Tampilkan postingan dengan label isi pikiran. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label isi pikiran. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 26 Maret 2016

Min (part-2)







Si lelaki berjins belel itu semakin sering datang kemari. Dua kali dalam seminggu.  Kadang ia membawa bunga yang lain. Bunga melati. Bunga matahari. Bunga kenanga. Bunga mayang. Aneh. Darimana ia dapatkan bunga-bunga itu? Dan lelaki itu. Dia masih belum menyebutkan namanya. Dan aku juga sama saja tak peduli, aku hanya menyapanya: heh/kamu/situ/dll. Tak sopan, memang. Di keremangan senja kala, kulihat matanya sedikit memerah. Aku sedang di beranda belakang rumah, sedang mengerjakan PR untuk besok.


“Nin hanya senyum waktu aku cerita tentang kamu. Katanya namamu Hans. Anaknya tante Ira. Betulkah?” Taksirannya adalah, lelaki itu masih sekolah atau kuliah. Wangi. Meskipun jinsnya belel, tapi kesannya adalah pria itu seorang yang bisa mengurus dirinya.

“Kalau bukan, memangnya urusanmu?” balasnya ketus. Min ingin meninjunya, tapi jadinya cuma melotot.

“Aku bukan Hans, aku Gretel.” Ia tersenyum sinis sembari berkelakar. Betapa ia benci  Hans. Hanya Hans yang ada di mata mama, pikir lelaki itu. Hans seorang dokter. Ia anak mama. Hans memilih mengejar-ngejar wanita karier dewasa yang punya banyak materi. Hans materialistis. Itulah kakaknya, berbeda dengan dirinya. Ia hanya seorang arsitek miskin yang baru memulai karirnya.

Al hanya mendengar cerita Min dari mamanya. Ia jatuh iba pada Min. Ia hanya ingin membuatnya tersenyum. Sedangkan Min hanyalah gadis remaja yang jatuh cinta karena merasa diperhatikan oleh seseorang selain neneknya. Ia merasa berbeda. Maklumlah, mama dan baba tak selalu ada untuknya. Padahal Min ingin sekali tinggal dengan mereka. atau salah satu dengan mereka. Min kan anak mereka, pikirnya, tak seharusnya mereka mengedepankan karir dan bisnis hingga menelantarkan anak satu-satunya. Ia berhak untuk itu bukan? Dan itu dilindungi oleh Undang-Undang di bagian Hak Anak. Tinggal dengan nin enak juga, dimanja. Tapi dengan mama dan baba, it feels completed.

*** 
ini yang ingin kulihat kalau ke Raja Ampat nanti.
they have instructor, right? because i can't swim..

Minggu ketiga bulan Oktober.

Ulang tahunku yang ke-18. Aku sudah punya KTP, SIM, dan paspor. Aku bebas pergi kemanapun yang aku mau. Mau ke Raja Ampat atau ke Bantimurung. Ke Gili Air, Gili Meno, atau ke puncak gunung sekalipun. Safety first, itu kata mama-ku. Aku gembira, sampai baba datang dengan seorang wanita yang wajahnya samar kukenali, tapi aku tak pernah melihatnya. Ternyata itu tante Ira. Tapi kenapa baba datang dengan tante Ira?

“Kami akan menikah bulan depan” kata tante Ira, menyalamiku. Duniaku runtuh. Pantas, wajahnya mengingatkanku akan Hans.

Keluargaku sedang berkumpul di ruang tengah. Mama menuang kopi di meja makan. Berpura-pura tak terjadi apa-apa. Apa mama tahu? Apa nin tahu? Apakah ada yang bisa menjelaskan apa yang sedang terjadi disini?  Min ingin menjerit. Sungguh baba keterlaluan. Memberikan hadiah ‘bom’ tepat di saat ulangtahunku. Aku tak mengerti ini semua. Aku pusing. Air mataku berleleran. Aku menangis di kamar. Mama aneh. Ia malah menenangkanku, seakan ini kejadian biasa.  Aku sungguh tak mengerti. Ini ujian buatku. Tidakkah mama merasa ini ujian buatnya juga?

Aku sudah lama jatuh cinta pada Hans, pria pembawa bunga, yang ia jadikan tempatnya curhat dan mereka sudah saling percaya. Nin sudah percaya pada Hans. Hans anaknya tante Ira. Jika baba akan menikah dengan tante Ira, maka Hans akan menjadi saudara tiriku. Lalu bagaimana aku harus memendam perasaan ini? Teganya baba. Tapi siapa pula yang tahu bahwa aku jatuh cinta dengan Hans. Nin dan tante Ira kan berteman. Bagaimana baba bisa berkenalan dengan tante Ira?

