Si lelaki berjins belel itu semakin
sering datang kemari. Dua kali dalam seminggu. Kadang ia membawa bunga yang lain. Bunga
melati. Bunga matahari. Bunga kenanga. Bunga mayang. Aneh. Darimana ia dapatkan
bunga-bunga itu? Dan lelaki itu. Dia masih belum menyebutkan namanya. Dan aku
juga sama saja tak peduli, aku hanya menyapanya: heh/kamu/situ/dll. Tak sopan,
memang. Di keremangan senja kala, kulihat matanya sedikit memerah. Aku sedang
di beranda belakang rumah, sedang mengerjakan PR untuk besok.
“Nin hanya senyum waktu aku cerita
tentang kamu. Katanya namamu Hans. Anaknya tante Ira. Betulkah?” Taksirannya
adalah, lelaki itu masih sekolah atau kuliah. Wangi. Meskipun jinsnya belel,
tapi kesannya adalah pria itu seorang yang bisa mengurus dirinya.
“Kalau bukan, memangnya urusanmu?”
balasnya ketus. Min ingin meninjunya, tapi jadinya cuma melotot.
“Aku bukan Hans, aku Gretel.” Ia
tersenyum sinis sembari berkelakar. Betapa
ia benci Hans. Hanya Hans yang ada di
mata mama, pikir lelaki itu. Hans seorang dokter. Ia anak mama. Hans
memilih mengejar-ngejar wanita karier dewasa yang punya banyak materi. Hans
materialistis. Itulah kakaknya, berbeda dengan dirinya. Ia hanya seorang
arsitek miskin yang baru memulai karirnya.
Al hanya mendengar cerita Min dari
mamanya. Ia jatuh iba pada Min. Ia hanya ingin membuatnya tersenyum. Sedangkan Min
hanyalah gadis remaja yang jatuh cinta karena merasa diperhatikan oleh seseorang
selain neneknya. Ia merasa berbeda. Maklumlah, mama dan baba tak selalu ada
untuknya. Padahal Min ingin sekali tinggal dengan mereka. atau salah satu
dengan mereka. Min kan anak mereka, pikirnya, tak seharusnya mereka
mengedepankan karir dan bisnis hingga menelantarkan anak satu-satunya. Ia
berhak untuk itu bukan? Dan itu dilindungi oleh Undang-Undang di bagian Hak
Anak. Tinggal dengan nin enak juga, dimanja. Tapi dengan mama dan baba, it feels completed.
***
ini yang ingin kulihat kalau ke Raja Ampat nanti. they have instructor, right? because i can't swim.. |
Minggu ketiga bulan Oktober.
Ulang tahunku yang ke-18. Aku sudah
punya KTP, SIM, dan paspor. Aku bebas pergi kemanapun yang aku mau. Mau ke Raja
Ampat atau ke Bantimurung. Ke Gili Air, Gili Meno, atau ke puncak gunung
sekalipun. Safety first, itu kata
mama-ku. Aku gembira, sampai baba datang dengan seorang wanita yang wajahnya
samar kukenali, tapi aku tak pernah melihatnya. Ternyata itu tante Ira. Tapi
kenapa baba datang dengan tante Ira?
“Kami akan menikah bulan depan” kata
tante Ira, menyalamiku. Duniaku runtuh. Pantas, wajahnya mengingatkanku akan
Hans.
Keluargaku sedang berkumpul di ruang
tengah. Mama menuang kopi di meja makan. Berpura-pura tak terjadi apa-apa. Apa mama tahu? Apa nin tahu? Apakah ada yang bisa menjelaskan apa yang sedang terjadi
disini? Min ingin menjerit. Sungguh
baba keterlaluan. Memberikan hadiah ‘bom’ tepat di saat ulangtahunku. Aku tak
mengerti ini semua. Aku pusing. Air mataku berleleran. Aku menangis di kamar.
Mama aneh. Ia malah menenangkanku, seakan ini kejadian biasa. Aku sungguh tak mengerti. Ini ujian buatku. Tidakkah mama merasa ini ujian buatnya juga?
Aku
sudah lama jatuh cinta pada Hans, pria pembawa bunga, yang ia jadikan tempatnya
curhat dan mereka sudah saling percaya. Nin sudah percaya pada Hans. Hans
anaknya tante Ira. Jika baba akan menikah dengan tante Ira, maka Hans akan
menjadi saudara tiriku. Lalu bagaimana aku harus memendam perasaan ini? Teganya
baba. Tapi siapa pula yang tahu bahwa aku jatuh cinta dengan Hans. Nin dan
tante Ira kan berteman. Bagaimana baba bisa berkenalan dengan tante Ira?
