Cappuccino pertama di bulan Desember 2014.
Sedikit pahit dan asam.
Menggoda seluruh inderawi.
Tak ada yang mengingatkanku untuk membawa payung. Kedinginan
karena setengah kebasahan. Hmm, tak apa-apalah. Lagipula, di malam hujan dan di
sudut kafe yang temaram ini, siapa sih yang akan memperhatikan gadis gembel
bercelana belel berkaus gombrong dengan laptop di hadapannya? Hanya orang iseng
mungkin.
Ceritaku hampir jadi. Yup. Sudah klimaks dan tinggal
penyelesaian. Mencari happy-ending yang pas tanpa terkesan
dibuat-buat adalah seni yang sedang kupelajari sekarang ini. Gampang-gampang
susah. Editorku, mbak Ririn, sudah mewanti-wanti supaya ending kali ini nggak terlalu mellow
dan lebih tough.
Si handphone bergetar lembut minta perhatian. Rupanya ada
beberapa pesan online yang masuk.
“Kamu dimana? Belikan Mama bakwan dan sate kambing di
pertigaan gang ya sayang,” Si Boss. Alias mamaku. Bernada perintah dan tanpa
ada ruang diskusi. Artinya kebelet makan kambing. Harus beli dengan hati
ikhlas. Absolute order.
“Mbak, sepatunya yang abu Echi pinjem ya. Tar dibalikin,” si
Mpus Meong. Yang abu yang mana ya? Perasaan yang abu mah baru beli belum go public deh. Bernada maksa tanpa
syarat dan ketentuan berlaku. Artinya dibalikin kalo inget. Kalo ngga, ya jadi
hak milik. Waduh kacau.
Belum selesai aku membalas, Si handphone bergetar kembali.
Seseorang menelpon. Tanpa identitas. Rasanya aku kenal nomor itu. Ooh ya. Tentu
aku kenal. Aku selalu mengenalnya seakan ruang dan waktu tak berjarak. Menyusut hingga seperti kemarin dan sedekat
debaran jantung.
Sejenak ia nikmati ringtone-nya
Yogyakarta Kla Project. Tak ada yang istimewa. Hanya saja ia tahu Jogja pernah
begitu berarti dan masih lekat, syahdu dalam ingatannya. Ia kenang satu nama. Andro.
***
Jogja, 2010.
Kopi hitam pertama di bulan
Oktober.
Agak pahit sedikit manis dan asam
di ujung lidah. Sensasi tradisional nan berkelas.
Mengajak raga bertualang.
Moncong Nikon-nya mengarah luwes
ke semua angle yang cantik yang dapat
dipikirnya. Cukup untuk beberapa sesi hunting
kali ini. Lansekap pantai, laut dan ekosistem dipantai tak bernama ini sungguh
menggodanya. Memaksanya untuk mencicipi nuansa kemping disini. Besok ia akan
bertemu Dimas untuk menyerahkan foto dan artikel feature-nya. Sebulan sudah ia freelance
fotografer di jogja.
“Sundak nama pantai ini,” seorang
pria berkata dari jarak 2 meter. Beranjak keluar dari lensa intipnya, Anin
melirik pria bercelana jeans biru yang digulung ujungnya, tampaknya ia telah
bermain air di pantai itu. Beberapa garis pasir melekat di kaus hitamnya. Sang
pria tersenyum. Nyess di hati Anin.
|
Sejenak menikmati deburan ombak |
“Ohya,” sahut Anin, “Terima kasih
banyak atas infonya. Kebetulan saja saya kemari bermotor dan menemukan pantai
indah seperti ini. Di Jogja banyak pantai yang cantik ya?” Matanya segera menangkap
burung yang melesat terbang rendah di buihan ombak yang tenang dan menjepretnya
dengan kamera. Keburu hilang momennya nanti.
Pria itu masih berjarak dua meter
dan ia menerawang horizon seraya membait-kan sebuah puisi,
“Angin dingin menari laksana panah
berkelana
Dia tak tergoyahkan batu karang
Hanya bisu dan kelamnya malam
Temani sunyi mencari jiwa
Adakah seseorang dalam bintang?”
Anin menghentikan sejenak
aktivitasnya dan merenungkan ulang kata-kata dalam puisi barusan. Mengapa
kedengarannya sunyi sekali? Sepi begitu.