Min kesal bukan kepalang. Tapi baba sudah pulang. Tante Ira juga sudah tidak ada. Pesta ulang tahunnya kacau.

do you want to know, how cruel i am? baba dan tante Ira: i hope it will never exist.

***

Rumah Depok.
“Mama seharunya tahu kan, bahwa Pak Iman adalah menantunya nin?”
“Itu bukan salah mama. Kamu belum pernah jatuh cinta.” Walaupun ayahnya sudah meninggal bertahun-tahun lamanya, Al belum pernah melihat mamanya sebahagia ini. Tidak juga ketika para pengusaha yang lain datang melamarnya. Mama adalah janda kembang. Tapi dengan Pak Iman, yang ternyata baba-nya Min, mama menjadi seperti gadis muda yang pipinya kadang merah merona.

“Sudahlah Al, memangnya mama tak berhak bahagia? biarkan mereka menikah, sudah sama-sama dewasa.” Hans mencoba menengahi.
Masalahnya adalah jika mama menikah dengan Pak Iman, maka Min akan menjadi saudara tirinya, padahal ia…. Padahal ia… dan Min…

“Kalau kamu tidak mau mama menikah, fine. Mama tidak akan.” Mama berusaha mengalah, “tapi katakan sebabnya apa? Kenapa kamu tidak suka dengan calon mama? Dia pria yang baik, bertanggung jawab.”
“Aku hanya tak setuju. Itu saja.” Ia ingin mamanya bahagia, tapi di sisi lain…
Al tak sanggup mengatakannya. Al tak sanggup bilang bahwa ia mencintai Min, calon saudara tirinya…

***

Di kedai kopi.

Min menyeruput kopinya pelan-pelan. Al menirunya.
Anak kemarin sore, yang berusaha menentang kebahagiaan mamanya. Ia tak tega.
“Min, sepertinya…”
Min mengangkat tangannya, mengelak.
“Jangan bilang. Aku dulu yang bilang.” Min menatap meja kopi, menelusuri pinggiran kayu mahoninya melalui sudut matanya. “Mungkin kita sebaiknya tidak ….”
“Tidak …”
“Ya.” Hanya itu jawaban Al. Keduanya sama-sama ingin melihat orangtuanya bahagia. Dengan bersikap tidak egois dan mengenyampingkan kebahagiaan mereka sendiri yang mungkin lebih berprospek seandainya mamanya dan babanya Min tidak bertemu. Mereka anak-anak yang baik yang sayang pada keluarga. Itulah yang coba mereka lakukan. Kedua anak manusia yang jatuh cinta namun dikalahkan oleh cintanya pada orangtua masing-masing.

Dalam diam, keduanya saling memahami. Sudah tidak perlu dikatakan lagi. Daripada berharap lebih baik saat ini disudahi. Diakhiri. Itupun kalau ada permulaan. Apakah memang ada awal kisah mereka? Tampaknya tidak. Tidak dikatakan, namun terjadi dengan sendirinya.

Keduanya menatap kopi masing-masing. Lama. Lama sekali termenung, tenggelam dalam pikirannya dan berandai-andai. Al memberanikan diri menatap Min untuk terakhir kalinya, ia memandang gadis itu baik-baik.

“Namaku Al. Bukan Hans, yang seperti selama ini kamu duga.” Al memakai topinya dan ia menyodorkan tangannya, menawarkan bersalaman dengan Min. “Senang berkenalan denganmu. Dan mungkin jika nasib tidak mempermainkan kita, aku akan kenalan dengan baik dan benar. “
Min menyambut uluran tangannya. “Namaku Min, sebentar lagi aku akan kuliah, dan mungkin jika nasib tidak mempermainkan kita, maka aku akan senang bertemu denganmu di lain kesempatan.” Tidak seperti ini.

Al tersenyum kecut.

Min pergi meninggalkan kedai kopi itu dengan hati perih, pecah berkeping-keping untuk cinta pertamanya yang tidak kesampaian. Pergi meninggalkan cinta pertamanya yang masih termenung di hadapan kopinya yang sudah hampir habis. Ya. Mungkin lain kali, ujarnya dalam hati. Mungkin nanti ada saatnya, ujar Min menghibur diri. Mungkin nanti, ketika nasib memihak kami



Source:
Story by: Hamidah
Images by: Google

Min (part-1)






It was very tiring. But, I couldn’t feel unhappy about it. Truthfully, I’m very happy. Why? Because you were there.