Min kesal bukan kepalang. Tapi baba
sudah pulang. Tante Ira juga sudah tidak ada. Pesta ulang tahunnya kacau.
do you want to know, how cruel i am? baba dan tante Ira: i hope it will never exist. |
***
Rumah Depok.
“Mama seharunya tahu kan, bahwa Pak
Iman adalah menantunya nin?”
“Itu bukan salah mama. Kamu belum
pernah jatuh cinta.” Walaupun ayahnya sudah meninggal bertahun-tahun lamanya,
Al belum pernah melihat mamanya sebahagia ini. Tidak juga ketika para pengusaha
yang lain datang melamarnya. Mama adalah janda kembang. Tapi dengan Pak Iman,
yang ternyata baba-nya Min, mama menjadi seperti gadis muda yang pipinya kadang
merah merona.
“Sudahlah Al, memangnya mama tak
berhak bahagia? biarkan mereka menikah, sudah sama-sama dewasa.” Hans mencoba
menengahi.
Masalahnya
adalah jika mama menikah dengan Pak Iman, maka Min akan menjadi saudara
tirinya, padahal ia…. Padahal ia… dan Min…
“Kalau kamu tidak mau mama menikah, fine. Mama tidak akan.” Mama berusaha
mengalah, “tapi katakan sebabnya apa? Kenapa kamu tidak suka dengan calon mama?
Dia pria yang baik, bertanggung jawab.”
“Aku hanya tak setuju. Itu saja.” Ia
ingin mamanya bahagia, tapi di sisi lain…
Al tak sanggup mengatakannya. Al tak
sanggup bilang bahwa ia mencintai Min, calon saudara tirinya…
***
Di kedai kopi.
Min menyeruput kopinya pelan-pelan.
Al menirunya.
Anak kemarin sore, yang berusaha
menentang kebahagiaan mamanya. Ia tak tega.
“Min, sepertinya…”
Min mengangkat tangannya, mengelak.
“Jangan bilang. Aku dulu yang bilang.”
Min menatap meja kopi, menelusuri pinggiran kayu mahoninya melalui sudut
matanya. “Mungkin kita sebaiknya tidak ….”
“Tidak …”
“Ya.” Hanya itu jawaban Al. Keduanya
sama-sama ingin melihat orangtuanya bahagia. Dengan bersikap tidak egois dan
mengenyampingkan kebahagiaan mereka sendiri yang mungkin lebih berprospek
seandainya mamanya dan babanya Min tidak bertemu. Mereka anak-anak yang baik
yang sayang pada keluarga. Itulah yang coba mereka lakukan. Kedua anak manusia
yang jatuh cinta namun dikalahkan oleh cintanya pada orangtua masing-masing.
Dalam diam, keduanya saling memahami.
Sudah tidak perlu dikatakan lagi. Daripada berharap lebih baik saat ini
disudahi. Diakhiri. Itupun kalau ada permulaan. Apakah memang ada awal kisah
mereka? Tampaknya tidak. Tidak dikatakan, namun terjadi dengan sendirinya.
Keduanya menatap kopi masing-masing.
Lama. Lama sekali termenung, tenggelam dalam pikirannya dan berandai-andai. Al
memberanikan diri menatap Min untuk terakhir kalinya, ia memandang gadis itu
baik-baik.
“Namaku Al. Bukan Hans, yang seperti
selama ini kamu duga.” Al memakai topinya dan ia menyodorkan tangannya,
menawarkan bersalaman dengan Min. “Senang berkenalan denganmu. Dan mungkin jika
nasib tidak mempermainkan kita, aku akan kenalan dengan baik dan benar. “
Min menyambut uluran tangannya.
“Namaku Min, sebentar lagi aku akan kuliah, dan mungkin jika nasib tidak
mempermainkan kita, maka aku akan senang bertemu denganmu di lain kesempatan.” Tidak seperti ini.
Al tersenyum kecut.
Min pergi meninggalkan kedai kopi itu
dengan hati perih, pecah berkeping-keping untuk cinta pertamanya yang tidak
kesampaian. Pergi meninggalkan cinta pertamanya yang masih termenung di hadapan
kopinya yang sudah hampir habis. Ya. Mungkin lain kali, ujarnya dalam hati.
Mungkin nanti ada saatnya, ujar Min menghibur diri. Mungkin nanti, ketika nasib memihak kami.
Source:
Story by: Hamidah
Images by: Google