“Puisi yang indah,” Anin berdeham
demi kesopanan, “Cuma sayangnya saya kurang paham maksudnya. Hehe.”
“Apakah perlu dikatakan, jika
hati sudah merasakan keindahannya?” sang pria mengulurkan tangannya untuk
bersalaman, “Nama saya Andro.”
***
Perkenalannya dengan Andro di
pantai Sundak adalah suatu kebetulan. Tapi sebenarnya tiada yang kebetulan kan?
Bahwa Anin harus mencari sebuah destinasi wisata pantai untuk artikel majalahnya
adalah takdir. Sudah digariskan. Bahwa Andro saat itu harus putus dengan
kekasihnya karena ternyata sang kekasih dijodohkan orangtuanya, adalah takdir.
Bahwa keduanya memutuskan untuk berkenalan dan menjalani hubungan pertemanan,
itu adalah takdir. Tak lebih karena hati Andro yang hancur dan Anin tak mau
pusing dengan urusan cinta.
Anin betah di Jogja. Kota yang
bersahabat. Ia kost di daerah Kaliurang.
|
Kaliurang |
Kadang kalau sudah menuntaskan deadline dan ia merasa harus istirahat
sejenak, Andro-lah yang menjadi sahabatnya. Menjadi tumpahan curahan hatinya,
bahwa ia kangen. Kangen mama, kangen Echi adiknya, kangen papa yang sudah
meninggal. Jam berapa pun, Andro akan datang ke tempat janjian mereka bertemu.
Sekali waktu di jam 3 pagi di restoran Kaliurang (yang masih buka, sebab
angkringan sudah tutup), mereka membicarakan banyak hal, kecuali politik. Anin
jenuh dengan rutinitas freelance. Ia
ingin sesuatu yang lebih menantang. Andro adalah pengusaha mebel, usaha warisan
turun-temurun dari orangtuanya. Generasi ke-4. Andro juga bilang jenuh dengan
keseharian, seperti tidak ada greget.
“Apa karena tidak ada cinta?”
Andro beretorika. Anin memutar bola matanya. Sudah lama ia enggan menyapa cinta
dengan laki-laki.
“Apa yang mau kau lakukan
selanjutnya?” tanya Andro.
Anin mengedikkan bahunya, galau.
“Entahlah, Dro,” Ia meliarkan matanya ke sekeliling restoran, sepi. “Kurasa aku
butuh penyegaran. Mungkin 2-3 tahun di luar negeri atau menjelajah Indonesia,
mungkin seperti kamu yang hobinya bikin usaha baru. Atau bikin majalah sendiri,
menarik bukan? Yang jelas aku ingin kabur dari sini. Dan merasa rindu akan
Jogja..”
Kalimatnya menggantung, air
matanya tak terasa meleleh, ia tak tahu mengapa. Andro tak kuasa menatapnya,
menunduk dalam-dalam, rasanya ia mencium aroma perpisahan dengan jelas. Sudah 1
tahun mereka berhasil bersahabat tanpa embel-embel asmara.
Mamanya Anin sering menggodanya
berkata bahwa tak ada persahabatan murni di antara wanita dan laki-laki. Tak percaya,
buktinya mereka bisa bersahabat selama 1 tahun belakangan ini.
Anin menyelipkan kalung
berliontinkan lempengan perak di atas meja. Lempengan perak itu sebenarnya bisa
diukir dengan nama, tapi Anin memutuskan untuk mengosongkannya. “Buatmu. Aku kasih
pinjam. Tak usah dipakai karena norak. Dan kembalikan lagi kalau suatu saat
kita ketemu.” Anin berjalan meninggalkan gelas kopinya yang nyaris kosong.
Berjalan menjauhi Andro yang masih terkejut dengan sikap Anin. Berjalan pergi
dari kehidupannya. Tanpa tahu kapan akan kembali. Semacam perpisahan sementara
namun tak dikatakan secara tersurat. Hanya tersirat. Untuk beberapa tahun
kemudian mereka berpisah tanpa saling menyapa..
***
2012.
Anin berada di seberang gunung
Fuji, lisannya tak henti bertasbih. Ia terkenang mama, Echi, dan Andro. Ia akan
pulang untuk menemui mereka, sekaligus liputan di Indonesia.
***
Agustus 2014.
Kopi pahit tanpa gula.
Senikmat malam ditemani
bintang-bintang.
