Tampilkan postingan dengan label roman. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label roman. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 26 Maret 2016

Min (part-2)







Si lelaki berjins belel itu semakin sering datang kemari. Dua kali dalam seminggu.  Kadang ia membawa bunga yang lain. Bunga melati. Bunga matahari. Bunga kenanga. Bunga mayang. Aneh. Darimana ia dapatkan bunga-bunga itu? Dan lelaki itu. Dia masih belum menyebutkan namanya. Dan aku juga sama saja tak peduli, aku hanya menyapanya: heh/kamu/situ/dll. Tak sopan, memang. Di keremangan senja kala, kulihat matanya sedikit memerah. Aku sedang di beranda belakang rumah, sedang mengerjakan PR untuk besok.


“Nin hanya senyum waktu aku cerita tentang kamu. Katanya namamu Hans. Anaknya tante Ira. Betulkah?” Taksirannya adalah, lelaki itu masih sekolah atau kuliah. Wangi. Meskipun jinsnya belel, tapi kesannya adalah pria itu seorang yang bisa mengurus dirinya.

“Kalau bukan, memangnya urusanmu?” balasnya ketus. Min ingin meninjunya, tapi jadinya cuma melotot.

“Aku bukan Hans, aku Gretel.” Ia tersenyum sinis sembari berkelakar. Betapa ia benci  Hans. Hanya Hans yang ada di mata mama, pikir lelaki itu. Hans seorang dokter. Ia anak mama. Hans memilih mengejar-ngejar wanita karier dewasa yang punya banyak materi. Hans materialistis. Itulah kakaknya, berbeda dengan dirinya. Ia hanya seorang arsitek miskin yang baru memulai karirnya.

Al hanya mendengar cerita Min dari mamanya. Ia jatuh iba pada Min. Ia hanya ingin membuatnya tersenyum. Sedangkan Min hanyalah gadis remaja yang jatuh cinta karena merasa diperhatikan oleh seseorang selain neneknya. Ia merasa berbeda. Maklumlah, mama dan baba tak selalu ada untuknya. Padahal Min ingin sekali tinggal dengan mereka. atau salah satu dengan mereka. Min kan anak mereka, pikirnya, tak seharusnya mereka mengedepankan karir dan bisnis hingga menelantarkan anak satu-satunya. Ia berhak untuk itu bukan? Dan itu dilindungi oleh Undang-Undang di bagian Hak Anak. Tinggal dengan nin enak juga, dimanja. Tapi dengan mama dan baba, it feels completed.

*** 
ini yang ingin kulihat kalau ke Raja Ampat nanti.
they have instructor, right? because i can't swim..

Minggu ketiga bulan Oktober.

Ulang tahunku yang ke-18. Aku sudah punya KTP, SIM, dan paspor. Aku bebas pergi kemanapun yang aku mau. Mau ke Raja Ampat atau ke Bantimurung. Ke Gili Air, Gili Meno, atau ke puncak gunung sekalipun. Safety first, itu kata mama-ku. Aku gembira, sampai baba datang dengan seorang wanita yang wajahnya samar kukenali, tapi aku tak pernah melihatnya. Ternyata itu tante Ira. Tapi kenapa baba datang dengan tante Ira?

“Kami akan menikah bulan depan” kata tante Ira, menyalamiku. Duniaku runtuh. Pantas, wajahnya mengingatkanku akan Hans.

Keluargaku sedang berkumpul di ruang tengah. Mama menuang kopi di meja makan. Berpura-pura tak terjadi apa-apa. Apa mama tahu? Apa nin tahu? Apakah ada yang bisa menjelaskan apa yang sedang terjadi disini?  Min ingin menjerit. Sungguh baba keterlaluan. Memberikan hadiah ‘bom’ tepat di saat ulangtahunku. Aku tak mengerti ini semua. Aku pusing. Air mataku berleleran. Aku menangis di kamar. Mama aneh. Ia malah menenangkanku, seakan ini kejadian biasa.  Aku sungguh tak mengerti. Ini ujian buatku. Tidakkah mama merasa ini ujian buatnya juga?

Aku sudah lama jatuh cinta pada Hans, pria pembawa bunga, yang ia jadikan tempatnya curhat dan mereka sudah saling percaya. Nin sudah percaya pada Hans. Hans anaknya tante Ira. Jika baba akan menikah dengan tante Ira, maka Hans akan menjadi saudara tiriku. Lalu bagaimana aku harus memendam perasaan ini? Teganya baba. Tapi siapa pula yang tahu bahwa aku jatuh cinta dengan Hans. Nin dan tante Ira kan berteman. Bagaimana baba bisa berkenalan dengan tante Ira?

