Tampilkan postingan dengan label simple story. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label simple story. Tampilkan semua postingan

Senin, 27 April 2015

Senja di Batas Kota (Part 7) engl.vers

She lay on the grass champ elyesees, covering her eyes with sunglasses and enjoying the morning sun when a middle-aged Caucasian man came to her and smiled.

lay down a while in champ elysee garden

"Sprechen Sie Deutsch?" (Do you speak German?)
"Ist dies der weg nach to Bogor?" (Is this the way to Bogor?)
Mala immediately sat down, removed her sunglasses, and hugged him. Her father who had not been met. Her father is a German, had come to pick Mala in Eiffel. She was very nostalgic and want to tell him a lot.
"Guten morgen Papa. Wie geht es Ihnen? "(Good morning, Dad. How are you?)
"Good. Why you never came to see papa? " As he ruffled hair Mala," already busy ya now. Say you become a celebrity in Indonesia. "

Papa and Mala are both smiling. They talked about many things while visiting the Eiffel Tower, and out of the art museum and last visit Monalisa painting.

"Do you still love mama? Why never intended to reunited? We all miss you guys together again. "
Papa looked at faraway, can only smile like typical parent. "Mala will grown, then also you will understand. There are things that are better not to be together. Mama would have been much better. Now, tell me, is mama health? Aunt and your sister? You already have someone? "

She was in no mood to tell stories. "Papa, please give one piece of advice to tackle this thorny pa .."
"What makes the issue complicated is that man itself. You are making it complicated and convoluted."
Without further asked, Dad just said, "You just have to be yourself. Do whatever your conscience. That is what will make you happy, my sweet. "

Mala tried to absorb the words. Slowly, she took a deep breath and realized the mistake she had done. But how she should straighten out the error? How can she straighten it? You know, sometimes the mind is not necessary to resolve all the issues detailed in this world. You just have to try his best, then pray everything to God. He is the Almighty.


***

March 2015.
That evening, little rain fell throughout West Germany, precisely in Frankfurt, home to Mala's dad. Mala decided to accompany her father a short stay for 1 month. Someon knocked the door with a 4/4 rhythm.



raining outside ...

Senja di Batas Kota (Part 7)



Ia berbaring di atas rumput champ elyesees, menutup matanya dengan kacamata hitam dan menikmati sinar matahari pagi ketika seorang pria bule paruh baya mendatanginya dan tersenyum.

lay down a while in champ elysees garden

Sprechen Sie Deutsch?” (Apakah Anda dapat berbahasa Jerman?)
Ist dies der weg nach Bogor?” (Apakah ini jalan ke Bogor?)
Mala segera duduk, membuka kacamata hitamnya, dan langsung memeluk pria itu. Papanya yang sudah lama tak ditemuinya. Papanya yang orang Jerman, sengaja datang menjemput Mala di Eiffel. Ia sangat kangen dan ingin bercerita banyak.

Guten morgen Papa. Wie geht's, Papa?” (Selamat pagi, Papa. Bagaimana kabarmu?)

“Baik. Kamu kenapa tidak pernah datang menjenguk papa?” seraya mengacak-acak rambut Mala, “sudah sibuk ya sekarang. Katanya kamu jadi selebritis di Indonesia.”

Papa dan Mala sama-sama tersenyum. Walking around in Paris all day long. Mereka bercerita banyak hal sembari mengunjungi menara Eiffel, keluar masuk art museum dan terakhir mengunjungi lukisan Leonardo da Vinci yang terkenal, Monalisa.

“Apa papa masih sayang sama mama? Kenapa tak pernah berniat rujuk? Kami semua rindu kalian bersama-sama lagi.”

Papa menerawang jauh, hanya dapat tersenyum khas orangtua. “Mala sudah dewasa, nanti juga kau akan mengerti. Ada hal-hal yang lebih baik tidak untuk bersama. Mama pasti jauh lebih baik. Sekarang, ceritakan sama Papa, mamamu sehat? Tante dan adikmu? Kamu sudah ada calon pendamping?”

Ia sedang tak ingin bercerita. “Berikan Mala satu nasihat untuk menghadapi masalah pelik ini pa..”
“Yang membuat masalah pelik adalah manusia sendiri. Kamu yang membuatnya rumit dan pelik." 

Tanpa ditanya lebih lanjut, papa hanya bilang, “Kamu hanya harus menjadi dirimu sendiri. Lakukan sesuai kata hati nuranimu. Itulah yang akan membuatmu bahagia, manisku.”

Mala mencoba meresapi kata-kata itu. Perlahan, ia menarik napas dalam dan menyadari kesalahan yang telah ia perbuat. Namun bagaimana ia harus meluruskan kesalahan itu? Dengan cara bagaimanakah ia membereskan hal itu? Kau tahu, kadang tidak diperlukan pikiran  mendetail untuk menyelesaikan segala masalah di dunia ini. Kau hanya harus berusaha semampunya, kemudian pasrahkan segalanya kepada Allah. Dialah yang Mahakuasa lagi Mahaberkehendak.


***


Maret 2015.

Sore itu, hujan kecil turun di seantero Jerman Barat, tepatnya di Frankfurt, tempat tinggal papa Mala. Mala memutuskan tinggal sebentar menemani papanya selama 1 bulan. Pintu diketok dengan irama 4/4.

raining in Frankfurt

Senja di Batas Kota (Part 6)


Percakapan itu masih terngiang kembali.
“Ibu ngga akan pernah setuju kamu berpacaran apalagi menikah dengan gadis proyek itu. Dia itu ngga cocok sama ibu. Dia ngga akan menjadi istri dan ibu yang baik bagi anak-anak kamu. Kamu tak perlu mengajar-ngejarnya lagi. Ibu sudah menjodohkanmu dengan Dinda, penerus pimpinan Uniheart.”