-Bogor, February 11th 2015


Aku tak pernah menyangka bahwa setangkai bunga bisa berefek panjang. Bahkan bisa demikian buruk nasib seseorang karena si bunga cantik jelita. Aku juga menyangka bahwa bunga itu selamanya bisa membahagiakan. Ada harapan. Ada sesuatu yang manis dalam warna-warni nan cerah merona bermahkota dan berputik sari itu. Ada kumbang yang kadang mengisap sarinya. Ada kupu-kupu yang lupa pulang ke sarangnya. Ada orang yang bisa berlama-lama memandangi bunga. Aku termasuk golongan yang terakhir: memandangi anggrek lama-lama di bawah temaram cahaya bulan di malam bulan Desember hingga kena flu. Aku capek…

***

Suasananya cukup menghebohkan. Menurutku, malahan itu berkah yang menyenangkan. Berada di ruang IGD dalam suatu kecelakaan antara pengemudi lalai dan orang egois yang membawa kabur seorang anak. Tapi kali ini, aku memang benar-benar ingin diperhatikan orang-orang di sekelilingku. Maka, satu kecelakaan benar-benar menjawab doaku. Jadi, disinilah aku. Setelah selamat dari koma tiga hari dan berangsur pulih, aku bangun berada di ruang rawat setelah pemulihan pasca-operasi. Kudengar suara nin memanggilku dan mama dan baba ada di kanan kiri. Bibi ada di belakang mereka.

“Alhamdulillah kamu sudah sadar, min.” nenek terisak menyebut namaku, merapikan rambutku.
“Mama minta maaf sayang…” mama tak kuasa meneruskan kalimatnya, mukanya sembab. Mama kena patah tulang tangan kirinya harus diperban, tapi kulihat Ia bisa berjalan, jadi kurasa Ia tak apa-apa.

Baba kelihatan lelah. Ia hanya diam tak bicara. Mama dan baba bertengkar karena aku, anak mereka satu-satunya jadi bahan yang bisa diperebutkan dalam pengadilan. Hak asuh. Dalam diam, aku berdoa semoga ada keajaiban.

Lidahku kering, segera nin mendekatkan sedotan supaya aku bisa minum. Dokter sudah mengunjungiku tadi dan katanya aku sudah boleh minum, dan lusa sudah boleh pulang sambil berobat jalan.

Aku hanyalah anak remaja yang sibuk mencari jati diri. Melelahkan melihat mereka bertengkar. Karena uang. Karena pihak ketiga. Karena pekerjaan. Aku tak peduli. Padahal dalam hati, aku ingin sekali mengakui aku peduli pada orangtuaku. Aku ingin mereka rukun bahagia damai, biarlah hal-hal sepele lepas dari pertengkaran. I wanted to say I love them.

Namun ternyata masalah semakin membesar dan puncaknya, Mama mengakui ingin berpisah karena tidak bahagia dengan baba dan sudah punya seseorang yang lebih membahagiakannya. Ah, itu urusan orang dewasa. Kenapa aku harus dibawa-bawa? Kalau mereka mau berpisah, ya itu hak mereka.

Nyatanya mereka mau pisah namun ribut gara-gara hak asuh aku. Menggelikan. Menurutku, itu hanya alasan saja. Sejujurnya, yang selama ini mengasuhku adalah nin. Mereka, orangtuaku, butuh alasan untuk bisa menyatukan mereka kembali. Mereka butuh mempertanyakan cinta dan kesetiaan masing-masing. Aku sudah tahu bahwa mereka itu masih saling mencintai, tapi terlalu gengsi untuk mengakui. Aku sudah tahu itu dari awal mereka mulai bertengkar. Hah, begitulah orang dewasa. Meskipun begitu, aku tak keberatan.
Maka, mama membawaku lari. Naik mobil dalam keadaan marah, kalap dan terjadilah kecelakaan itu.


***

purple orchid

“Nin, bunga apa itu?”
“Oh, ini bunga anggrek. Dikasih sama Tante Ira.” Aku tahu Tante Ira memang suka berkebun, temannya nin di arisan, yang sama-sama suka gardening.
“Nin mau simpan disini, cantik kan?”

Kadang, aku tersihir oleh anggrek itu. Cantik. Seakan aku terserap dalam pesonanya. Outstanding. Dark. Adorable. Wild. Hard to conquer.  Berminggu-minggu aku memandangnya. Menyaksikan pertumbuhannya. Seperti menyaksikan bayi tumbuh besar. Menyenangkan.

Maka, dari kamarku aku bisa menatapnya lama-lama tanpa menyentuhnya. Mengagumi ciptaan Allah yang maha sempurna. Dan bertanya-tanya apa yang dirasakan oleh anggrek itu. Kedinginan. Kehujanan. Kepanasan. Tapi ia tetap tumbuh dan semakin cantik.

