Si bos pasti tidak sanggup untuk memberikan pujian lagi. Maklumlah, untuk proyek yang agak becek dan highly risky seperti ini, jarang ada yang bersedia menerima. Lagi-lagi Restu. Mungkin karena ia masih single dan tipe fighter. Single fighter.
                Bolehlah dalam urusan kerjaan Restu dikatakan beruntung. Hanya saja, dalam percintaan, Nampaknya dewi fortuna kurang berpihak padanya. Ah, kalau saja ia sedikit menunjukkan isi hatinya. Kalau saja ia mencegahnya pergi. Kalau saja saat itu ia mengatakan sesuatu… Restu ingin tidur di sofa malam ini. Sofa dekat jendela kamarnya di ruang attic. Restu merebahkan dirinya, ia menerawang. Wajahnya selalu terbayang. Matanya. Restu selalu takluk melihat jendela hatinya Faris. Matanya, aku suka matanya, bisiknya dalam hati. Kenapa aku jatuh cinta oleh hal yang sepele ini? Entahlah, aku mau tiduuuurrrrr….

***

          Pukul 04.36. Handphone-nya bergetar lembut, kala telpon masuk. Restu gelagapan. “Hhalo, ya..Restu,” sembari menguap, menahan kantuk, tiba-tiba matanya segera menjadi awas. Aware. Seseorang di ujung sana mengabarkan berita tak sedap. “Kapan? Maksudku dimana?”
Sedetik kemudian, ia menyambar jaketnya dan melajukan ninjanya ke arah jalan protokol. Tujuannya satu. RS Borromeus. Adalah Dian, yang menelponnya barusan. Dian mengabarkan adiknya yang mengalami kecelakaan motor dan sedang menjalani operasi. Dian meminta doa Restu untuk sang adik. Adik yang sangat disayanginya, Faris. Sementara keluarga Dian sudah berkumpul di RS yang dimaksud. Begitulah kurang lebih isi pembicaraan tadi.
Dian adalah kakak tingkatnya semasa kuliah yang menjadi teman akrab karena satu organisasi, satu kosan, dan kini bekerja di perusahaan yang sama. Dian sangat berharap Restu benar-benar menjadi adiknya. Dan dengan adanya peristiwa ini, entahlah…. Restu tak ingin berpikir macam-macam. Ia berdoa dan terus berdoa. Sudah lebih dari 6 jam sejak operasi dimulai. Pun sejak ia tiba di RS, ia menghibur Dian dan keluarganya, berusaha menabahkan dan membesarkan hati mereka. Selalu berada disamping Dian yang kondisinya tak jauh dari ibundanya, shock dan sembab karena kebanyakan menangis.
Aslinya, jauh dalam lubuk hati Restu, ia menyalahkan dirinya karena tak bersikap peka. Tak bisa membaca yang tersirat dalam nuansa. Kini penyesalan bertahta di pelupuk mata. Rasa bersalah karena ia tak jua memberi keputusan pada Faris..

***
Restu tersadar dari lelapnya, tatkala Dian mengusap lembut bahunya. Entah sudah berapa jam ia di RS ini, proyek apapun harus menunggu, karena ia sudah meminta izin tak masuk hari ini. “Faris sudah siuman,” Dian tersenyum matanya berkaca-kaca, “ingin bicara denganmu, katanya.”
Tak menunggu lama, Restu segera beranjak menuju ruang pemulihan dan mengenakan pakaian khusus pengunjung bezuk. Ia termangu di lorong kamar, matanya tertuju pada seseorang yang terbaring dengan monitor, infusan dan selang dimana-mana. Ia trenyuh, tak kuat menahan rasa. Menunduk, dan imaji menyerbu berkelebatan dalam otaknya. Imaji tentang Faris..
Terduduk di samping Faris, yang rupanya jatuh tertidur, ada banyak yang ingin ia ungkapkan, ada saatnya untuk mengatakan apa yang ada di pikirannya dengan jujur, ada banyak… namun tak satu patah kata pun meluncur. Hanya memandang mata Faris, yang kini sudah terjaga… dapat memandang mata itu kembali, hatinya sudah basah oleh puja-puji pada Tuhan… Terima kasih ya Rabb… Terima kasih..


Subuh yang dingin di Bogor, 20 Sept 2012




Tidak ada komentar:

Posting Komentar