Min kesal bukan kepalang. Tapi baba sudah pulang. Tante Ira juga sudah tidak ada. Pesta ulang tahunnya kacau.

do you want to know, how cruel i am? baba dan tante Ira: i hope it will never exist.

***

Rumah Depok.
“Mama seharunya tahu kan, bahwa Pak Iman adalah menantunya nin?”
“Itu bukan salah mama. Kamu belum pernah jatuh cinta.” Walaupun ayahnya sudah meninggal bertahun-tahun lamanya, Al belum pernah melihat mamanya sebahagia ini. Tidak juga ketika para pengusaha yang lain datang melamarnya. Mama adalah janda kembang. Tapi dengan Pak Iman, yang ternyata baba-nya Min, mama menjadi seperti gadis muda yang pipinya kadang merah merona.

“Sudahlah Al, memangnya mama tak berhak bahagia? biarkan mereka menikah, sudah sama-sama dewasa.” Hans mencoba menengahi.
Masalahnya adalah jika mama menikah dengan Pak Iman, maka Min akan menjadi saudara tirinya, padahal ia…. Padahal ia… dan Min…

“Kalau kamu tidak mau mama menikah, fine. Mama tidak akan.” Mama berusaha mengalah, “tapi katakan sebabnya apa? Kenapa kamu tidak suka dengan calon mama? Dia pria yang baik, bertanggung jawab.”
“Aku hanya tak setuju. Itu saja.” Ia ingin mamanya bahagia, tapi di sisi lain…
Al tak sanggup mengatakannya. Al tak sanggup bilang bahwa ia mencintai Min, calon saudara tirinya…

***

Di kedai kopi.

Min menyeruput kopinya pelan-pelan. Al menirunya.
Anak kemarin sore, yang berusaha menentang kebahagiaan mamanya. Ia tak tega.
“Min, sepertinya…”
Min mengangkat tangannya, mengelak.
“Jangan bilang. Aku dulu yang bilang.” Min menatap meja kopi, menelusuri pinggiran kayu mahoninya melalui sudut matanya. “Mungkin kita sebaiknya tidak ….”
“Tidak …”
“Ya.” Hanya itu jawaban Al. Keduanya sama-sama ingin melihat orangtuanya bahagia. Dengan bersikap tidak egois dan mengenyampingkan kebahagiaan mereka sendiri yang mungkin lebih berprospek seandainya mamanya dan babanya Min tidak bertemu. Mereka anak-anak yang baik yang sayang pada keluarga. Itulah yang coba mereka lakukan. Kedua anak manusia yang jatuh cinta namun dikalahkan oleh cintanya pada orangtua masing-masing.

Dalam diam, keduanya saling memahami. Sudah tidak perlu dikatakan lagi. Daripada berharap lebih baik saat ini disudahi. Diakhiri. Itupun kalau ada permulaan. Apakah memang ada awal kisah mereka? Tampaknya tidak. Tidak dikatakan, namun terjadi dengan sendirinya.

Keduanya menatap kopi masing-masing. Lama. Lama sekali termenung, tenggelam dalam pikirannya dan berandai-andai. Al memberanikan diri menatap Min untuk terakhir kalinya, ia memandang gadis itu baik-baik.

“Namaku Al. Bukan Hans, yang seperti selama ini kamu duga.” Al memakai topinya dan ia menyodorkan tangannya, menawarkan bersalaman dengan Min. “Senang berkenalan denganmu. Dan mungkin jika nasib tidak mempermainkan kita, aku akan kenalan dengan baik dan benar. “
Min menyambut uluran tangannya. “Namaku Min, sebentar lagi aku akan kuliah, dan mungkin jika nasib tidak mempermainkan kita, maka aku akan senang bertemu denganmu di lain kesempatan.” Tidak seperti ini.

Al tersenyum kecut.

Min pergi meninggalkan kedai kopi itu dengan hati perih, pecah berkeping-keping untuk cinta pertamanya yang tidak kesampaian. Pergi meninggalkan cinta pertamanya yang masih termenung di hadapan kopinya yang sudah hampir habis. Ya. Mungkin lain kali, ujarnya dalam hati. Mungkin nanti ada saatnya, ujar Min menghibur diri. Mungkin nanti, ketika nasib memihak kami



Source:
Story by: Hamidah
Images by: Google

Min (part-1)






It was very tiring. But, I couldn’t feel unhappy about it. Truthfully, I’m very happy. Why? Because you were there.

-Bogor, February 11th 2015


Aku tak pernah menyangka bahwa setangkai bunga bisa berefek panjang. Bahkan bisa demikian buruk nasib seseorang karena si bunga cantik jelita. Aku juga menyangka bahwa bunga itu selamanya bisa membahagiakan. Ada harapan. Ada sesuatu yang manis dalam warna-warni nan cerah merona bermahkota dan berputik sari itu. Ada kumbang yang kadang mengisap sarinya. Ada kupu-kupu yang lupa pulang ke sarangnya. Ada orang yang bisa berlama-lama memandangi bunga. Aku termasuk golongan yang terakhir: memandangi anggrek lama-lama di bawah temaram cahaya bulan di malam bulan Desember hingga kena flu. Aku capek…

***

Suasananya cukup menghebohkan. Menurutku, malahan itu berkah yang menyenangkan. Berada di ruang IGD dalam suatu kecelakaan antara pengemudi lalai dan orang egois yang membawa kabur seorang anak. Tapi kali ini, aku memang benar-benar ingin diperhatikan orang-orang di sekelilingku. Maka, satu kecelakaan benar-benar menjawab doaku. Jadi, disinilah aku. Setelah selamat dari koma tiga hari dan berangsur pulih, aku bangun berada di ruang rawat setelah pemulihan pasca-operasi. Kudengar suara nin memanggilku dan mama dan baba ada di kanan kiri. Bibi ada di belakang mereka.

“Alhamdulillah kamu sudah sadar, min.” nenek terisak menyebut namaku, merapikan rambutku.
“Mama minta maaf sayang…” mama tak kuasa meneruskan kalimatnya, mukanya sembab. Mama kena patah tulang tangan kirinya harus diperban, tapi kulihat Ia bisa berjalan, jadi kurasa Ia tak apa-apa.

Baba kelihatan lelah. Ia hanya diam tak bicara. Mama dan baba bertengkar karena aku, anak mereka satu-satunya jadi bahan yang bisa diperebutkan dalam pengadilan. Hak asuh. Dalam diam, aku berdoa semoga ada keajaiban.

Lidahku kering, segera nin mendekatkan sedotan supaya aku bisa minum. Dokter sudah mengunjungiku tadi dan katanya aku sudah boleh minum, dan lusa sudah boleh pulang sambil berobat jalan.

Aku hanyalah anak remaja yang sibuk mencari jati diri. Melelahkan melihat mereka bertengkar. Karena uang. Karena pihak ketiga. Karena pekerjaan. Aku tak peduli. Padahal dalam hati, aku ingin sekali mengakui aku peduli pada orangtuaku. Aku ingin mereka rukun bahagia damai, biarlah hal-hal sepele lepas dari pertengkaran. I wanted to say I love them.

Namun ternyata masalah semakin membesar dan puncaknya, Mama mengakui ingin berpisah karena tidak bahagia dengan baba dan sudah punya seseorang yang lebih membahagiakannya. Ah, itu urusan orang dewasa. Kenapa aku harus dibawa-bawa? Kalau mereka mau berpisah, ya itu hak mereka.

Nyatanya mereka mau pisah namun ribut gara-gara hak asuh aku. Menggelikan. Menurutku, itu hanya alasan saja. Sejujurnya, yang selama ini mengasuhku adalah nin. Mereka, orangtuaku, butuh alasan untuk bisa menyatukan mereka kembali. Mereka butuh mempertanyakan cinta dan kesetiaan masing-masing. Aku sudah tahu bahwa mereka itu masih saling mencintai, tapi terlalu gengsi untuk mengakui. Aku sudah tahu itu dari awal mereka mulai bertengkar. Hah, begitulah orang dewasa. Meskipun begitu, aku tak keberatan.
Maka, mama membawaku lari. Naik mobil dalam keadaan marah, kalap dan terjadilah kecelakaan itu.


***

purple orchid

“Nin, bunga apa itu?”
“Oh, ini bunga anggrek. Dikasih sama Tante Ira.” Aku tahu Tante Ira memang suka berkebun, temannya nin di arisan, yang sama-sama suka gardening.
“Nin mau simpan disini, cantik kan?”

Kadang, aku tersihir oleh anggrek itu. Cantik. Seakan aku terserap dalam pesonanya. Outstanding. Dark. Adorable. Wild. Hard to conquer.  Berminggu-minggu aku memandangnya. Menyaksikan pertumbuhannya. Seperti menyaksikan bayi tumbuh besar. Menyenangkan.

Maka, dari kamarku aku bisa menatapnya lama-lama tanpa menyentuhnya. Mengagumi ciptaan Allah yang maha sempurna. Dan bertanya-tanya apa yang dirasakan oleh anggrek itu. Kedinginan. Kehujanan. Kepanasan. Tapi ia tetap tumbuh dan semakin cantik.

“Assalamualaikum!!!!” teriakan salam muncul dari kebun belakang rumah. Tak sopan malam-malam begini siapa yang datang? Dari arah belakang pula. Min kaget bukan kepalang, hampir ia jatuh dari kursinya. Duhai, mana Mang Olin, asisten rumah tangga nin yang laki-laki sudah pulang sejak jam 5 sore tadi. Nin mana sih?!
Laki-laki itu berdiri di depan jendela kamarnya yang terbuka.

“Nin mana?” laki-laki urakan berjins belel muncul. Min ingin bertanya kalimat yang sama kepada lelaki itu. Siapa kamu? Kenapa datang malam-malam? Ada apa mencari nin-ku? Dan mengapa ia memanggil neneknya dengan sapaan manja miliknya?  Pertanyaan itu berebutan berkelebat dalam benak Min minta dijawab.

“Hehe” lelaki itu menyeringai, memamerkan geligi putih miliknya.
“Ini, bunga anggrek buat kamu.”

Aku memang suka bunga anggrek. Ini anggrek ungu. Warnanya keren. Setangkai anggrek ungu. Akan kubuat sebuah puisi nanti, pikirannya mengingatkan.
“Nin enggak ada! Siapa kamu? Dan berani-beraninya kamu masuk rumah orang jam segini. Nanti aku teriak minta tolong, mau kamu digebukin satu RT?” Min mencerocos tak karuan.
“Buat apa? Toh bunganya sudah kamu pegang. Kalau kamu sudah terima bunga itu, maka tugasku sudah selesai. Aku pamit ya. Daah.” Laki-laki itu berkedip genit dan segera menghilang beriringan dengan bunyi motor yang menderu pergi.
Apa aku bermimpi? Tidak ah, buktinya ini ada setangkai anggrek ungu di tangan kananku. Lalu tadi siapa?


***

Sejak pemulihan tiga bulan yang lalu, praktis aku tidak bersekolah. Aku berhenti dan menjalani homeschooling. Mama dan baba masih tidak rukun, tapi mereka lebih baik dalam komunikasi, ada aku yang bisa dijadikan bahan pembicaraan. Mereka masih tidak satu rumah. Mama pindah kantor  ke Singapura. Baba masih bisnis di Indonesia. Kadang-kadang mereka menengokku, membawa permen, coklat dan oleh-oleh. Itu tak apa bagiku, aku masih bersyukur bisa melihat mereka rukun membuat kopi-teh dan menyajikan makanan buat aku dan nin, kalau mereka kebetulan bertamu di rumah nin pada saat yang sama. Aku hanya bisa menyembunyikan senyumku di balik punggung nin.

Terlepas dari kekurangan dalam kondisi keluargaku, aku masih bersyukur bisa memandang wajah mama lama-lama. Melihat baba yang tampak kurusan, janggutnya semakin pekat belum cukuran. Tampaknya, baba benar-benar butuh mama.

“Min sayang, minggu ini mama mau ajak kamu sama nin ke rumah mama..”
Rumah mana? Nin dan aku saling berpandangan.
“Iya. Sekalian kamu liburan. Kata nin, kamu baru selesai Ujian.”
“Iya Min. Bagaimana kalau kita main ke rumah mamamu?” Nin berusaha membujuk.

Baba? Ia duduk di pojok dekat piano, wajahnya tak terbaca. Baba memang pendiam, ia jago berbisnis. Ia sedang memainkan ponselnya. Tapi aku sumpah, bahwa sepersekian detik tadi ada sedikit senyum di ujung bibir baba. Kudengar mereka tidak lanjut ke sidang. Ah, mendengar kata sidang saja aku sudah meringis dan merinding. Ngeri.

Keluargaku memang bukan keluarga yang sempurna. Tapi aku bersyukur kami berempat masih bisa berkumpul di hari Rabu sore yang cerah ini.
“…baba?” kuberanikan diri untuk bertanya dan memastikan sesuatu.
Mama berdeham, agak kikuk. Kenapa harus kikuk? Toh, baba masih berstatus suami mamaku. Iya kan? “Ya sayang, baba juga ikut sepertinya.”
Kurasa, sebagai anak remaja yang agak dewasa, aku bisa memastikan bahwa kedua orangtuaku baik-baik saja. Itu saja yang kubutuhkan.


main kesini waktu ke rumah mama. emangnya kenapa? toh aku masih remaja,
tak ada yang melarang kan? :)


***


Source:
story: by Hamidah
images: Google

Rabu, 14 Oktober 2015

Mandalawangi




antara aku dan edelweis di lembah Mandalawangi. walaupun mereka bicara tentang manfaat dan guna, tapi aku bicara tentang cinta
. kau senantiasa memanggilku tuk kembali, saat hati mulai sepi tanpa terobati..

Aku Ingin


Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu
kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan
kepada hujan yang menjadikannya tiada

("Aku Ingin" karya Sapardi Djoko Damono)

Minggu, 11 Januari 2015

Waktu Itu Pada Suatu Ketika


Cappuccino pertama di bulan Desember 2014.
Sedikit pahit dan asam.
Menggoda seluruh inderawi.

Tak ada yang mengingatkanku untuk membawa payung. Kedinginan karena setengah kebasahan. Hmm, tak apa-apalah. Lagipula, di malam hujan dan di sudut kafe yang temaram ini, siapa sih yang akan memperhatikan gadis gembel bercelana belel berkaus gombrong dengan laptop di hadapannya? Hanya orang iseng mungkin.
Ceritaku hampir jadi. Yup. Sudah klimaks dan tinggal penyelesaian. Mencari happy-ending yang pas tanpa terkesan dibuat-buat adalah seni yang sedang kupelajari sekarang ini. Gampang-gampang susah. Editorku, mbak Ririn, sudah mewanti-wanti supaya ending kali ini nggak terlalu mellow dan lebih tough.
Si handphone bergetar lembut minta perhatian. Rupanya ada beberapa pesan online yang masuk.
“Kamu dimana? Belikan Mama bakwan dan sate kambing di pertigaan gang ya sayang,” Si Boss. Alias mamaku. Bernada perintah dan tanpa ada ruang diskusi. Artinya kebelet makan kambing. Harus beli dengan hati ikhlas. Absolute order.
“Mbak, sepatunya yang abu Echi pinjem ya. Tar dibalikin,” si Mpus Meong. Yang abu yang mana ya? Perasaan yang abu mah baru beli belum go public deh. Bernada maksa tanpa syarat dan ketentuan berlaku. Artinya dibalikin kalo inget. Kalo ngga, ya jadi hak milik. Waduh kacau.
Belum selesai aku membalas, Si handphone bergetar kembali. Seseorang menelpon. Tanpa identitas. Rasanya aku kenal nomor itu. Ooh ya. Tentu aku kenal. Aku selalu mengenalnya seakan ruang dan waktu tak berjarak.  Menyusut hingga seperti kemarin dan sedekat debaran jantung.

Sejenak ia nikmati ringtone-nya Yogyakarta Kla Project. Tak ada yang istimewa. Hanya saja ia tahu Jogja pernah begitu berarti dan masih lekat, syahdu dalam ingatannya. Ia kenang satu nama. Andro.

***

Jogja, 2010.
Kopi hitam pertama di bulan Oktober.



Agak pahit sedikit manis dan asam di ujung lidah. Sensasi tradisional nan berkelas.
Mengajak raga bertualang.

Moncong Nikon-nya mengarah luwes ke semua angle yang cantik yang dapat dipikirnya. Cukup untuk beberapa sesi hunting kali ini. Lansekap pantai, laut dan ekosistem dipantai tak bernama ini sungguh menggodanya. Memaksanya untuk mencicipi nuansa kemping disini. Besok ia akan bertemu Dimas untuk menyerahkan foto dan artikel feature-nya. Sebulan sudah ia freelance fotografer di jogja.
“Sundak nama pantai ini,” seorang pria berkata dari jarak 2 meter.   Beranjak keluar dari lensa intipnya, Anin melirik pria bercelana jeans biru yang digulung ujungnya, tampaknya ia telah bermain air di pantai itu. Beberapa garis pasir melekat di kaus hitamnya. Sang pria tersenyum. Nyess di hati Anin.

Sejenak menikmati deburan ombak



“Ohya,” sahut Anin, “Terima kasih banyak atas infonya. Kebetulan saja saya kemari bermotor dan menemukan pantai indah seperti ini. Di Jogja banyak pantai yang cantik ya?” Matanya segera menangkap burung yang melesat terbang rendah di buihan ombak yang tenang dan menjepretnya dengan kamera. Keburu hilang momennya nanti.
Pria itu masih berjarak dua meter dan ia menerawang horizon seraya membait-kan sebuah puisi,
“Angin dingin menari laksana panah berkelana
Dia tak tergoyahkan batu karang
Hanya bisu dan kelamnya malam
Temani sunyi mencari jiwa
Adakah seseorang dalam bintang?”

