It
was very tiring. But, I couldn’t feel unhappy about it. Truthfully, I’m very
happy. Why? Because you were there.
-Bogor, February 11th 2015
Aku tak pernah menyangka bahwa
setangkai bunga bisa berefek panjang. Bahkan bisa demikian buruk nasib
seseorang karena si bunga cantik jelita. Aku juga menyangka bahwa bunga itu
selamanya bisa membahagiakan. Ada harapan. Ada sesuatu yang manis dalam warna-warni
nan cerah merona bermahkota dan berputik sari itu. Ada kumbang yang kadang
mengisap sarinya. Ada kupu-kupu yang lupa pulang ke sarangnya. Ada orang yang
bisa berlama-lama memandangi bunga. Aku termasuk golongan yang terakhir:
memandangi anggrek lama-lama di bawah temaram cahaya bulan di malam bulan
Desember hingga kena flu. Aku capek…
***
Suasananya cukup menghebohkan.
Menurutku, malahan itu berkah yang menyenangkan. Berada di ruang IGD dalam
suatu kecelakaan antara pengemudi lalai dan orang egois yang membawa kabur
seorang anak. Tapi kali ini, aku memang benar-benar ingin diperhatikan
orang-orang di sekelilingku. Maka, satu kecelakaan benar-benar menjawab doaku.
Jadi, disinilah aku. Setelah selamat dari koma tiga hari dan berangsur pulih,
aku bangun berada di ruang rawat setelah pemulihan pasca-operasi. Kudengar
suara nin memanggilku dan mama dan baba ada di kanan kiri. Bibi ada di belakang
mereka.
“Alhamdulillah kamu sudah sadar,
min.” nenek terisak menyebut namaku, merapikan rambutku.
“Mama minta maaf sayang…” mama tak
kuasa meneruskan kalimatnya, mukanya sembab. Mama kena patah tulang tangan
kirinya harus diperban, tapi kulihat Ia bisa berjalan, jadi kurasa Ia tak
apa-apa.
Baba kelihatan lelah. Ia hanya diam
tak bicara. Mama dan baba bertengkar karena aku, anak mereka satu-satunya jadi
bahan yang bisa diperebutkan dalam pengadilan. Hak asuh. Dalam diam, aku berdoa
semoga ada keajaiban.
Lidahku kering, segera nin
mendekatkan sedotan supaya aku bisa minum. Dokter sudah mengunjungiku tadi dan
katanya aku sudah boleh minum, dan lusa sudah boleh pulang sambil berobat
jalan.
Aku hanyalah anak remaja yang sibuk mencari
jati diri. Melelahkan melihat mereka bertengkar. Karena uang. Karena pihak
ketiga. Karena pekerjaan. Aku tak peduli. Padahal dalam hati, aku ingin sekali
mengakui aku peduli pada orangtuaku. Aku ingin mereka rukun bahagia damai,
biarlah hal-hal sepele lepas dari pertengkaran. I wanted to say I love them.
Namun ternyata masalah semakin
membesar dan puncaknya, Mama mengakui ingin berpisah karena tidak bahagia
dengan baba dan sudah punya seseorang yang lebih membahagiakannya. Ah, itu
urusan orang dewasa. Kenapa aku harus dibawa-bawa? Kalau mereka mau berpisah,
ya itu hak mereka.
Nyatanya mereka mau pisah namun ribut
gara-gara hak asuh aku. Menggelikan. Menurutku, itu hanya alasan saja.
Sejujurnya, yang selama ini mengasuhku adalah nin. Mereka, orangtuaku, butuh alasan
untuk bisa menyatukan mereka kembali. Mereka butuh mempertanyakan cinta dan
kesetiaan masing-masing. Aku sudah tahu bahwa mereka itu masih saling
mencintai, tapi terlalu gengsi untuk mengakui. Aku sudah tahu itu dari awal
mereka mulai bertengkar. Hah, begitulah orang dewasa. Meskipun begitu, aku tak
keberatan.
Maka, mama membawaku lari. Naik mobil
dalam keadaan marah, kalap dan terjadilah kecelakaan itu.
***
purple orchid |
“Nin, bunga apa itu?”
“Oh, ini bunga anggrek. Dikasih sama
Tante Ira.” Aku tahu Tante Ira memang suka berkebun, temannya nin di arisan,
yang sama-sama suka gardening.
“Nin mau simpan disini, cantik kan?”
Kadang, aku tersihir oleh anggrek
itu. Cantik. Seakan aku terserap dalam pesonanya. Outstanding. Dark. Adorable.
Wild. Hard to conquer. Berminggu-minggu
aku memandangnya. Menyaksikan pertumbuhannya. Seperti menyaksikan bayi tumbuh
besar. Menyenangkan.