Pada siapa ku harus mengadu? Mama
dan Echi menjadikannya sandaran dan tumpuan dalam hidup. Ia menampung segala
keluh kesah mereka dan mencarikannya solusi. Ia telah terbiasa. Urusan hidupnya
adalah urusannya sendiri. Ia butuh teman bersandar. Ia butuh jawaban atas
doanya. Ia ingin ke Jogja. Resolusi awal tahunnya untuk sowan ke Jogja tak
kunjung ia lakukan. Ia takut. Takut mencederai suatu hubungan. Ia sudah menulis
satu buku. Tentangnya. Dan tentang mimpinya. Haruskah ia membuat suatu
pengakuan? Jika hati sudah merasakannya, perlukah lisan berbicara? Justru
itulah. Harus. Supaya sinkron.
Hari berganti. Bulan berlalu.
Sudah pertengahan tahun. Mungkinkah resolusi hanya sebatas resolusi?
Kopinya pahit, dengan suatu janji
manis di ujung lidah. Membuatnya sedikit menaruh harapan.
***
November 2014.
Lembang yang dingin. Hujan
membuat suasana berkabut dan jarak seakan samar. Suara-suara sayup meningkahi
gemericik gerimis. Syahdu yang ramai di tengah malam. Tiada bintang, hanya
hujan. Bahkan menggodanya untuk menarik sarung lebih erat mengusir dingin. Di
bale-bale panggung rumah itu, duduk di sampingnya Mang Asep yang bercerita
mengenai tradisi kampungnya di Lembang ini. Kali ini Anin menulis feature. Ia jadi ingin pulang ke Bogor.
Dan Jogja. Rumah keduanya.
Desember 2014.
Andro mengabarinya bahwa ia akan
menikah dengan gadis pilihan ibunya. Dari keluarga pengusaha batik. Cocok
katanya dalam hati. Cemburu dan sedih. Cemburu karena Andro tak bisa setiap
saat siaga membantunya, menampung jeritan hatinya lagi. Sedih karena ia akan
ditinggalkan. Sendiri lagi. Rasanya ia tak sanggup. Sudah cukup edisi satu. Ia
ingin ketemu Andro, mau mengutarakan isi hatinya. Beruntung Andro juga mau
menemuinya mengantarkan undangan.
Sabtu sore, Anin ke Jogja, untuk
kali ini tidak di angkringan tapi di restoran yang agak sedikit mahal dan
berkelas.
Aku cinta kamu. Itulah kalimat
pertama yang dilontarkan Anin begitu bertemu. Andro sedikit kikuk. Namun ia
hanya tersenyum.
Andro duduk di seberang meja dan
tersenyum manis seperti 4 tahun yang lalu saat pertama mereka bertemu. “Tidak,”
katanya, “Akulah yang lebih dulu mencintaimu.” Andro berkata mantap.
“Bahkan saat kau di belakang
kameramu dan aku masih menangisi diputuskan karena perjodohan sepihak, rasanya
aku sudah mulai mencintaimu. Namun aku tak menyadarinya.”
Butuh waktu yang lama untuk
menyadarinya. Mama yang pertama menyadarinya. Ada banyak kesempatan untuk
bilang sayang. Ada banyak kesempatan untuk menjalin kasih. Namun persahabatan
yang mereka junjung tinggi nilainya terlalu kuat. Jika sudah begini, manakah
yang didahulukan? Bakti kepada orangtua kah? Atau rasa cinta yang teruji waktu?
Anin menangisi kebodohannya.
Mungkin ini sudah takdir. Andro menatapnya dalam-dalam. Demi melihat mascara yang mulai pudar dan berleleran
di sekitar pipinya, Andro menahan tawa untuk menyampaikan maksudnya.
“Ternyata butuh waktu 4 tahun
untuk mendengarkan dan mengakui bahwa kau mencintaiku. Memang ibuku sudah
menjodohkan aku dan Ira. Namun kami sepakat untuk menolaknya karena Ira sudah
punya pilihannya sendiri. Dan aku hingga saat ini masih menunggumu menyadari
keberadaanku. Lama juga ya.” Andro tersenyum lebar.
Anin tertegun. Jadi undangan itu?
Undangan itu bohong belaka. Untuk mengetes saja. Cukup berisiko tapi sepadan
harganya. Anin tak kuasa menahan tangisnya. Ia sudah menemukan jawaban atas
doanya. Bersama Andro. Di Jogja, kota kenangan.