Anin menghentikan sejenak aktivitasnya dan merenungkan ulang kata-kata dalam puisi barusan. Mengapa kedengarannya sunyi sekali? Sepi begitu.
“Puisi yang indah,” Anin berdeham demi kesopanan, “Cuma sayangnya saya kurang paham maksudnya. Hehe.”
“Apakah perlu dikatakan, jika hati sudah merasakan keindahannya?” sang pria mengulurkan tangannya untuk bersalaman, “Nama saya Andro.”

***

Perkenalannya dengan Andro di pantai Sundak adalah suatu kebetulan. Tapi sebenarnya tiada yang kebetulan kan? Bahwa Anin harus mencari sebuah destinasi wisata pantai untuk artikel majalahnya adalah takdir. Sudah digariskan. Bahwa Andro saat itu harus putus dengan kekasihnya karena ternyata sang kekasih dijodohkan orangtuanya, adalah takdir. Bahwa keduanya memutuskan untuk berkenalan dan menjalani hubungan pertemanan, itu adalah takdir. Tak lebih karena hati Andro yang hancur dan Anin tak mau pusing dengan urusan cinta.
Anin betah di Jogja. Kota yang bersahabat. Ia kost di daerah Kaliurang. 

Kaliurang


Kadang kalau sudah menuntaskan deadline dan ia merasa harus istirahat sejenak, Andro-lah yang menjadi sahabatnya. Menjadi tumpahan curahan hatinya, bahwa ia kangen. Kangen mama, kangen Echi adiknya, kangen papa yang sudah meninggal. Jam berapa pun, Andro akan datang ke tempat janjian mereka bertemu. Sekali waktu di jam 3 pagi di restoran Kaliurang (yang masih buka, sebab angkringan sudah tutup), mereka membicarakan banyak hal, kecuali politik. Anin jenuh dengan rutinitas freelance. Ia ingin sesuatu yang lebih menantang. Andro adalah pengusaha mebel, usaha warisan turun-temurun dari orangtuanya. Generasi ke-4. Andro juga bilang jenuh dengan keseharian, seperti tidak ada greget.
“Apa karena tidak ada cinta?” Andro beretorika. Anin memutar bola matanya. Sudah lama ia enggan menyapa cinta dengan laki-laki.
“Apa yang mau kau lakukan selanjutnya?” tanya Andro.
Anin mengedikkan bahunya, galau. “Entahlah, Dro,” Ia meliarkan matanya ke sekeliling restoran, sepi. “Kurasa aku butuh penyegaran. Mungkin 2-3 tahun di luar negeri atau menjelajah Indonesia, mungkin seperti kamu yang hobinya bikin usaha baru. Atau bikin majalah sendiri, menarik bukan? Yang jelas aku ingin kabur dari sini. Dan merasa rindu akan Jogja..”
Kalimatnya menggantung, air matanya tak terasa meleleh, ia tak tahu mengapa. Andro tak kuasa menatapnya, menunduk dalam-dalam, rasanya ia mencium aroma perpisahan dengan jelas. Sudah 1 tahun mereka berhasil bersahabat tanpa embel-embel asmara.
Mamanya Anin sering menggodanya berkata bahwa tak ada persahabatan murni di antara wanita dan laki-laki. Tak percaya, buktinya mereka bisa bersahabat selama 1 tahun belakangan ini.

Anin menyelipkan kalung berliontinkan lempengan perak di atas meja. Lempengan perak itu sebenarnya bisa diukir dengan nama, tapi Anin memutuskan untuk mengosongkannya. “Buatmu. Aku kasih pinjam. Tak usah dipakai karena norak. Dan kembalikan lagi kalau suatu saat kita ketemu.” Anin berjalan meninggalkan gelas kopinya yang nyaris kosong. Berjalan menjauhi Andro yang masih terkejut dengan sikap Anin. Berjalan pergi dari kehidupannya. Tanpa tahu kapan akan kembali. Semacam perpisahan sementara namun tak dikatakan secara tersurat. Hanya tersirat. Untuk beberapa tahun kemudian mereka berpisah tanpa saling menyapa..

***

2012.
Anin berada di seberang gunung Fuji, lisannya tak henti bertasbih. Ia terkenang mama, Echi, dan Andro. Ia akan pulang untuk menemui mereka, sekaligus liputan di Indonesia.

***

Agustus 2014.
Kopi pahit tanpa gula.
Senikmat malam ditemani bintang-bintang.



