Selasa, 13 Januari 2015

Kejadian yang Patut Dikenang

Salah satu kejadian yang patut dikenang adalah ini: mencari buku dan mempraktekkannya dalam kehidupan kita secara tidak sengaja.
Seperti biasa, menjelang uas, setiap dosen akan memberikan tugas makalah. Mahasiswa diminta untuk membuat makalah sesuai dengan tema yang sudah disetujui. Nah, temaku adalah belajar mandiri.
Berawal dari tugas makalah yang berjudul belajar mandiri inilah, yang membawaku kepada bukunya Prof. Rhenald Kasali, orang yang keren (as in quality). Sebenarnya hunting  buku sih asik-asik aja, kalau ada sumber dananya. Tapi kita tidak bicara itu. Yang jadi masalah, waktu yang diberikan adalah seminggu saja. Dimana pada minggu itu, orang-orang biasanya pergi berlibur, pulang ke kampung halaman, dan tutup warung/toko.
Kalang kabut mencari buku. Grame*** sepanjang Jalan Pajajaran, termasuk toko buku loak depan gerbang Unpak dan Stasiun Bogor selesai dikunjungi, namun tak jua menemukan yang dicari. Kebanyakan buku lama dan toko buku loak nyaris tutup semua.
Maka bersama seorang teman, kami berangkat ke Kwitang: mencari buku. Dan dapat! Alhamdulillah. Seharian ini terbayar. Mungkin proses mencari buku ini sudah termasuk kategori belajar mandiri J
Ohya, ketika di Grame***, sudah kumasukkan semua keyword yang mendukung judul makalah belajar mandiri, atau yang kira-kira nyangkutlah, supaya ketemu buku referensi yang dicari. Hasil yang paling mendekati adalah bukunya Prof. Rhenald Kasali yang berjudul Self Driving (Kasali, 2014). 



Ini kayanya nyambung dengan pembelajaran mandiri. Akan tetapi bukunya (menurutku) sudah masuk tataran realisasi di lapangan. Inilah yang dinamakan belajar mandiri dan dasar pembelajaran sepanjang hayat (life long learning). Ada banyak hal yang bisa dipraktekkan dari buku itu, kalau (tentu saja) kita mau berubah untuk yang lebih baik.
“…sebab walaupun semua orang bicara hak, soal kemampuan dan minat bisa membuat masa depan berbeda.” Ujar Dekan Erasmus yang ditanya mengenai bagaimana membangun bangsa dari lulusan yang asal masuk Universitas Erasmus Belanda. Menurutnya, semua warga negara memiliki hak untuk mendapat pendidikan. Maka, semua yang mendaftar ke Erasmus wajib diterima.  Namun beranjak ke tahun kedua, angka drop out tinggi sekali. Itulah cara mereka menyeleksi mahasiswa, yakni diseleksi di tahun kedua, karena disinilah mereka baru bicara kualitas pendidikan.
Sedikit random sih, meskipun begitu adalah sah menuangkan isi pikiran, bukan?


Daftar Pustaka:
Kasali, Rhenald. 2014. Self Driving, Menjadi Driver atau Menjadi Passenger. Jakarta: Mizan.

Memulai Lagi Suatu Kisah

Tugas kali ini adalah dalam rangka pemenuhan tugas akhir matkul teknologi informasi dan komunikasi pendidikan. Tugasnya dimulai  4 Desember 2014 dan dikumpulkan Selasa, 13 Januari kemarin. Tugasnya adalah membuat blog.
Bicara blog, setelah kupikir-pikir, rasanya aku punya blog tapi entah blog itu terdampar dimana, tiada yang datang berkunjung, tidak diurusi. Kumal dan kusam. Ibarat rumah mungkin sudah jadi rumah hantu. Tak berpenghuni namun tetap ada. Aku hanya ingat nama blognya persis nama emailku yang sekarang. Maka, sejak beberapa hari ditugaskan blog itu, aku mulai searching alamat blogspot dengan keyword namaku. Hasilnya: voila, ketemu!
Sedih sekali melihat keadaan blog itu. Sunyi sepi tiada yang datang berkunjung.  Kasihan. Aku ingin blog-ku hidup, ada temannya, sharing, diskusi, pokoknya beraktivitas, disamping sekalian sebagai ajang mengasah tulisanku menjadi setajam (silet :).
Kuputuskan untuk mulai menulis lagi. Untuk menghibur diri. Untuk refreshing.  Berhubung aku agak random, maka semua yang menurutku menarik, mungkin akan kutayangkan. Doakan saja semoga berkah dan bermanfaat dunia akhirat. Aamiin.