Maka, dari kamarku aku bisa
menatapnya lama-lama tanpa menyentuhnya. Mengagumi ciptaan Allah yang maha
sempurna. Dan bertanya-tanya apa yang dirasakan oleh anggrek itu. Kedinginan.
Kehujanan. Kepanasan. Tapi ia tetap tumbuh dan semakin cantik.
“Assalamualaikum!!!!” teriakan salam
muncul dari kebun belakang rumah. Tak sopan malam-malam begini siapa yang
datang? Dari arah belakang pula. Min kaget bukan kepalang, hampir ia jatuh dari
kursinya. Duhai, mana Mang Olin, asisten rumah tangga nin yang laki-laki sudah
pulang sejak jam 5 sore tadi. Nin mana
sih?!
Laki-laki itu berdiri di depan
jendela kamarnya yang terbuka.
“Nin mana?” laki-laki urakan berjins
belel muncul. Min ingin bertanya kalimat yang sama kepada lelaki itu. Siapa kamu? Kenapa datang malam-malam? Ada
apa mencari nin-ku? Dan mengapa ia memanggil neneknya dengan sapaan manja
miliknya? Pertanyaan itu berebutan
berkelebat dalam benak Min minta dijawab.
“Hehe” lelaki itu menyeringai,
memamerkan geligi putih miliknya.
“Ini, bunga anggrek buat kamu.”
Aku memang suka bunga anggrek. Ini
anggrek ungu. Warnanya keren. Setangkai
anggrek ungu. Akan kubuat sebuah puisi nanti, pikirannya mengingatkan.
“Nin enggak ada! Siapa kamu? Dan
berani-beraninya kamu masuk rumah orang jam segini. Nanti aku teriak minta
tolong, mau kamu digebukin satu RT?” Min mencerocos tak karuan.
“Buat apa? Toh bunganya sudah kamu
pegang. Kalau kamu sudah terima bunga itu, maka tugasku sudah selesai. Aku
pamit ya. Daah.” Laki-laki itu berkedip genit dan segera menghilang beriringan
dengan bunyi motor yang menderu pergi.
Apa
aku bermimpi? Tidak ah,
buktinya ini ada setangkai anggrek ungu
di tangan kananku. Lalu tadi siapa?
***
Sejak pemulihan tiga bulan yang lalu,
praktis aku tidak bersekolah. Aku berhenti dan menjalani homeschooling. Mama dan baba masih tidak rukun, tapi mereka lebih
baik dalam komunikasi, ada aku yang bisa dijadikan bahan pembicaraan. Mereka
masih tidak satu rumah. Mama pindah kantor
ke Singapura. Baba masih bisnis di Indonesia. Kadang-kadang mereka
menengokku, membawa permen, coklat dan oleh-oleh. Itu tak apa bagiku, aku masih
bersyukur bisa melihat mereka rukun membuat kopi-teh dan menyajikan makanan
buat aku dan nin, kalau mereka kebetulan bertamu di rumah nin pada saat yang
sama. Aku hanya bisa menyembunyikan senyumku di balik punggung nin.
Terlepas dari kekurangan dalam
kondisi keluargaku, aku masih bersyukur bisa memandang wajah mama lama-lama.
Melihat baba yang tampak kurusan, janggutnya semakin pekat belum cukuran.
Tampaknya, baba benar-benar butuh mama.
“Min sayang, minggu ini mama mau ajak
kamu sama nin ke rumah mama..”
Rumah mana? Nin dan aku saling
berpandangan.
“Iya. Sekalian kamu liburan. Kata nin,
kamu baru selesai Ujian.”
“Iya Min. Bagaimana kalau kita main
ke rumah mamamu?” Nin berusaha membujuk.
Baba? Ia duduk di pojok dekat piano,
wajahnya tak terbaca. Baba memang pendiam, ia jago berbisnis. Ia sedang
memainkan ponselnya. Tapi aku sumpah, bahwa sepersekian detik tadi ada sedikit
senyum di ujung bibir baba. Kudengar mereka tidak lanjut ke sidang. Ah,
mendengar kata sidang saja aku sudah meringis dan merinding. Ngeri.
Keluargaku memang bukan keluarga yang
sempurna. Tapi aku bersyukur kami berempat masih bisa berkumpul di hari Rabu
sore yang cerah ini.
“…baba?” kuberanikan diri untuk
bertanya dan memastikan sesuatu.
Mama berdeham, agak kikuk. Kenapa
harus kikuk? Toh, baba masih berstatus suami mamaku. Iya kan? “Ya sayang, baba
juga ikut sepertinya.”
Kurasa, sebagai anak remaja yang agak
dewasa, aku bisa memastikan bahwa kedua orangtuaku baik-baik saja. Itu saja
yang kubutuhkan.
main kesini waktu ke rumah mama. emangnya kenapa? toh aku masih remaja, tak ada yang melarang kan? :) |
***
Source:
story: by Hamidah
images: Google
Tidak ada komentar:
Posting Komentar