Pada siapa ku harus mengadu? Mama dan Echi menjadikannya sandaran dan tumpuan dalam hidup. Ia menampung segala keluh kesah mereka dan mencarikannya solusi. Ia telah terbiasa. Urusan hidupnya adalah urusannya sendiri. Ia butuh teman bersandar. Ia butuh jawaban atas doanya. Ia ingin ke Jogja. Resolusi awal tahunnya untuk sowan ke Jogja tak kunjung ia lakukan. Ia takut. Takut mencederai suatu hubungan. Ia sudah menulis satu buku. Tentangnya. Dan tentang mimpinya. Haruskah ia membuat suatu pengakuan? Jika hati sudah merasakannya, perlukah lisan berbicara? Justru itulah. Harus. Supaya sinkron.
Hari berganti. Bulan berlalu. Sudah pertengahan tahun. Mungkinkah resolusi hanya sebatas resolusi?
Kopinya pahit, dengan suatu janji manis di ujung lidah. Membuatnya sedikit menaruh harapan.

***
November 2014.
Lembang yang dingin. Hujan membuat suasana berkabut dan jarak seakan samar. Suara-suara sayup meningkahi gemericik gerimis. Syahdu yang ramai di tengah malam. Tiada bintang, hanya hujan. Bahkan menggodanya untuk menarik sarung lebih erat mengusir dingin. Di bale-bale panggung rumah itu, duduk di sampingnya Mang Asep yang bercerita mengenai tradisi kampungnya di Lembang ini. Kali ini Anin menulis feature. Ia jadi ingin pulang ke Bogor. Dan Jogja. Rumah keduanya.
Desember 2014.
Andro mengabarinya bahwa ia akan menikah dengan gadis pilihan ibunya. Dari keluarga pengusaha batik. Cocok katanya dalam hati. Cemburu dan sedih. Cemburu karena Andro tak bisa setiap saat siaga membantunya, menampung jeritan hatinya lagi. Sedih karena ia akan ditinggalkan. Sendiri lagi. Rasanya ia tak sanggup. Sudah cukup edisi satu. Ia ingin ketemu Andro, mau mengutarakan isi hatinya. Beruntung Andro juga mau menemuinya mengantarkan undangan.
Sabtu sore, Anin ke Jogja, untuk kali ini tidak di angkringan tapi di restoran yang agak sedikit mahal dan berkelas.
Aku cinta kamu. Itulah kalimat pertama yang dilontarkan Anin begitu bertemu. Andro sedikit kikuk. Namun ia hanya tersenyum.
Andro duduk di seberang meja dan tersenyum manis seperti 4 tahun yang lalu saat pertama mereka bertemu. “Tidak,” katanya, “Akulah yang lebih dulu mencintaimu.” Andro berkata mantap.
“Bahkan saat kau di belakang kameramu dan aku masih menangisi diputuskan karena perjodohan sepihak, rasanya aku sudah mulai mencintaimu. Namun aku tak menyadarinya.”
Butuh waktu yang lama untuk menyadarinya. Mama yang pertama menyadarinya. Ada banyak kesempatan untuk bilang sayang. Ada banyak kesempatan untuk menjalin kasih. Namun persahabatan yang mereka junjung tinggi nilainya terlalu kuat. Jika sudah begini, manakah yang didahulukan? Bakti kepada orangtua kah? Atau rasa cinta yang teruji waktu?
Anin menangisi kebodohannya. Mungkin ini sudah takdir. Andro menatapnya dalam-dalam. Demi melihat mascara yang mulai pudar dan berleleran di sekitar pipinya, Andro menahan tawa untuk menyampaikan maksudnya.
“Ternyata butuh waktu 4 tahun untuk mendengarkan dan mengakui bahwa kau mencintaiku. Memang ibuku sudah menjodohkan aku dan Ira. Namun kami sepakat untuk menolaknya karena Ira sudah punya pilihannya sendiri. Dan aku hingga saat ini masih menunggumu menyadari keberadaanku. Lama juga ya.” Andro tersenyum lebar.

Anin tertegun. Jadi undangan itu? Undangan itu bohong belaka. Untuk mengetes saja. Cukup berisiko tapi sepadan harganya. Anin tak kuasa menahan tangisnya. Ia sudah menemukan jawaban atas doanya. Bersama Andro. Di Jogja, kota kenangan.