Meskipun sudah berkepala tiga, di hadapan ibunya, Dio merasa menjadi anak kecil yang selalu diurus dan diatur ibunya, tak punya kebebasan menentukan pilihan. Kadang ia ingin pergi saja dari rumah ini. Tapi ia begitu sayang pada ibunya. Siapa yang akan merawat ibu dan menemaninya nanti? Ia anak satu-satunya. Ayahnya sudah lama menikah lagi dan tinggal dengan istri mudanya. Dio serba salah.

“Bu, tolonglah bu. Sekali ini saja Dio ingin menentukan pilihan hati Dio. Selama ini ibu yang memiliki kuasa atas semua keputusan hidup yang Dio jalani. Sungguh beberapa tidak menghasilkan kebahagiaan yang ibu inginkan pada Dio. Sekali ini saja bu… Dio mohon..”
Ibu berpaling ke jendela, tak tega memandang Dio yang kini berlelehan air mata. Suasana dilematis ini bukannya tak pernah ia rasakan. Kini, ia seperti berada di posisi orangtuanya dahulu yang melakukan hal yang sama dengan yang ia lakukan. Apakah ia akan mengorbankan kebahagian anaknya, demi harta dan tahta? Hidupnya sudah cukup menjadi pelajaran untuk tidak melakukan hal yang sama.

“Ibu, ananda mohon izin dan do’a…”
Ibu berurai air mata, masih tak mau menatap Dio, “Pergilah anakku. Pergi temukan kebahagiaanmu..”

***

Dio menemui Mala, dalam suatu jadwal penerbangan yang sempit di Singapura. Mala hendak pergi ke Inggris, untuk mengambil masternya. Dio memohonnya untuk bertemu sebentar. Maka mereka berjanji untuk bertemu ketika Mala transit.


memorable place at the time

“Seharusnya kukatakan sejak dulu. Mala, maafkan aku. Selama ini aku tidak menjadi tuan atas nuraniku. Aku sengaja menghinamu, selalu menolak pekerjaanmu, karena dengan begitu aku bisa melihatmu lebih lama. Bisa menutupi perasaanku yang sebenarnya. Padahal aku menipu diri sendiri. Kelakuanku yang demikian, tak juga menghapuskan perasaanku padamu, Mala..” untuk pertama kalinya Mala melihat laki-laki itu meruntuhkan tembok kesombongan dalam dirinya. Ia trenyuh.
Mala tersenyum kaku, merasa tersanjung. Ia sudah memaafkannya, dalam hati ia selalu memaafkannya.

“Maukah menikah denganku?”

“Aku sudah memaafkanmu, pak. Tapi untuk menikah. Mungkin belum… aku ingin menggapai apa yang sudah kucita-citakan sejak dulu.”

Penolakan halus. Apa yang harus kulakukan sekarang? Dengan kata-kata itu, berakhirlah pertemuan mereka.

“Aku akan menjemputmu Mala. Pada saatnya nanti kau akan tahu janjiku. Ingatlah itu baik-baik.”
Mala berlalu pergi meninggalkan Dio yang terpaku. Gadis itu pergi mengajar karir dan cita-citanya. Ia tidak bisa dengan egois menghentikannya. Ia rapuh. Tak tahu apa yang akan dilakukannya sekarang. Ketika restu sudah didapat dan semua jalan dilancarkan, jika Tuhan belum berkehendak, maka segalanya tak mungkin terjadi. Belum terjadi setidaknya.. Dio pergi. Ia akan pergi dan tak kembali untuk mengobati luka hatinya. Sampai ia bisa pulih menghadapi dunia. Ia akan minta pindah. Selamat jalan hatiku… selamat tinggal Indonesia…untuk sementara, hingga aku bisa tegak menghadapi dunia..


^^^

2015.
Setahun berlalu sejak pertemuan terakhir mereka. Ia sudah jarang menyelam, fokus dengan master-nya. Begitupun Dio. Sejak itu, tak pernah ada email atau berita apa pun. Rere kadang berkomentar sebal, bahwa Mala, kan sudah dewasa, tapi untuk memutuskan pilihan hidupnya saja susahnya minta ampun: antara Roni dan Dio. Yang menderita adalah mereka bertiga akibat kegamangan Mala dalam membuat keputusan yang tegas.

Mala berdalih, bahwa ia sudah tidak memiliki perasaan apa pun terhadap Roni. Pria itulah yang masih mengharapkannya. Ia tak menyalahkannya. Mencintai adalah hak pribadi. Ia tak bisa melarang seseorang untuk mencintai orang lain karena itu akan membuat mereka bahagia. Rere berkata sebal, terserahlah. Lalu bagaimana dengan Dio. Pusing. Ia tak mau membahas mereka. Sekarang ia hanya ingin bekerja dan menyelesaikan master. Sudah itu bekerja lagi, entah pulang ke Indonesia, entah di sini. Dimanapun tak jadi masalah, pikirnya enteng. Tapi mama selalu bertanya kapan pulang.. dan ia sudah lama tak berjumpa dengan papanya di Jerman. Esok, ia akan membeli tiket untuk pergi ke Jerman. Sebelumnya akan melihat menara Eiffel yang terkenal itu.

tiket apapun yang didapat, just so be it.

Senja di Batas Kota (Part 5)


restaurant with a nice foyer, jazzy.

Senja di Batas Kota (Part 4)




Mama menjemputnya di bandara dan tante Hani memberinya sekotak coklat sebagai hadiah selamat datang, mereka sepertinya sehat dan masih selalu meributkan kemacetan yang seperti tiada akhir. Mala bersyukur.