Minggu, 11 Januari 2015

Waktu Itu Pada Suatu Ketika


Cappuccino pertama di bulan Desember 2014.
Sedikit pahit dan asam.
Menggoda seluruh inderawi.

Tak ada yang mengingatkanku untuk membawa payung. Kedinginan karena setengah kebasahan. Hmm, tak apa-apalah. Lagipula, di malam hujan dan di sudut kafe yang temaram ini, siapa sih yang akan memperhatikan gadis gembel bercelana belel berkaus gombrong dengan laptop di hadapannya? Hanya orang iseng mungkin.
Ceritaku hampir jadi. Yup. Sudah klimaks dan tinggal penyelesaian. Mencari happy-ending yang pas tanpa terkesan dibuat-buat adalah seni yang sedang kupelajari sekarang ini. Gampang-gampang susah. Editorku, mbak Ririn, sudah mewanti-wanti supaya ending kali ini nggak terlalu mellow dan lebih tough.
Si handphone bergetar lembut minta perhatian. Rupanya ada beberapa pesan online yang masuk.
“Kamu dimana? Belikan Mama bakwan dan sate kambing di pertigaan gang ya sayang,” Si Boss. Alias mamaku. Bernada perintah dan tanpa ada ruang diskusi. Artinya kebelet makan kambing. Harus beli dengan hati ikhlas. Absolute order.
“Mbak, sepatunya yang abu Echi pinjem ya. Tar dibalikin,” si Mpus Meong. Yang abu yang mana ya? Perasaan yang abu mah baru beli belum go public deh. Bernada maksa tanpa syarat dan ketentuan berlaku. Artinya dibalikin kalo inget. Kalo ngga, ya jadi hak milik. Waduh kacau.
Belum selesai aku membalas, Si handphone bergetar kembali. Seseorang menelpon. Tanpa identitas. Rasanya aku kenal nomor itu. Ooh ya. Tentu aku kenal. Aku selalu mengenalnya seakan ruang dan waktu tak berjarak.  Menyusut hingga seperti kemarin dan sedekat debaran jantung.

Sejenak ia nikmati ringtone-nya Yogyakarta Kla Project. Tak ada yang istimewa. Hanya saja ia tahu Jogja pernah begitu berarti dan masih lekat, syahdu dalam ingatannya. Ia kenang satu nama. Andro.

***

Jogja, 2010.
Kopi hitam pertama di bulan Oktober.



Agak pahit sedikit manis dan asam di ujung lidah. Sensasi tradisional nan berkelas.
Mengajak raga bertualang.

Moncong Nikon-nya mengarah luwes ke semua angle yang cantik yang dapat dipikirnya. Cukup untuk beberapa sesi hunting kali ini. Lansekap pantai, laut dan ekosistem dipantai tak bernama ini sungguh menggodanya. Memaksanya untuk mencicipi nuansa kemping disini. Besok ia akan bertemu Dimas untuk menyerahkan foto dan artikel feature-nya. Sebulan sudah ia freelance fotografer di jogja.
“Sundak nama pantai ini,” seorang pria berkata dari jarak 2 meter.   Beranjak keluar dari lensa intipnya, Anin melirik pria bercelana jeans biru yang digulung ujungnya, tampaknya ia telah bermain air di pantai itu. Beberapa garis pasir melekat di kaus hitamnya. Sang pria tersenyum. Nyess di hati Anin.

Sejenak menikmati deburan ombak



“Ohya,” sahut Anin, “Terima kasih banyak atas infonya. Kebetulan saja saya kemari bermotor dan menemukan pantai indah seperti ini. Di Jogja banyak pantai yang cantik ya?” Matanya segera menangkap burung yang melesat terbang rendah di buihan ombak yang tenang dan menjepretnya dengan kamera. Keburu hilang momennya nanti.
Pria itu masih berjarak dua meter dan ia menerawang horizon seraya membait-kan sebuah puisi,
“Angin dingin menari laksana panah berkelana
Dia tak tergoyahkan batu karang
Hanya bisu dan kelamnya malam
Temani sunyi mencari jiwa
Adakah seseorang dalam bintang?”