Rabu, 19 September 2012

Roman Picisan




                “He’s saying goodbye, without goodbye. Can you see what I mean here…”
                Restu menutup diari-nya sejenak. Ia pejamkan mata. Lelah setelah seharian berkutat dengan pekerjaan yang seakan tiada habisnya. Konsolidasi lapangan, evaluasi ulang, meeting, rechecking schedule, dan lain sebagainya yang memaksanya untuk tinggal di kantor hingga pukul 9 malam. Pun begitu, ia tersenyum, sedikit senang karena target proyeknya 85% terpenuhi. Yes, yes, yes, serunya dalam hati. Si bos pasti tidak sanggup untuk memberikan pujian lagi. Maklumlah, untuk proyek yang agak becek dan highly risky seperti ini, jarang ada yang bersedia menerima. Lagi-lagi Restu. Mungkin karena ia masih single dan tipe fighter. Single fighter.
                Bolehlah dalam urusan kerjaan Restu dikatakan beruntung. Hanya saja, dalam percintaan, Nampaknya dewi fortuna kurang berpihak padanya. Ah, kalau saja ia sedikit menunjukkan isi hatinya. Kalau saja ia mencegahnya pergi. Kalau saja saat itu ia mengatakan sesuatu… Restu ingin tidur di sofa malam ini. Sofa dekat jendela kamarnya di ruang attic. Restu merebahkan dirinya, ia menerawang. Wajahnya selalu terbayang. Matanya. Restu selalu takluk melihat jendela hatinya Faris. Matanya, aku suka matanya, bisiknya dalam hati. Kenapa aku jatuh cinta oleh hal yang sepele ini? Entahlah, aku mau tiduuuurrrrr….

***

          Pukul 04.36. Handphone-nya bergetar lembut, kala telpon masuk. Restu gelagapan. “Hhalo, ya..Restu,” sembari menguap, menahan kantuk, tiba-tiba matanya segera menjadi awas. Aware. Seseorang di ujung sana mengabarkan berita tak sedap. “Kapan? Maksudku dimana?”
Sedetik kemudian, ia menyambar jaketnya dan melajukan ninjanya ke arah jalan protokol. Tujuannya satu. RS Borromeus. Adalah Dian, yang menelponnya barusan. Dian mengabarkan adiknya yang mengalami kecelakaan motor dan sedang menjalani operasi. Dian meminta doa Restu untuk sang adik. Adik yang sangat disayanginya, Faris. Sementara keluarga Dian sudah berkumpul di RS yang dimaksud. Begitulah kurang lebih isi pembicaraan tadi.
Dian adalah kakak tingkatnya semasa kuliah yang menjadi teman akrab karena satu organisasi, satu kosan, dan kini bekerja di perusahaan yang sama. Dian sangat berharap Restu benar-benar menjadi adiknya. Dan dengan adanya peristiwa ini, entahlah…. Restu tak ingin berpikir macam-macam. Ia berdoa dan terus berdoa. Sudah lebih dari 6 jam sejak operasi dimulai. Pun sejak ia tiba di RS, ia menghibur Dian dan keluarganya, berusaha menabahkan dan membesarkan hati mereka. Selalu berada disamping Dian yang kondisinya tak jauh dari ibundanya, shock dan sembab karena kebanyakan menangis.
Aslinya, jauh dalam lubuk hati Restu, ia menyalahkan dirinya karena tak bersikap peka. Tak bisa membaca yang tersirat dalam nuansa. Kini penyesalan bertahta di pelupuk mata. Rasa bersalah karena ia tak jua memberi keputusan pada Faris..

***
Restu tersadar dari lelapnya, tatkala Dian mengusap lembut bahunya. Entah sudah berapa jam ia di RS ini, proyek apapun harus menunggu, karena ia sudah meminta izin tak masuk hari ini. “Faris sudah siuman,” Dian tersenyum matanya berkaca-kaca, “ingin bicara denganmu, katanya.”
Tak menunggu lama, Restu segera beranjak menuju ruang pemulihan dan mengenakan pakaian khusus pengunjung bezuk. Ia termangu di lorong kamar, matanya tertuju pada seseorang yang terbaring dengan monitor, infusan dan selang dimana-mana. Ia trenyuh, tak kuat menahan rasa. Menunduk, dan imaji menyerbu berkelebatan dalam otaknya. Imaji tentang Faris..
Terduduk di samping Faris, yang rupanya jatuh tertidur, ada banyak yang ingin ia ungkapkan, ada saatnya untuk mengatakan apa yang ada di pikirannya dengan jujur, ada banyak… namun tak satu patah kata pun meluncur. Hanya memandang mata Faris, yang kini sudah terjaga… dapat memandang mata itu kembali, hatinya sudah basah oleh puja-puji pada Tuhan… Terima kasih ya Rabb… Terima kasih..


Subuh yang dingin di Bogor, 20 Sept 2012