Tante Hani selalu tahu apa yang Mala sukai:)

“Gimana proyeknya?” Tante Hani mengalihkan pembicaraan dari topik kemacetan. Seraya meninggalkan bandara menuju Jakarta.

“Oke saja tan, tinggal ketemu wartawan saja besok,” Mala berusaha biasa saja, meski hatinya sedikit kelam, “setelah itu selesai.”

“Oh. Mama seneng deh dengarnya. Mulai bulan ini kamu stay di Bogor lagi, kan? Jangan sering-sering tinggalin mama dong, Mala” mama merajuk, seraya berbisik di kuping Mala katanya papa bangga kamu bisa bikin sesuatu kaya gitu. Tante Hani berdeham. Mala tersenyum. Sangat khas keluarganya. Ia rindu mereka. Ia juga kangen Rere. Anak itu belum membalas email terakhirnya dua hari kemarin. Mungkin sedang sibuk praktek. 

“Iya Ma. Terima kasih…” hanya itu yang ingin Mala ucapkan saat ini. Entah kenapa ia menjadi melankolis, menatap ke luar tol Jakarta yang kini digelayuti awan yang mendung. Mala kembali untuk konferensi pers jalan tol di Jakarta. Acara itu dihadiri oleh petinggi-petinggi negeri, pejabat, bos-bos besar, staf Mala, kementerian yang terlibat, para awak media dalam dan luar negeri dan tentunya Mala. Tentunya ada banyak kilatan foto nanti, maka ia harus tampil sebaik mungkin, sebagaimana kerja professional terakhirnya dalam suatu proyek. Tentu saja Dio akan hadir disana. Ia harus tegar.

Sebenarnya tidak ada yang salah sih. Lancar. Teramat lancar malahan. Beberapa orang penting dan stakeholder memberikan sepatah dua patah kata yang patah-patah untuk bahan tulisan awak media. Mala hanya memberi pernyataan yang mengungkapkan kegembiraannya bahwa proyek ini selesai tepat waktu. Itu saja. 

Pejabat dan semua pihak hampir semuanya puas atas kerja tim Mala. Sebagian besar menyatakan keterkejutannya, dalam arti positif, bahwa Penanggung jawabnya adalah seorang perempuan yang masih muda (pula!), dan di akhir acara, beberapa media malah menghampirinya dan berniat untuk membuat video FT khusus tentang Mala. Itu adalah beberapa hal baik yang terjadi. Para petinggi itu juga ada yang sengaja bertukar kartu nama dengan Mala hanya untuk mengetahui nomor telepon asistennya (Mala mencantumkan nomor telepon asistennya di kartu namanya, bukan nomor aslinya). Dan plus, Mala tampil sebaik mungkin dengan gaun baru rancangan seseorang yang dipaksa untuk dipakai Mala oleh mamanya. Gaun itu berwarna biru lembut dan sekaligus memberikan efek intensif. Yang melihatnya akan terkesima saat itu juga.

Harusnya Mala bahagia. Tapi ternyata tidak. Sepanjang acara, Dio terlihat sengaja menghindari Mala. Hanya saling menyapa di awal acara sebagai bagian dari kesopanan belaka. Dio berdiri di pinggir seksi kementerian, tanpa pernah berpaling padanya. Mala tersisih. Ia kecewa, sedikitnya ia masih berharap Dio akan menyuruhnya push-up, bercanda tentang keberhasilannya mengerjakan proyek lokal, menyindirnya, atau apalah yang menandakan reaksi normalnya jika bertemu Mala. Well, itu tak terjadi. Dio hanya tersenyum manis, berbasa-basi sebentar mengenai kabar dan cuaca, serta kemacetan dan hujan. Lalu ia pergi, bergabung bersama kawan-kawannya di sana. Tak terjangkau.
Mala tak bisa berbuat apa-apa, jadi ia hanya membalas dengan jawaban yang sekadarnya. 

Apa yang harus dikatakannya saat itu, bagaimana kabarmu pak? Masih suka menyelam? Atau kapan kita akan main di Bunaken atau Raja Ampat lagi? Saling sindir seperti biasa, bercanda di media sosial. Mala pikir itu sudah bagian dari masa lalu mereka. If they were had one. Punya masa lalu, maksudnya, yang benar saja.

Mala baik-baik saja. Dio sangat baik, sehat dan tambah gemuk sekarang. Terakhir melihatnya adalah bulan Mei, dan itu sekitar 6 bulan yang lalu. Waktu berlalu begitu cepat. Bulan November mengaburkan ingatan rupanya. Yang berubah dari Dio adalah satu. Matanya. Tatapan matanya tidak pernah menatap langsung mata Mala lebih dari 3 detik. Palsu. Hanya untuk etika dan kesopanan. Benarkah? Dio tidak mau berjarak dekat dengan Mala, karenanya menghindari dengan berada sejauh mungkin dari meja kelompok Mala, ketika acara makan malam. Pun ia juga dikerubuti oleh wartawan. Malam ini, tersirat, ia adalah bintangnya. Ia bersinar.

Dio berpura-pura baik-baik saja. Seperti tidak terjadi peristiwa apapun di antara mereka. Mala berpikir seharusnya Dio minta maaf padanya atas tuduhannya yang tidak benar, yang menyebabkan ia pergi dari lokasi seminggu sebelum konferensi pers. Sungguh tidak professional meskipun sebenarnya sudah selesai tugasnya. Tekanan yang tidak tertahankan dan sikap Dio yang tidak mendukung, adalah penyebabnya. Mala enggan mengakuinya.

Di sesi makan malam, salah seorang wartawan yang mengerubutinya bertanya, “Mbak, setelah menyelesaikan proyek ini, apakah akan terus mengerjakan proyek pemerintah atau fokus di dunia karir internasional?” Selama ini reputasi Mala memang lebih mentereng di dunia internasional daripada di dalam negeri.

Mala tertawa renyah, “Waduh, berat sekali pertanyaannya.” Mala diam sejenak, “sepertinya saya mau liburan dulu. Next project will have to wait. Untuk berapa lamanya, saya belum tahu. Masih ingin santai dulu.” Seketika ia berpikir untuk mengambil master di Inggris, Jerman atau Perancis. Mungkin menikah dan punya anak juga merupakan rencana yang bagus. Bersama Dio. Malam berakhir dengan aroma kebekuan yang menguar di antara Mala dan Dio. Tidak tegur sapa, tidak tegur canda. Hanya do’a-do’a yang tak terjawab.

^^^

Rere pulang ke Indonesia untuk liburan musim panas. Sebelum memulai ujian akhir, ia memutuskan untuk memberi kejutan pada kakaknya. Mala sedang asyik membuka majalah di kamar, ketika Rere menghampiri.
Rere mendekat dan duduk di bangku samping ranjang.


Aku mau ke Jogya. Jalan-jalan santai, kata Rere sembari asyik rebahan di bangku

Senja di Batas Kota (Part 3)


Suasana proyek semakin memuncak. Semuanya serba cepat. Serba repot. Batas waktu launching perdana dan konferensi pers sudah terasa aromanya. Baik percakapan online dan offline, semua yang terlibat, tidak sabar menunggu selesainya kerja mereka. It was so excited. Mala hampir tak bisa memejamkan matanya lewat dini hari, karena membereskan yang tercecer dan finishing segala hal yang perlu dipoles. Sibuk. 

Tapi Mala sangat menikmatinya. Sangat menikmati baik di belakang meja maupun di lapangan. Ia merasa menjadi bagian dan merasa berharga. Kawan-kawan sekerjanya, yang sebagian besar, malah kenyataannya demikian, adalah laki-laki, berkata mereka puas dan terhormat bekerja dengan Mala. Kita berresonansi. Rupanya energi itu memancar dari dalam dirinya. Mala terlihat lebih cantik dan lebih percaya diri. Tidak hanya menjadi bahan bully seperti saat online dan offline sebelumnya. Ia telah membuktikannya melalui pekerjaannya. Tanpa banyak bicara, tapi bekerja dan bekerja hingga dini hari. 

Kadangkala, kopi paginya yang diseruput pukul 2 dini hari, masih terasa nikmat diminum saat pertama bangun pada pukul 4. 

Senja Di Batas Kota (Part 1)



Sesosok siluet gadis muda menghadap balkon jendelanya. Ruangan itu agak samar dan sosok gadis itu seakan ingin merengkuh dunia luar namun tetap bersembunyi di balik gordennya. Terlihat rapuh. Anonim. Di keheningan malam bertaburan bintang, dihembusi angin laut dari pantai Raja Ampat, Tuhan telah menggariskan nasib yang mulai mendayu-dayu untuk sang gadis muda.
  
    Merenungi sesuatu yang jauh di garis cakrawala, seraya menitikkan air mata. Bersama dengan bunyi ombak, ditelan deru mengombak.

***

      Mala bergegas merapikan laptop dan beberapa buku toplist-nya. Buku panduan perjalanan dunia timur, suku Asmat di Papua dan perbatasan Papua Nugini, peta dan jurnal hariannya. Setelah ditutup resleting tasnya dan menalikan Nike  kesayangannya, ia merasa siap menghadapi hari ini. Dicek lagi agendanya. Hmm, meeting LSM, melihat site, finishing sketsa, diving coaching, late dinner bareng Dio dan kirim artikel.

      Sungguh padat jadwalnya hari ini. Tapi itu memang sudah menjadi jadwal hariannya sejak awal tahun ini. Sejak ia menyanggupi proyek jalan tol di Papua. Sejak ia punya lisensi selam internasional, di Aussie. Sejak ia mulai berkenalan dengan seorang staf ahli Kementerian PU, Dio.

      LSM Mala menunjuknya untuk mengurusi proyek ini, dan sejak diharuskannya pendampingan dari pemerintah, maka mau-tak-mau, suka-tidak-suka, Mala harus direpotkan oleh Dio. Dio adalah musuh utamanya dalam mewujudkan idealisme sketsanya. Karena Dio berfungsi untuk menekan budget serendah-rendahnya dan memastikan berjalan efektif dan efisien dan selesai sesuai tenggat waktu yang ditentukan. Mala kadang membenci orang itu.

      Yah tapi hidup memang lucu. Kini keduanya akrab dan akur seperti kucing-kucing peliharaan bos. Kadang-kadang mereka bertengkar juga seperti kucing dan tikusnya bos. Lagi-lagi mentalnya Dio adalah seorang penggombal dan kali ini targetnya adalah Mala. Maka dengan segala cara, ia mencoba meluluhkan hati gadis itu.

      Mengikuti kelas pelatihan diving dimana Mala menjadi instrukturnya, menunggu di site project, follower di twitter Mala, selalu eksis di setiap media untuk menanyakan kabar Mala. Sms, bbm, fb, twitter, path, instagram, dan whats app. Macam abg saja. Kadang Mala geli sendiri melihat kelakuan aneh partner nya ini. Jengah dan jenuh. Namun sekarang Mala menganggap semua itu biasa meski awalnya sangat terganggu. Siapa pula orang baru ini?

      Ting-tong. Mala segera mem-push emailnya.