“Assalamualaikum!!!!” teriakan salam muncul dari kebun belakang rumah. Tak sopan malam-malam begini siapa yang datang? Dari arah belakang pula. Min kaget bukan kepalang, hampir ia jatuh dari kursinya. Duhai, mana Mang Olin, asisten rumah tangga nin yang laki-laki sudah pulang sejak jam 5 sore tadi. Nin mana sih?!
Laki-laki itu berdiri di depan jendela kamarnya yang terbuka.

“Nin mana?” laki-laki urakan berjins belel muncul. Min ingin bertanya kalimat yang sama kepada lelaki itu. Siapa kamu? Kenapa datang malam-malam? Ada apa mencari nin-ku? Dan mengapa ia memanggil neneknya dengan sapaan manja miliknya?  Pertanyaan itu berebutan berkelebat dalam benak Min minta dijawab.

“Hehe” lelaki itu menyeringai, memamerkan geligi putih miliknya.
“Ini, bunga anggrek buat kamu.”

Aku memang suka bunga anggrek. Ini anggrek ungu. Warnanya keren. Setangkai anggrek ungu. Akan kubuat sebuah puisi nanti, pikirannya mengingatkan.
“Nin enggak ada! Siapa kamu? Dan berani-beraninya kamu masuk rumah orang jam segini. Nanti aku teriak minta tolong, mau kamu digebukin satu RT?” Min mencerocos tak karuan.
“Buat apa? Toh bunganya sudah kamu pegang. Kalau kamu sudah terima bunga itu, maka tugasku sudah selesai. Aku pamit ya. Daah.” Laki-laki itu berkedip genit dan segera menghilang beriringan dengan bunyi motor yang menderu pergi.
Apa aku bermimpi? Tidak ah, buktinya ini ada setangkai anggrek ungu di tangan kananku. Lalu tadi siapa?


***

Sejak pemulihan tiga bulan yang lalu, praktis aku tidak bersekolah. Aku berhenti dan menjalani homeschooling. Mama dan baba masih tidak rukun, tapi mereka lebih baik dalam komunikasi, ada aku yang bisa dijadikan bahan pembicaraan. Mereka masih tidak satu rumah. Mama pindah kantor  ke Singapura. Baba masih bisnis di Indonesia. Kadang-kadang mereka menengokku, membawa permen, coklat dan oleh-oleh. Itu tak apa bagiku, aku masih bersyukur bisa melihat mereka rukun membuat kopi-teh dan menyajikan makanan buat aku dan nin, kalau mereka kebetulan bertamu di rumah nin pada saat yang sama. Aku hanya bisa menyembunyikan senyumku di balik punggung nin.

Terlepas dari kekurangan dalam kondisi keluargaku, aku masih bersyukur bisa memandang wajah mama lama-lama. Melihat baba yang tampak kurusan, janggutnya semakin pekat belum cukuran. Tampaknya, baba benar-benar butuh mama.

“Min sayang, minggu ini mama mau ajak kamu sama nin ke rumah mama..”
Rumah mana? Nin dan aku saling berpandangan.
“Iya. Sekalian kamu liburan. Kata nin, kamu baru selesai Ujian.”
“Iya Min. Bagaimana kalau kita main ke rumah mamamu?” Nin berusaha membujuk.

Baba? Ia duduk di pojok dekat piano, wajahnya tak terbaca. Baba memang pendiam, ia jago berbisnis. Ia sedang memainkan ponselnya. Tapi aku sumpah, bahwa sepersekian detik tadi ada sedikit senyum di ujung bibir baba. Kudengar mereka tidak lanjut ke sidang. Ah, mendengar kata sidang saja aku sudah meringis dan merinding. Ngeri.

Keluargaku memang bukan keluarga yang sempurna. Tapi aku bersyukur kami berempat masih bisa berkumpul di hari Rabu sore yang cerah ini.
“…baba?” kuberanikan diri untuk bertanya dan memastikan sesuatu.
Mama berdeham, agak kikuk. Kenapa harus kikuk? Toh, baba masih berstatus suami mamaku. Iya kan? “Ya sayang, baba juga ikut sepertinya.”
Kurasa, sebagai anak remaja yang agak dewasa, aku bisa memastikan bahwa kedua orangtuaku baik-baik saja. Itu saja yang kubutuhkan.


main kesini waktu ke rumah mama. emangnya kenapa? toh aku masih remaja,
tak ada yang melarang kan? :)


***


Source:
story: by Hamidah
images: Google

Rabu, 14 Oktober 2015

Aku Ingin


Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu
kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan
kepada hujan yang menjadikannya tiada

("Aku Ingin" karya Sapardi Djoko Damono)

Semeru (Okt 2013)




Mahameru 3676 mdpl. had breakfast with friends after landed in the roof of Java..

Puncak Mahameru. high above the cloud, the sky shines brightly. "di atas awan kita kan menang." -Nidji.