Anin menghentikan sejenak aktivitasnya dan merenungkan ulang kata-kata dalam puisi barusan. Mengapa kedengarannya sunyi sekali? Sepi begitu.
“Puisi yang indah,” Anin berdeham demi kesopanan, “Cuma sayangnya saya kurang paham maksudnya. Hehe.”
“Apakah perlu dikatakan, jika hati sudah merasakan keindahannya?” sang pria mengulurkan tangannya untuk bersalaman, “Nama saya Andro.”

***

Perkenalannya dengan Andro di pantai Sundak adalah suatu kebetulan. Tapi sebenarnya tiada yang kebetulan kan? Bahwa Anin harus mencari sebuah destinasi wisata pantai untuk artikel majalahnya adalah takdir. Sudah digariskan. Bahwa Andro saat itu harus putus dengan kekasihnya karena ternyata sang kekasih dijodohkan orangtuanya, adalah takdir. Bahwa keduanya memutuskan untuk berkenalan dan menjalani hubungan pertemanan, itu adalah takdir. Tak lebih karena hati Andro yang hancur dan Anin tak mau pusing dengan urusan cinta.
Anin betah di Jogja. Kota yang bersahabat. Ia kost di daerah Kaliurang. 

Kaliurang


Kadang kalau sudah menuntaskan deadline dan ia merasa harus istirahat sejenak, Andro-lah yang menjadi sahabatnya. Menjadi tumpahan curahan hatinya, bahwa ia kangen. Kangen mama, kangen Echi adiknya, kangen papa yang sudah meninggal. Jam berapa pun, Andro akan datang ke tempat janjian mereka bertemu. Sekali waktu di jam 3 pagi di restoran Kaliurang (yang masih buka, sebab angkringan sudah tutup), mereka membicarakan banyak hal, kecuali politik. Anin jenuh dengan rutinitas freelance. Ia ingin sesuatu yang lebih menantang. Andro adalah pengusaha mebel, usaha warisan turun-temurun dari orangtuanya. Generasi ke-4. Andro juga bilang jenuh dengan keseharian, seperti tidak ada greget.
“Apa karena tidak ada cinta?” Andro beretorika. Anin memutar bola matanya. Sudah lama ia enggan menyapa cinta dengan laki-laki.
“Apa yang mau kau lakukan selanjutnya?” tanya Andro.
Anin mengedikkan bahunya, galau. “Entahlah, Dro,” Ia meliarkan matanya ke sekeliling restoran, sepi. “Kurasa aku butuh penyegaran. Mungkin 2-3 tahun di luar negeri atau menjelajah Indonesia, mungkin seperti kamu yang hobinya bikin usaha baru. Atau bikin majalah sendiri, menarik bukan? Yang jelas aku ingin kabur dari sini. Dan merasa rindu akan Jogja..”
Kalimatnya menggantung, air matanya tak terasa meleleh, ia tak tahu mengapa. Andro tak kuasa menatapnya, menunduk dalam-dalam, rasanya ia mencium aroma perpisahan dengan jelas. Sudah 1 tahun mereka berhasil bersahabat tanpa embel-embel asmara.
Mamanya Anin sering menggodanya berkata bahwa tak ada persahabatan murni di antara wanita dan laki-laki. Tak percaya, buktinya mereka bisa bersahabat selama 1 tahun belakangan ini.

Anin menyelipkan kalung berliontinkan lempengan perak di atas meja. Lempengan perak itu sebenarnya bisa diukir dengan nama, tapi Anin memutuskan untuk mengosongkannya. “Buatmu. Aku kasih pinjam. Tak usah dipakai karena norak. Dan kembalikan lagi kalau suatu saat kita ketemu.” Anin berjalan meninggalkan gelas kopinya yang nyaris kosong. Berjalan menjauhi Andro yang masih terkejut dengan sikap Anin. Berjalan pergi dari kehidupannya. Tanpa tahu kapan akan kembali. Semacam perpisahan sementara namun tak dikatakan secara tersurat. Hanya tersirat. Untuk beberapa tahun kemudian mereka berpisah tanpa saling menyapa..

***

2012.
Anin berada di seberang gunung Fuji, lisannya tak henti bertasbih. Ia terkenang mama, Echi, dan Andro. Ia akan pulang untuk menemui mereka, sekaligus liputan di Indonesia.

***

Agustus 2014.
Kopi pahit tanpa gula.
Senikmat malam ditemani bintang-bintang.