      “Darling, sarapan di T-corner yuk. Aku jemput. Just say yes. It’s an order.” Begitu isi perintah si pengirim email, alias Dio. Maka bertambah pula agenda Mala awal pagi ini. Dalam hati ia berkata, “mudah-mudahan ga ada yang direvisi lagi deh,” Seraya memanjatkan do’a.


***



Selasa, 13 Januari 2015

Kejadian yang Patut Dikenang

Salah satu kejadian yang patut dikenang adalah ini: mencari buku dan mempraktekkannya dalam kehidupan kita secara tidak sengaja.
Seperti biasa, menjelang uas, setiap dosen akan memberikan tugas makalah. Mahasiswa diminta untuk membuat makalah sesuai dengan tema yang sudah disetujui. Nah, temaku adalah belajar mandiri.
Berawal dari tugas makalah yang berjudul belajar mandiri inilah, yang membawaku kepada bukunya Prof. Rhenald Kasali, orang yang keren (as in quality). Sebenarnya hunting  buku sih asik-asik aja, kalau ada sumber dananya. Tapi kita tidak bicara itu. Yang jadi masalah, waktu yang diberikan adalah seminggu saja. Dimana pada minggu itu, orang-orang biasanya pergi berlibur, pulang ke kampung halaman, dan tutup warung/toko.
Kalang kabut mencari buku. Grame*** sepanjang Jalan Pajajaran, termasuk toko buku loak depan gerbang Unpak dan Stasiun Bogor selesai dikunjungi, namun tak jua menemukan yang dicari. Kebanyakan buku lama dan toko buku loak nyaris tutup semua.
Maka bersama seorang teman, kami berangkat ke Kwitang: mencari buku. Dan dapat! Alhamdulillah. Seharian ini terbayar. Mungkin proses mencari buku ini sudah termasuk kategori belajar mandiri J
Ohya, ketika di Grame***, sudah kumasukkan semua keyword yang mendukung judul makalah belajar mandiri, atau yang kira-kira nyangkutlah, supaya ketemu buku referensi yang dicari. Hasil yang paling mendekati adalah bukunya Prof. Rhenald Kasali yang berjudul Self Driving (Kasali, 2014). 



Ini kayanya nyambung dengan pembelajaran mandiri. Akan tetapi bukunya (menurutku) sudah masuk tataran realisasi di lapangan. Inilah yang dinamakan belajar mandiri dan dasar pembelajaran sepanjang hayat (life long learning). Ada banyak hal yang bisa dipraktekkan dari buku itu, kalau (tentu saja) kita mau berubah untuk yang lebih baik.
“…sebab walaupun semua orang bicara hak, soal kemampuan dan minat bisa membuat masa depan berbeda.” Ujar Dekan Erasmus yang ditanya mengenai bagaimana membangun bangsa dari lulusan yang asal masuk Universitas Erasmus Belanda. Menurutnya, semua warga negara memiliki hak untuk mendapat pendidikan. Maka, semua yang mendaftar ke Erasmus wajib diterima.  Namun beranjak ke tahun kedua, angka drop out tinggi sekali. Itulah cara mereka menyeleksi mahasiswa, yakni diseleksi di tahun kedua, karena disinilah mereka baru bicara kualitas pendidikan.
Sedikit random sih, meskipun begitu adalah sah menuangkan isi pikiran, bukan?


Daftar Pustaka:
Kasali, Rhenald. 2014. Self Driving, Menjadi Driver atau Menjadi Passenger. Jakarta: Mizan.

Memulai Lagi Suatu Kisah

Tugas kali ini adalah dalam rangka pemenuhan tugas akhir matkul teknologi informasi dan komunikasi pendidikan. Tugasnya dimulai  4 Desember 2014 dan dikumpulkan Selasa, 13 Januari kemarin. Tugasnya adalah membuat blog.
Bicara blog, setelah kupikir-pikir, rasanya aku punya blog tapi entah blog itu terdampar dimana, tiada yang datang berkunjung, tidak diurusi. Kumal dan kusam. Ibarat rumah mungkin sudah jadi rumah hantu. Tak berpenghuni namun tetap ada. Aku hanya ingat nama blognya persis nama emailku yang sekarang. Maka, sejak beberapa hari ditugaskan blog itu, aku mulai searching alamat blogspot dengan keyword namaku. Hasilnya: voila, ketemu!
Sedih sekali melihat keadaan blog itu. Sunyi sepi tiada yang datang berkunjung.  Kasihan. Aku ingin blog-ku hidup, ada temannya, sharing, diskusi, pokoknya beraktivitas, disamping sekalian sebagai ajang mengasah tulisanku menjadi setajam (silet :).
Kuputuskan untuk mulai menulis lagi. Untuk menghibur diri. Untuk refreshing.  Berhubung aku agak random, maka semua yang menurutku menarik, mungkin akan kutayangkan. Doakan saja semoga berkah dan bermanfaat dunia akhirat. Aamiin.

Minggu, 11 Januari 2015

Waktu Itu Pada Suatu Ketika


Cappuccino pertama di bulan Desember 2014.
Sedikit pahit dan asam.
Menggoda seluruh inderawi.

Tak ada yang mengingatkanku untuk membawa payung. Kedinginan karena setengah kebasahan. Hmm, tak apa-apalah. Lagipula, di malam hujan dan di sudut kafe yang temaram ini, siapa sih yang akan memperhatikan gadis gembel bercelana belel berkaus gombrong dengan laptop di hadapannya? Hanya orang iseng mungkin.
Ceritaku hampir jadi. Yup. Sudah klimaks dan tinggal penyelesaian. Mencari happy-ending yang pas tanpa terkesan dibuat-buat adalah seni yang sedang kupelajari sekarang ini. Gampang-gampang susah. Editorku, mbak Ririn, sudah mewanti-wanti supaya ending kali ini nggak terlalu mellow dan lebih tough.
Si handphone bergetar lembut minta perhatian. Rupanya ada beberapa pesan online yang masuk.
“Kamu dimana? Belikan Mama bakwan dan sate kambing di pertigaan gang ya sayang,” Si Boss. Alias mamaku. Bernada perintah dan tanpa ada ruang diskusi. Artinya kebelet makan kambing. Harus beli dengan hati ikhlas. Absolute order.
“Mbak, sepatunya yang abu Echi pinjem ya. Tar dibalikin,” si Mpus Meong. Yang abu yang mana ya? Perasaan yang abu mah baru beli belum go public deh. Bernada maksa tanpa syarat dan ketentuan berlaku. Artinya dibalikin kalo inget. Kalo ngga, ya jadi hak milik. Waduh kacau.
Belum selesai aku membalas, Si handphone bergetar kembali. Seseorang menelpon. Tanpa identitas. Rasanya aku kenal nomor itu. Ooh ya. Tentu aku kenal. Aku selalu mengenalnya seakan ruang dan waktu tak berjarak.  Menyusut hingga seperti kemarin dan sedekat debaran jantung.

Sejenak ia nikmati ringtone-nya Yogyakarta Kla Project. Tak ada yang istimewa. Hanya saja ia tahu Jogja pernah begitu berarti dan masih lekat, syahdu dalam ingatannya. Ia kenang satu nama. Andro.

***

Jogja, 2010.
Kopi hitam pertama di bulan Oktober.



Agak pahit sedikit manis dan asam di ujung lidah. Sensasi tradisional nan berkelas.
Mengajak raga bertualang.

Moncong Nikon-nya mengarah luwes ke semua angle yang cantik yang dapat dipikirnya. Cukup untuk beberapa sesi hunting kali ini. Lansekap pantai, laut dan ekosistem dipantai tak bernama ini sungguh menggodanya. Memaksanya untuk mencicipi nuansa kemping disini. Besok ia akan bertemu Dimas untuk menyerahkan foto dan artikel feature-nya. Sebulan sudah ia freelance fotografer di jogja.
“Sundak nama pantai ini,” seorang pria berkata dari jarak 2 meter.   Beranjak keluar dari lensa intipnya, Anin melirik pria bercelana jeans biru yang digulung ujungnya, tampaknya ia telah bermain air di pantai itu. Beberapa garis pasir melekat di kaus hitamnya. Sang pria tersenyum. Nyess di hati Anin.

Sejenak menikmati deburan ombak



“Ohya,” sahut Anin, “Terima kasih banyak atas infonya. Kebetulan saja saya kemari bermotor dan menemukan pantai indah seperti ini. Di Jogja banyak pantai yang cantik ya?” Matanya segera menangkap burung yang melesat terbang rendah di buihan ombak yang tenang dan menjepretnya dengan kamera. Keburu hilang momennya nanti.
Pria itu masih berjarak dua meter dan ia menerawang horizon seraya membait-kan sebuah puisi,
“Angin dingin menari laksana panah berkelana
Dia tak tergoyahkan batu karang
Hanya bisu dan kelamnya malam
Temani sunyi mencari jiwa
Adakah seseorang dalam bintang?”

Anin menghentikan sejenak aktivitasnya dan merenungkan ulang kata-kata dalam puisi barusan. Mengapa kedengarannya sunyi sekali? Sepi begitu.
“Puisi yang indah,” Anin berdeham demi kesopanan, “Cuma sayangnya saya kurang paham maksudnya. Hehe.”
“Apakah perlu dikatakan, jika hati sudah merasakan keindahannya?” sang pria mengulurkan tangannya untuk bersalaman, “Nama saya Andro.”

***

Perkenalannya dengan Andro di pantai Sundak adalah suatu kebetulan. Tapi sebenarnya tiada yang kebetulan kan? Bahwa Anin harus mencari sebuah destinasi wisata pantai untuk artikel majalahnya adalah takdir. Sudah digariskan. Bahwa Andro saat itu harus putus dengan kekasihnya karena ternyata sang kekasih dijodohkan orangtuanya, adalah takdir. Bahwa keduanya memutuskan untuk berkenalan dan menjalani hubungan pertemanan, itu adalah takdir. Tak lebih karena hati Andro yang hancur dan Anin tak mau pusing dengan urusan cinta.
Anin betah di Jogja. Kota yang bersahabat. Ia kost di daerah Kaliurang. 

Kaliurang


Kadang kalau sudah menuntaskan deadline dan ia merasa harus istirahat sejenak, Andro-lah yang menjadi sahabatnya. Menjadi tumpahan curahan hatinya, bahwa ia kangen. Kangen mama, kangen Echi adiknya, kangen papa yang sudah meninggal. Jam berapa pun, Andro akan datang ke tempat janjian mereka bertemu. Sekali waktu di jam 3 pagi di restoran Kaliurang (yang masih buka, sebab angkringan sudah tutup), mereka membicarakan banyak hal, kecuali politik. Anin jenuh dengan rutinitas freelance. Ia ingin sesuatu yang lebih menantang. Andro adalah pengusaha mebel, usaha warisan turun-temurun dari orangtuanya. Generasi ke-4. Andro juga bilang jenuh dengan keseharian, seperti tidak ada greget.
“Apa karena tidak ada cinta?” Andro beretorika. Anin memutar bola matanya. Sudah lama ia enggan menyapa cinta dengan laki-laki.
“Apa yang mau kau lakukan selanjutnya?” tanya Andro.
Anin mengedikkan bahunya, galau. “Entahlah, Dro,” Ia meliarkan matanya ke sekeliling restoran, sepi. “Kurasa aku butuh penyegaran. Mungkin 2-3 tahun di luar negeri atau menjelajah Indonesia, mungkin seperti kamu yang hobinya bikin usaha baru. Atau bikin majalah sendiri, menarik bukan? Yang jelas aku ingin kabur dari sini. Dan merasa rindu akan Jogja..”
Kalimatnya menggantung, air matanya tak terasa meleleh, ia tak tahu mengapa. Andro tak kuasa menatapnya, menunduk dalam-dalam, rasanya ia mencium aroma perpisahan dengan jelas. Sudah 1 tahun mereka berhasil bersahabat tanpa embel-embel asmara.
Mamanya Anin sering menggodanya berkata bahwa tak ada persahabatan murni di antara wanita dan laki-laki. Tak percaya, buktinya mereka bisa bersahabat selama 1 tahun belakangan ini.