God is The Greatest of All. Kalimati said hi behind us. marvellous..marvellous.. after eight hours of crawling in the smooth sand, hmm that was worthed.

Gede-Pangrango(nyaris)-Gede (via Putri)




it was my last fire. after the light fade away, none other choices given to me unless "keep walking" . one of the most eighteen-trembling-hours of my life. -Puncak Gede




Karang Taraje




by the sea, we made a vow in our heart secretly. 
by the wind blows, we share our laugh, hope, and dreams. talked about the night sky. talked about the wave and sound. 


Senin, 27 April 2015

Senja di Batas Kota (Part 7) engl.vers

She lay on the grass champ elyesees, covering her eyes with sunglasses and enjoying the morning sun when a middle-aged Caucasian man came to her and smiled.

lay down a while in champ elysee garden

"Sprechen Sie Deutsch?" (Do you speak German?)
"Ist dies der weg nach to Bogor?" (Is this the way to Bogor?)
Mala immediately sat down, removed her sunglasses, and hugged him. Her father who had not been met. Her father is a German, had come to pick Mala in Eiffel. She was very nostalgic and want to tell him a lot.
"Guten morgen Papa. Wie geht es Ihnen? "(Good morning, Dad. How are you?)
"Good. Why you never came to see papa? " As he ruffled hair Mala," already busy ya now. Say you become a celebrity in Indonesia. "

Papa and Mala are both smiling. They talked about many things while visiting the Eiffel Tower, and out of the art museum and last visit Monalisa painting.

"Do you still love mama? Why never intended to reunited? We all miss you guys together again. "
Papa looked at faraway, can only smile like typical parent. "Mala will grown, then also you will understand. There are things that are better not to be together. Mama would have been much better. Now, tell me, is mama health? Aunt and your sister? You already have someone? "

She was in no mood to tell stories. "Papa, please give one piece of advice to tackle this thorny pa .."
"What makes the issue complicated is that man itself. You are making it complicated and convoluted."
Without further asked, Dad just said, "You just have to be yourself. Do whatever your conscience. That is what will make you happy, my sweet. "

Mala tried to absorb the words. Slowly, she took a deep breath and realized the mistake she had done. But how she should straighten out the error? How can she straighten it? You know, sometimes the mind is not necessary to resolve all the issues detailed in this world. You just have to try his best, then pray everything to God. He is the Almighty.


***

March 2015.
That evening, little rain fell throughout West Germany, precisely in Frankfurt, home to Mala's dad. Mala decided to accompany her father a short stay for 1 month. Someon knocked the door with a 4/4 rhythm.



raining outside ...

Buku


Senja di Batas Kota (Part 7)



Ia berbaring di atas rumput champ elyesees, menutup matanya dengan kacamata hitam dan menikmati sinar matahari pagi ketika seorang pria bule paruh baya mendatanginya dan tersenyum.

lay down a while in champ elysees garden

Sprechen Sie Deutsch?” (Apakah Anda dapat berbahasa Jerman?)
Ist dies der weg nach Bogor?” (Apakah ini jalan ke Bogor?)
Mala segera duduk, membuka kacamata hitamnya, dan langsung memeluk pria itu. Papanya yang sudah lama tak ditemuinya. Papanya yang orang Jerman, sengaja datang menjemput Mala di Eiffel. Ia sangat kangen dan ingin bercerita banyak.

Guten morgen Papa. Wie geht's, Papa?” (Selamat pagi, Papa. Bagaimana kabarmu?)

“Baik. Kamu kenapa tidak pernah datang menjenguk papa?” seraya mengacak-acak rambut Mala, “sudah sibuk ya sekarang. Katanya kamu jadi selebritis di Indonesia.”

Papa dan Mala sama-sama tersenyum. Walking around in Paris all day long. Mereka bercerita banyak hal sembari mengunjungi menara Eiffel, keluar masuk art museum dan terakhir mengunjungi lukisan Leonardo da Vinci yang terkenal, Monalisa.

“Apa papa masih sayang sama mama? Kenapa tak pernah berniat rujuk? Kami semua rindu kalian bersama-sama lagi.”

Papa menerawang jauh, hanya dapat tersenyum khas orangtua. “Mala sudah dewasa, nanti juga kau akan mengerti. Ada hal-hal yang lebih baik tidak untuk bersama. Mama pasti jauh lebih baik. Sekarang, ceritakan sama Papa, mamamu sehat? Tante dan adikmu? Kamu sudah ada calon pendamping?”

Ia sedang tak ingin bercerita. “Berikan Mala satu nasihat untuk menghadapi masalah pelik ini pa..”
“Yang membuat masalah pelik adalah manusia sendiri. Kamu yang membuatnya rumit dan pelik." 