Pada siapa ku harus mengadu? Mama dan Echi menjadikannya sandaran dan tumpuan dalam hidup. Ia menampung segala keluh kesah mereka dan mencarikannya solusi. Ia telah terbiasa. Urusan hidupnya adalah urusannya sendiri. Ia butuh teman bersandar. Ia butuh jawaban atas doanya. Ia ingin ke Jogja. Resolusi awal tahunnya untuk sowan ke Jogja tak kunjung ia lakukan. Ia takut. Takut mencederai suatu hubungan. Ia sudah menulis satu buku. Tentangnya. Dan tentang mimpinya. Haruskah ia membuat suatu pengakuan? Jika hati sudah merasakannya, perlukah lisan berbicara? Justru itulah. Harus. Supaya sinkron.
Hari berganti. Bulan berlalu. Sudah pertengahan tahun. Mungkinkah resolusi hanya sebatas resolusi?
Kopinya pahit, dengan suatu janji manis di ujung lidah. Membuatnya sedikit menaruh harapan.

***
November 2014.
Lembang yang dingin. Hujan membuat suasana berkabut dan jarak seakan samar. Suara-suara sayup meningkahi gemericik gerimis. Syahdu yang ramai di tengah malam. Tiada bintang, hanya hujan. Bahkan menggodanya untuk menarik sarung lebih erat mengusir dingin. Di bale-bale panggung rumah itu, duduk di sampingnya Mang Asep yang bercerita mengenai tradisi kampungnya di Lembang ini. Kali ini Anin menulis feature. Ia jadi ingin pulang ke Bogor. Dan Jogja. Rumah keduanya.
Desember 2014.
Andro mengabarinya bahwa ia akan menikah dengan gadis pilihan ibunya. Dari keluarga pengusaha batik. Cocok katanya dalam hati. Cemburu dan sedih. Cemburu karena Andro tak bisa setiap saat siaga membantunya, menampung jeritan hatinya lagi. Sedih karena ia akan ditinggalkan. Sendiri lagi. Rasanya ia tak sanggup. Sudah cukup edisi satu. Ia ingin ketemu Andro, mau mengutarakan isi hatinya. Beruntung Andro juga mau menemuinya mengantarkan undangan.
Sabtu sore, Anin ke Jogja, untuk kali ini tidak di angkringan tapi di restoran yang agak sedikit mahal dan berkelas.
Aku cinta kamu. Itulah kalimat pertama yang dilontarkan Anin begitu bertemu. Andro sedikit kikuk. Namun ia hanya tersenyum.
Andro duduk di seberang meja dan tersenyum manis seperti 4 tahun yang lalu saat pertama mereka bertemu. “Tidak,” katanya, “Akulah yang lebih dulu mencintaimu.” Andro berkata mantap.
“Bahkan saat kau di belakang kameramu dan aku masih menangisi diputuskan karena perjodohan sepihak, rasanya aku sudah mulai mencintaimu. Namun aku tak menyadarinya.”
Butuh waktu yang lama untuk menyadarinya. Mama yang pertama menyadarinya. Ada banyak kesempatan untuk bilang sayang. Ada banyak kesempatan untuk menjalin kasih. Namun persahabatan yang mereka junjung tinggi nilainya terlalu kuat. Jika sudah begini, manakah yang didahulukan? Bakti kepada orangtua kah? Atau rasa cinta yang teruji waktu?
Anin menangisi kebodohannya. Mungkin ini sudah takdir. Andro menatapnya dalam-dalam. Demi melihat mascara yang mulai pudar dan berleleran di sekitar pipinya, Andro menahan tawa untuk menyampaikan maksudnya.
“Ternyata butuh waktu 4 tahun untuk mendengarkan dan mengakui bahwa kau mencintaiku. Memang ibuku sudah menjodohkan aku dan Ira. Namun kami sepakat untuk menolaknya karena Ira sudah punya pilihannya sendiri. Dan aku hingga saat ini masih menunggumu menyadari keberadaanku. Lama juga ya.” Andro tersenyum lebar.

Anin tertegun. Jadi undangan itu? Undangan itu bohong belaka. Untuk mengetes saja. Cukup berisiko tapi sepadan harganya. Anin tak kuasa menahan tangisnya. Ia sudah menemukan jawaban atas doanya. Bersama Andro. Di Jogja, kota kenangan.