Anin menyelipkan kalung berliontinkan lempengan perak di atas meja. Lempengan perak itu sebenarnya bisa diukir dengan nama, tapi Anin memutuskan untuk mengosongkannya. “Buatmu. Aku kasih pinjam. Tak usah dipakai karena norak. Dan kembalikan lagi kalau suatu saat kita ketemu.” Anin berjalan meninggalkan gelas kopinya yang nyaris kosong. Berjalan menjauhi Andro yang masih terkejut dengan sikap Anin. Berjalan pergi dari kehidupannya. Tanpa tahu kapan akan kembali. Semacam perpisahan sementara namun tak dikatakan secara tersurat. Hanya tersirat. Untuk beberapa tahun kemudian mereka berpisah tanpa saling menyapa..

***

2012.
Anin berada di seberang gunung Fuji, lisannya tak henti bertasbih. Ia terkenang mama, Echi, dan Andro. Ia akan pulang untuk menemui mereka, sekaligus liputan di Indonesia.

***

Agustus 2014.
Kopi pahit tanpa gula.
Senikmat malam ditemani bintang-bintang.



Pada siapa ku harus mengadu? Mama dan Echi menjadikannya sandaran dan tumpuan dalam hidup. Ia menampung segala keluh kesah mereka dan mencarikannya solusi. Ia telah terbiasa. Urusan hidupnya adalah urusannya sendiri. Ia butuh teman bersandar. Ia butuh jawaban atas doanya. Ia ingin ke Jogja. Resolusi awal tahunnya untuk sowan ke Jogja tak kunjung ia lakukan. Ia takut. Takut mencederai suatu hubungan. Ia sudah menulis satu buku. Tentangnya. Dan tentang mimpinya. Haruskah ia membuat suatu pengakuan? Jika hati sudah merasakannya, perlukah lisan berbicara? Justru itulah. Harus. Supaya sinkron.
Hari berganti. Bulan berlalu. Sudah pertengahan tahun. Mungkinkah resolusi hanya sebatas resolusi?
Kopinya pahit, dengan suatu janji manis di ujung lidah. Membuatnya sedikit menaruh harapan.

***
November 2014.
Lembang yang dingin. Hujan membuat suasana berkabut dan jarak seakan samar. Suara-suara sayup meningkahi gemericik gerimis. Syahdu yang ramai di tengah malam. Tiada bintang, hanya hujan. Bahkan menggodanya untuk menarik sarung lebih erat mengusir dingin. Di bale-bale panggung rumah itu, duduk di sampingnya Mang Asep yang bercerita mengenai tradisi kampungnya di Lembang ini. Kali ini Anin menulis feature. Ia jadi ingin pulang ke Bogor. Dan Jogja. Rumah keduanya.
Desember 2014.
Andro mengabarinya bahwa ia akan menikah dengan gadis pilihan ibunya. Dari keluarga pengusaha batik. Cocok katanya dalam hati. Cemburu dan sedih. Cemburu karena Andro tak bisa setiap saat siaga membantunya, menampung jeritan hatinya lagi. Sedih karena ia akan ditinggalkan. Sendiri lagi. Rasanya ia tak sanggup. Sudah cukup edisi satu. Ia ingin ketemu Andro, mau mengutarakan isi hatinya. Beruntung Andro juga mau menemuinya mengantarkan undangan.
Sabtu sore, Anin ke Jogja, untuk kali ini tidak di angkringan tapi di restoran yang agak sedikit mahal dan berkelas.
Aku cinta kamu. Itulah kalimat pertama yang dilontarkan Anin begitu bertemu. Andro sedikit kikuk. Namun ia hanya tersenyum.
Andro duduk di seberang meja dan tersenyum manis seperti 4 tahun yang lalu saat pertama mereka bertemu. “Tidak,” katanya, “Akulah yang lebih dulu mencintaimu.” Andro berkata mantap.
“Bahkan saat kau di belakang kameramu dan aku masih menangisi diputuskan karena perjodohan sepihak, rasanya aku sudah mulai mencintaimu. Namun aku tak menyadarinya.”
Butuh waktu yang lama untuk menyadarinya. Mama yang pertama menyadarinya. Ada banyak kesempatan untuk bilang sayang. Ada banyak kesempatan untuk menjalin kasih. Namun persahabatan yang mereka junjung tinggi nilainya terlalu kuat. Jika sudah begini, manakah yang didahulukan? Bakti kepada orangtua kah? Atau rasa cinta yang teruji waktu?
Anin menangisi kebodohannya. Mungkin ini sudah takdir. Andro menatapnya dalam-dalam. Demi melihat mascara yang mulai pudar dan berleleran di sekitar pipinya, Andro menahan tawa untuk menyampaikan maksudnya.
“Ternyata butuh waktu 4 tahun untuk mendengarkan dan mengakui bahwa kau mencintaiku. Memang ibuku sudah menjodohkan aku dan Ira. Namun kami sepakat untuk menolaknya karena Ira sudah punya pilihannya sendiri. Dan aku hingga saat ini masih menunggumu menyadari keberadaanku. Lama juga ya.” Andro tersenyum lebar.