Tanpa ditanya lebih lanjut, papa hanya bilang, “Kamu hanya harus menjadi dirimu sendiri. Lakukan sesuai kata hati nuranimu. Itulah yang akan membuatmu bahagia, manisku.”

Mala mencoba meresapi kata-kata itu. Perlahan, ia menarik napas dalam dan menyadari kesalahan yang telah ia perbuat. Namun bagaimana ia harus meluruskan kesalahan itu? Dengan cara bagaimanakah ia membereskan hal itu? Kau tahu, kadang tidak diperlukan pikiran  mendetail untuk menyelesaikan segala masalah di dunia ini. Kau hanya harus berusaha semampunya, kemudian pasrahkan segalanya kepada Allah. Dialah yang Mahakuasa lagi Mahaberkehendak.


***


Maret 2015.

Sore itu, hujan kecil turun di seantero Jerman Barat, tepatnya di Frankfurt, tempat tinggal papa Mala. Mala memutuskan tinggal sebentar menemani papanya selama 1 bulan. Pintu diketok dengan irama 4/4.

raining in Frankfurt

Senja di Batas Kota (Part 6)


Percakapan itu masih terngiang kembali.
“Ibu ngga akan pernah setuju kamu berpacaran apalagi menikah dengan gadis proyek itu. Dia itu ngga cocok sama ibu. Dia ngga akan menjadi istri dan ibu yang baik bagi anak-anak kamu. Kamu tak perlu mengajar-ngejarnya lagi. Ibu sudah menjodohkanmu dengan Dinda, penerus pimpinan Uniheart.”

Meskipun sudah berkepala tiga, di hadapan ibunya, Dio merasa menjadi anak kecil yang selalu diurus dan diatur ibunya, tak punya kebebasan menentukan pilihan. Kadang ia ingin pergi saja dari rumah ini. Tapi ia begitu sayang pada ibunya. Siapa yang akan merawat ibu dan menemaninya nanti? Ia anak satu-satunya. Ayahnya sudah lama menikah lagi dan tinggal dengan istri mudanya. Dio serba salah.

“Bu, tolonglah bu. Sekali ini saja Dio ingin menentukan pilihan hati Dio. Selama ini ibu yang memiliki kuasa atas semua keputusan hidup yang Dio jalani. Sungguh beberapa tidak menghasilkan kebahagiaan yang ibu inginkan pada Dio. Sekali ini saja bu… Dio mohon..”
Ibu berpaling ke jendela, tak tega memandang Dio yang kini berlelehan air mata. Suasana dilematis ini bukannya tak pernah ia rasakan. Kini, ia seperti berada di posisi orangtuanya dahulu yang melakukan hal yang sama dengan yang ia lakukan. Apakah ia akan mengorbankan kebahagian anaknya, demi harta dan tahta? Hidupnya sudah cukup menjadi pelajaran untuk tidak melakukan hal yang sama.

“Ibu, ananda mohon izin dan do’a…”
Ibu berurai air mata, masih tak mau menatap Dio, “Pergilah anakku. Pergi temukan kebahagiaanmu..”

***

Dio menemui Mala, dalam suatu jadwal penerbangan yang sempit di Singapura. Mala hendak pergi ke Inggris, untuk mengambil masternya. Dio memohonnya untuk bertemu sebentar. Maka mereka berjanji untuk bertemu ketika Mala transit.


memorable place at the time

“Seharusnya kukatakan sejak dulu. Mala, maafkan aku. Selama ini aku tidak menjadi tuan atas nuraniku. Aku sengaja menghinamu, selalu menolak pekerjaanmu, karena dengan begitu aku bisa melihatmu lebih lama. Bisa menutupi perasaanku yang sebenarnya. Padahal aku menipu diri sendiri. Kelakuanku yang demikian, tak juga menghapuskan perasaanku padamu, Mala..” untuk pertama kalinya Mala melihat laki-laki itu meruntuhkan tembok kesombongan dalam dirinya. Ia trenyuh.
Mala tersenyum kaku, merasa tersanjung. Ia sudah memaafkannya, dalam hati ia selalu memaafkannya.

“Maukah menikah denganku?”

“Aku sudah memaafkanmu, pak. Tapi untuk menikah. Mungkin belum… aku ingin menggapai apa yang sudah kucita-citakan sejak dulu.”

Penolakan halus. Apa yang harus kulakukan sekarang? Dengan kata-kata itu, berakhirlah pertemuan mereka.

