Sabtu, 26 Maret 2016

Min (part-2)







Si lelaki berjins belel itu semakin sering datang kemari. Dua kali dalam seminggu.  Kadang ia membawa bunga yang lain. Bunga melati. Bunga matahari. Bunga kenanga. Bunga mayang. Aneh. Darimana ia dapatkan bunga-bunga itu? Dan lelaki itu. Dia masih belum menyebutkan namanya. Dan aku juga sama saja tak peduli, aku hanya menyapanya: heh/kamu/situ/dll. Tak sopan, memang. Di keremangan senja kala, kulihat matanya sedikit memerah. Aku sedang di beranda belakang rumah, sedang mengerjakan PR untuk besok.


“Nin hanya senyum waktu aku cerita tentang kamu. Katanya namamu Hans. Anaknya tante Ira. Betulkah?” Taksirannya adalah, lelaki itu masih sekolah atau kuliah. Wangi. Meskipun jinsnya belel, tapi kesannya adalah pria itu seorang yang bisa mengurus dirinya.

“Kalau bukan, memangnya urusanmu?” balasnya ketus. Min ingin meninjunya, tapi jadinya cuma melotot.

“Aku bukan Hans, aku Gretel.” Ia tersenyum sinis sembari berkelakar. Betapa ia benci  Hans. Hanya Hans yang ada di mata mama, pikir lelaki itu. Hans seorang dokter. Ia anak mama. Hans memilih mengejar-ngejar wanita karier dewasa yang punya banyak materi. Hans materialistis. Itulah kakaknya, berbeda dengan dirinya. Ia hanya seorang arsitek miskin yang baru memulai karirnya.

Al hanya mendengar cerita Min dari mamanya. Ia jatuh iba pada Min. Ia hanya ingin membuatnya tersenyum. Sedangkan Min hanyalah gadis remaja yang jatuh cinta karena merasa diperhatikan oleh seseorang selain neneknya. Ia merasa berbeda. Maklumlah, mama dan baba tak selalu ada untuknya. Padahal Min ingin sekali tinggal dengan mereka. atau salah satu dengan mereka. Min kan anak mereka, pikirnya, tak seharusnya mereka mengedepankan karir dan bisnis hingga menelantarkan anak satu-satunya. Ia berhak untuk itu bukan? Dan itu dilindungi oleh Undang-Undang di bagian Hak Anak. Tinggal dengan nin enak juga, dimanja. Tapi dengan mama dan baba, it feels completed.

*** 
ini yang ingin kulihat kalau ke Raja Ampat nanti.
they have instructor, right? because i can't swim..

Minggu ketiga bulan Oktober.

Ulang tahunku yang ke-18. Aku sudah punya KTP, SIM, dan paspor. Aku bebas pergi kemanapun yang aku mau. Mau ke Raja Ampat atau ke Bantimurung. Ke Gili Air, Gili Meno, atau ke puncak gunung sekalipun. Safety first, itu kata mama-ku. Aku gembira, sampai baba datang dengan seorang wanita yang wajahnya samar kukenali, tapi aku tak pernah melihatnya. Ternyata itu tante Ira. Tapi kenapa baba datang dengan tante Ira?

“Kami akan menikah bulan depan” kata tante Ira, menyalamiku. Duniaku runtuh. Pantas, wajahnya mengingatkanku akan Hans.

Keluargaku sedang berkumpul di ruang tengah. Mama menuang kopi di meja makan. Berpura-pura tak terjadi apa-apa. Apa mama tahu? Apa nin tahu? Apakah ada yang bisa menjelaskan apa yang sedang terjadi disini?  Min ingin menjerit. Sungguh baba keterlaluan. Memberikan hadiah ‘bom’ tepat di saat ulangtahunku. Aku tak mengerti ini semua. Aku pusing. Air mataku berleleran. Aku menangis di kamar. Mama aneh. Ia malah menenangkanku, seakan ini kejadian biasa.  Aku sungguh tak mengerti. Ini ujian buatku. Tidakkah mama merasa ini ujian buatnya juga?

Aku sudah lama jatuh cinta pada Hans, pria pembawa bunga, yang ia jadikan tempatnya curhat dan mereka sudah saling percaya. Nin sudah percaya pada Hans. Hans anaknya tante Ira. Jika baba akan menikah dengan tante Ira, maka Hans akan menjadi saudara tiriku. Lalu bagaimana aku harus memendam perasaan ini? Teganya baba. Tapi siapa pula yang tahu bahwa aku jatuh cinta dengan Hans. Nin dan tante Ira kan berteman. Bagaimana baba bisa berkenalan dengan tante Ira?