Anin tertegun. Jadi undangan itu? Undangan itu bohong belaka. Untuk mengetes saja. Cukup berisiko tapi sepadan harganya. Anin tak kuasa menahan tangisnya. Ia sudah menemukan jawaban atas doanya. Bersama Andro. Di Jogja, kota kenangan.

Rabu, 19 September 2012

Roman Picisan




                “He’s saying goodbye, without goodbye. Can you see what I mean here…”
                Restu menutup diari-nya sejenak. Ia pejamkan mata. Lelah setelah seharian berkutat dengan pekerjaan yang seakan tiada habisnya. Konsolidasi lapangan, evaluasi ulang, meeting, rechecking schedule, dan lain sebagainya yang memaksanya untuk tinggal di kantor hingga pukul 9 malam. Pun begitu, ia tersenyum, sedikit senang karena target proyeknya 85% terpenuhi. Yes, yes, yes, serunya dalam hati. Si bos pasti tidak sanggup untuk memberikan pujian lagi. Maklumlah, untuk proyek yang agak becek dan highly risky seperti ini, jarang ada yang bersedia menerima. Lagi-lagi Restu. Mungkin karena ia masih single dan tipe fighter. Single fighter.
                Bolehlah dalam urusan kerjaan Restu dikatakan beruntung. Hanya saja, dalam percintaan, Nampaknya dewi fortuna kurang berpihak padanya. Ah, kalau saja ia sedikit menunjukkan isi hatinya. Kalau saja ia mencegahnya pergi. Kalau saja saat itu ia mengatakan sesuatu… Restu ingin tidur di sofa malam ini. Sofa dekat jendela kamarnya di ruang attic. Restu merebahkan dirinya, ia menerawang. Wajahnya selalu terbayang. Matanya. Restu selalu takluk melihat jendela hatinya Faris. Matanya, aku suka matanya, bisiknya dalam hati. Kenapa aku jatuh cinta oleh hal yang sepele ini? Entahlah, aku mau tiduuuurrrrr….

***

          Pukul 04.36. Handphone-nya bergetar lembut, kala telpon masuk. Restu gelagapan. “Hhalo, ya..Restu,” sembari menguap, menahan kantuk, tiba-tiba matanya segera menjadi awas. Aware. Seseorang di ujung sana mengabarkan berita tak sedap. “Kapan? Maksudku dimana?”
Sedetik kemudian, ia menyambar jaketnya dan melajukan ninjanya ke arah jalan protokol. Tujuannya satu. RS Borromeus. Adalah Dian, yang menelponnya barusan. Dian mengabarkan adiknya yang mengalami kecelakaan motor dan sedang menjalani operasi. Dian meminta doa Restu untuk sang adik. Adik yang sangat disayanginya, Faris. Sementara keluarga Dian sudah berkumpul di RS yang dimaksud. Begitulah kurang lebih isi pembicaraan tadi.
Dian adalah kakak tingkatnya semasa kuliah yang menjadi teman akrab karena satu organisasi, satu kosan, dan kini bekerja di perusahaan yang sama. Dian sangat berharap Restu benar-benar menjadi adiknya. Dan dengan adanya peristiwa ini, entahlah…. Restu tak ingin berpikir macam-macam. Ia berdoa dan terus berdoa. Sudah lebih dari 6 jam sejak operasi dimulai. Pun sejak ia tiba di RS, ia menghibur Dian dan keluarganya, berusaha menabahkan dan membesarkan hati mereka. Selalu berada disamping Dian yang kondisinya tak jauh dari ibundanya, shock dan sembab karena kebanyakan menangis.
Aslinya, jauh dalam lubuk hati Restu, ia menyalahkan dirinya karena tak bersikap peka. Tak bisa membaca yang tersirat dalam nuansa. Kini penyesalan bertahta di pelupuk mata. Rasa bersalah karena ia tak jua memberi keputusan pada Faris..

***
Restu tersadar dari lelapnya, tatkala Dian mengusap lembut bahunya. Entah sudah berapa jam ia di RS ini, proyek apapun harus menunggu, karena ia sudah meminta izin tak masuk hari ini. “Faris sudah siuman,” Dian tersenyum matanya berkaca-kaca, “ingin bicara denganmu, katanya.”
Tak menunggu lama, Restu segera beranjak menuju ruang pemulihan dan mengenakan pakaian khusus pengunjung bezuk. Ia termangu di lorong kamar, matanya tertuju pada seseorang yang terbaring dengan monitor, infusan dan selang dimana-mana. Ia trenyuh, tak kuat menahan rasa. Menunduk, dan imaji menyerbu berkelebatan dalam otaknya. Imaji tentang Faris..
Terduduk di samping Faris, yang rupanya jatuh tertidur, ada banyak yang ingin ia ungkapkan, ada saatnya untuk mengatakan apa yang ada di pikirannya dengan jujur, ada banyak… namun tak satu patah kata pun meluncur. Hanya memandang mata Faris, yang kini sudah terjaga… dapat memandang mata itu kembali, hatinya sudah basah oleh puja-puji pada Tuhan… Terima kasih ya Rabb… Terima kasih..


Subuh yang dingin di Bogor, 20 Sept 2012