“Aku akan menjemputmu Mala. Pada saatnya nanti kau akan tahu janjiku. Ingatlah itu baik-baik.”
Mala berlalu pergi meninggalkan Dio yang terpaku. Gadis itu pergi mengajar karir dan cita-citanya. Ia tidak bisa dengan egois menghentikannya. Ia rapuh. Tak tahu apa yang akan dilakukannya sekarang. Ketika restu sudah didapat dan semua jalan dilancarkan, jika Tuhan belum berkehendak, maka segalanya tak mungkin terjadi. Belum terjadi setidaknya.. Dio pergi. Ia akan pergi dan tak kembali untuk mengobati luka hatinya. Sampai ia bisa pulih menghadapi dunia. Ia akan minta pindah. Selamat jalan hatiku… selamat tinggal Indonesia…untuk sementara, hingga aku bisa tegak menghadapi dunia..


^^^

2015.
Setahun berlalu sejak pertemuan terakhir mereka. Ia sudah jarang menyelam, fokus dengan master-nya. Begitupun Dio. Sejak itu, tak pernah ada email atau berita apa pun. Rere kadang berkomentar sebal, bahwa Mala, kan sudah dewasa, tapi untuk memutuskan pilihan hidupnya saja susahnya minta ampun: antara Roni dan Dio. Yang menderita adalah mereka bertiga akibat kegamangan Mala dalam membuat keputusan yang tegas.

Mala berdalih, bahwa ia sudah tidak memiliki perasaan apa pun terhadap Roni. Pria itulah yang masih mengharapkannya. Ia tak menyalahkannya. Mencintai adalah hak pribadi. Ia tak bisa melarang seseorang untuk mencintai orang lain karena itu akan membuat mereka bahagia. Rere berkata sebal, terserahlah. Lalu bagaimana dengan Dio. Pusing. Ia tak mau membahas mereka. Sekarang ia hanya ingin bekerja dan menyelesaikan master. Sudah itu bekerja lagi, entah pulang ke Indonesia, entah di sini. Dimanapun tak jadi masalah, pikirnya enteng. Tapi mama selalu bertanya kapan pulang.. dan ia sudah lama tak berjumpa dengan papanya di Jerman. Esok, ia akan membeli tiket untuk pergi ke Jerman. Sebelumnya akan melihat menara Eiffel yang terkenal itu.

tiket apapun yang didapat, just so be it.

Senja di Batas Kota (Part 5)


restaurant with a nice foyer, jazzy.

Senja di Batas Kota (Part 4)




Mama menjemputnya di bandara dan tante Hani memberinya sekotak coklat sebagai hadiah selamat datang, mereka sepertinya sehat dan masih selalu meributkan kemacetan yang seperti tiada akhir. Mala bersyukur.




Tante Hani selalu tahu apa yang Mala sukai:)

“Gimana proyeknya?” Tante Hani mengalihkan pembicaraan dari topik kemacetan. Seraya meninggalkan bandara menuju Jakarta.

“Oke saja tan, tinggal ketemu wartawan saja besok,” Mala berusaha biasa saja, meski hatinya sedikit kelam, “setelah itu selesai.”

“Oh. Mama seneng deh dengarnya. Mulai bulan ini kamu stay di Bogor lagi, kan? Jangan sering-sering tinggalin mama dong, Mala” mama merajuk, seraya berbisik di kuping Mala katanya papa bangga kamu bisa bikin sesuatu kaya gitu. Tante Hani berdeham. Mala tersenyum. Sangat khas keluarganya. Ia rindu mereka. Ia juga kangen Rere. Anak itu belum membalas email terakhirnya dua hari kemarin. Mungkin sedang sibuk praktek. 

“Iya Ma. Terima kasih…” hanya itu yang ingin Mala ucapkan saat ini. Entah kenapa ia menjadi melankolis, menatap ke luar tol Jakarta yang kini digelayuti awan yang mendung. Mala kembali untuk konferensi pers jalan tol di Jakarta. Acara itu dihadiri oleh petinggi-petinggi negeri, pejabat, bos-bos besar, staf Mala, kementerian yang terlibat, para awak media dalam dan luar negeri dan tentunya Mala. Tentunya ada banyak kilatan foto nanti, maka ia harus tampil sebaik mungkin, sebagaimana kerja professional terakhirnya dalam suatu proyek. Tentu saja Dio akan hadir disana. Ia harus tegar.

Sebenarnya tidak ada yang salah sih. Lancar. Teramat lancar malahan. Beberapa orang penting dan stakeholder memberikan sepatah dua patah kata yang patah-patah untuk bahan tulisan awak media. Mala hanya memberi pernyataan yang mengungkapkan kegembiraannya bahwa proyek ini selesai tepat waktu. Itu saja. 

Pejabat dan semua pihak hampir semuanya puas atas kerja tim Mala. Sebagian besar menyatakan keterkejutannya, dalam arti positif, bahwa Penanggung jawabnya adalah seorang perempuan yang masih muda (pula!), dan di akhir acara, beberapa media malah menghampirinya dan berniat untuk membuat video FT khusus tentang Mala. Itu adalah beberapa hal baik yang terjadi. Para petinggi itu juga ada yang sengaja bertukar kartu nama dengan Mala hanya untuk mengetahui nomor telepon asistennya (Mala mencantumkan nomor telepon asistennya di kartu namanya, bukan nomor aslinya). Dan plus, Mala tampil sebaik mungkin dengan gaun baru rancangan seseorang yang dipaksa untuk dipakai Mala oleh mamanya. Gaun itu berwarna biru lembut dan sekaligus memberikan efek intensif. Yang melihatnya akan terkesima saat itu juga.

Harusnya Mala bahagia. Tapi ternyata tidak. Sepanjang acara, Dio terlihat sengaja menghindari Mala. Hanya saling menyapa di awal acara sebagai bagian dari kesopanan belaka. Dio berdiri di pinggir seksi kementerian, tanpa pernah berpaling padanya. Mala tersisih. Ia kecewa, sedikitnya ia masih berharap Dio akan menyuruhnya push-up, bercanda tentang keberhasilannya mengerjakan proyek lokal, menyindirnya, atau apalah yang menandakan reaksi normalnya jika bertemu Mala. Well, itu tak terjadi. Dio hanya tersenyum manis, berbasa-basi sebentar mengenai kabar dan cuaca, serta kemacetan dan hujan. Lalu ia pergi, bergabung bersama kawan-kawannya di sana. Tak terjangkau.
Mala tak bisa berbuat apa-apa, jadi ia hanya membalas dengan jawaban yang sekadarnya. 

Apa yang harus dikatakannya saat itu, bagaimana kabarmu pak? Masih suka menyelam? Atau kapan kita akan main di Bunaken atau Raja Ampat lagi? Saling sindir seperti biasa, bercanda di media sosial. Mala pikir itu sudah bagian dari masa lalu mereka. If they were had one. Punya masa lalu, maksudnya, yang benar saja.

Mala baik-baik saja. Dio sangat baik, sehat dan tambah gemuk sekarang. Terakhir melihatnya adalah bulan Mei, dan itu sekitar 6 bulan yang lalu. Waktu berlalu begitu cepat. Bulan November mengaburkan ingatan rupanya. Yang berubah dari Dio adalah satu. Matanya. Tatapan matanya tidak pernah menatap langsung mata Mala lebih dari 3 detik. Palsu. Hanya untuk etika dan kesopanan. Benarkah? Dio tidak mau berjarak dekat dengan Mala, karenanya menghindari dengan berada sejauh mungkin dari meja kelompok Mala, ketika acara makan malam. Pun ia juga dikerubuti oleh wartawan. Malam ini, tersirat, ia adalah bintangnya. Ia bersinar.

Dio berpura-pura baik-baik saja. Seperti tidak terjadi peristiwa apapun di antara mereka. Mala berpikir seharusnya Dio minta maaf padanya atas tuduhannya yang tidak benar, yang menyebabkan ia pergi dari lokasi seminggu sebelum konferensi pers. Sungguh tidak professional meskipun sebenarnya sudah selesai tugasnya. Tekanan yang tidak tertahankan dan sikap Dio yang tidak mendukung, adalah penyebabnya. Mala enggan mengakuinya.

Di sesi makan malam, salah seorang wartawan yang mengerubutinya bertanya, “Mbak, setelah menyelesaikan proyek ini, apakah akan terus mengerjakan proyek pemerintah atau fokus di dunia karir internasional?” Selama ini reputasi Mala memang lebih mentereng di dunia internasional daripada di dalam negeri.

Mala tertawa renyah, “Waduh, berat sekali pertanyaannya.” Mala diam sejenak, “sepertinya saya mau liburan dulu. Next project will have to wait. Untuk berapa lamanya, saya belum tahu. Masih ingin santai dulu.” Seketika ia berpikir untuk mengambil master di Inggris, Jerman atau Perancis. Mungkin menikah dan punya anak juga merupakan rencana yang bagus. Bersama Dio. Malam berakhir dengan aroma kebekuan yang menguar di antara Mala dan Dio. Tidak tegur sapa, tidak tegur canda. Hanya do’a-do’a yang tak terjawab.

^^^

Rere pulang ke Indonesia untuk liburan musim panas. Sebelum memulai ujian akhir, ia memutuskan untuk memberi kejutan pada kakaknya. Mala sedang asyik membuka majalah di kamar, ketika Rere menghampiri.
Rere mendekat dan duduk di bangku samping ranjang.


Aku mau ke Jogya. Jalan-jalan santai, kata Rere sembari asyik rebahan di bangku