Min kesal bukan kepalang. Tapi baba sudah pulang. Tante Ira juga sudah tidak ada. Pesta ulang tahunnya kacau.

do you want to know, how cruel i am? baba dan tante Ira: i hope it will never exist.

***

Rumah Depok.
“Mama seharunya tahu kan, bahwa Pak Iman adalah menantunya nin?”
“Itu bukan salah mama. Kamu belum pernah jatuh cinta.” Walaupun ayahnya sudah meninggal bertahun-tahun lamanya, Al belum pernah melihat mamanya sebahagia ini. Tidak juga ketika para pengusaha yang lain datang melamarnya. Mama adalah janda kembang. Tapi dengan Pak Iman, yang ternyata baba-nya Min, mama menjadi seperti gadis muda yang pipinya kadang merah merona.

“Sudahlah Al, memangnya mama tak berhak bahagia? biarkan mereka menikah, sudah sama-sama dewasa.” Hans mencoba menengahi.
Masalahnya adalah jika mama menikah dengan Pak Iman, maka Min akan menjadi saudara tirinya, padahal ia…. Padahal ia… dan Min…

“Kalau kamu tidak mau mama menikah, fine. Mama tidak akan.” Mama berusaha mengalah, “tapi katakan sebabnya apa? Kenapa kamu tidak suka dengan calon mama? Dia pria yang baik, bertanggung jawab.”
“Aku hanya tak setuju. Itu saja.” Ia ingin mamanya bahagia, tapi di sisi lain…
Al tak sanggup mengatakannya. Al tak sanggup bilang bahwa ia mencintai Min, calon saudara tirinya…

***

Di kedai kopi.

Min menyeruput kopinya pelan-pelan. Al menirunya.
Anak kemarin sore, yang berusaha menentang kebahagiaan mamanya. Ia tak tega.
“Min, sepertinya…”
Min mengangkat tangannya, mengelak.
“Jangan bilang. Aku dulu yang bilang.” Min menatap meja kopi, menelusuri pinggiran kayu mahoninya melalui sudut matanya. “Mungkin kita sebaiknya tidak ….”
“Tidak …”
“Ya.” Hanya itu jawaban Al. Keduanya sama-sama ingin melihat orangtuanya bahagia. Dengan bersikap tidak egois dan mengenyampingkan kebahagiaan mereka sendiri yang mungkin lebih berprospek seandainya mamanya dan babanya Min tidak bertemu. Mereka anak-anak yang baik yang sayang pada keluarga. Itulah yang coba mereka lakukan. Kedua anak manusia yang jatuh cinta namun dikalahkan oleh cintanya pada orangtua masing-masing.

Dalam diam, keduanya saling memahami. Sudah tidak perlu dikatakan lagi. Daripada berharap lebih baik saat ini disudahi. Diakhiri. Itupun kalau ada permulaan. Apakah memang ada awal kisah mereka? Tampaknya tidak. Tidak dikatakan, namun terjadi dengan sendirinya.

Keduanya menatap kopi masing-masing. Lama. Lama sekali termenung, tenggelam dalam pikirannya dan berandai-andai. Al memberanikan diri menatap Min untuk terakhir kalinya, ia memandang gadis itu baik-baik.

“Namaku Al. Bukan Hans, yang seperti selama ini kamu duga.” Al memakai topinya dan ia menyodorkan tangannya, menawarkan bersalaman dengan Min. “Senang berkenalan denganmu. Dan mungkin jika nasib tidak mempermainkan kita, aku akan kenalan dengan baik dan benar. “
Min menyambut uluran tangannya. “Namaku Min, sebentar lagi aku akan kuliah, dan mungkin jika nasib tidak mempermainkan kita, maka aku akan senang bertemu denganmu di lain kesempatan.” Tidak seperti ini.

Al tersenyum kecut.

Min pergi meninggalkan kedai kopi itu dengan hati perih, pecah berkeping-keping untuk cinta pertamanya yang tidak kesampaian. Pergi meninggalkan cinta pertamanya yang masih termenung di hadapan kopinya yang sudah hampir habis. Ya. Mungkin lain kali, ujarnya dalam hati. Mungkin nanti ada saatnya, ujar Min menghibur diri. Mungkin nanti, ketika nasib memihak kami



Source:
Story by: Hamidah
Images by: Google

1 komentar: