Tampilkan postingan dengan label puisi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label puisi. Tampilkan semua postingan

Rabu, 14 Oktober 2015

Mandalawangi




antara aku dan edelweis di lembah Mandalawangi. walaupun mereka bicara tentang manfaat dan guna, tapi aku bicara tentang cinta
. kau senantiasa memanggilku tuk kembali, saat hati mulai sepi tanpa terobati..

Aku Ingin


Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu
kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan
kepada hujan yang menjadikannya tiada

("Aku Ingin" karya Sapardi Djoko Damono)

Karang Taraje




by the sea, we made a vow in our heart secretly. 
by the wind blows, we share our laugh, hope, and dreams. talked about the night sky. talked about the wave and sound. 


Senin, 27 April 2015

Senja di Batas Kota (Part 2)



Seminggu kemudian …
Sketsa jalan tol itu berada di hadapan Dio. Ia masih belum menandatanganinya. Malah Pak Aswin, asisten Mala yang mengantarkan. Haruskah ia mengatakan cintanya kepada Mala? Itu akan seperti menyerah terhadap Mala. Tapi itu memang kenyataannya. Ia merasa seperti ingin menyanyi. Dan menari. Padahal ia tak suka menari. Saat tujuh belasan dulu ia benci jika disuruh tampil menari di panggung. Kini ia merasakan dorongan untuk itu.. Kalau saja boleh memilih dengan siapa ia harus jatuh cinta, maka Mala adalah pilihan ke-10 nya. Nahas. Nyatanya tipe wanitanya berlainan dengan karakter Mala.

Baiklah, cukup sudah ia bersikap arogan. Dio segera menandatangani proposal itu singkat dan cepat. That’s it! There’s no turning back. Hmm, so long my love. Adios mi amor

Hah. Macam mana pula. Seperti mau berakhir saja hidupnya. Calm down bro, there’s plenty of pretty young ladies.. otaknya berpikir dan hatinya berkata bahwa bukan itu jawabannya. Bersama dengan diawalinya pembangunan proyek ini, maka berakhirlah permainannya selama ini.
Dan kemana saja sih Mala itu? Sopan sekali, hanya mengirimkan asistennya dalam urusan terakhir ini. Dio tersenyum kecut. Lagaknya seperti dipecundangi bawahan. Oke, untuk kali ini kau bisa lolos…

Ia sendiri tak yakin, siapa yang berhasil lolos dari permainannya ini…

Mala berjibaku menambahkan detail akhir sketsanya. Kantor sudah sebagian gelap. Walau sudah ditandatangani Dio, ia melihat masih ada saja yang perlu direvisi. Good work always needs a perfect detail

Mala pulang hampir jam 1 pagi. Hatinya kegirangan dan nyaris menceburkan diri di kolam dekat apartemennya, demi memikirkan besok akan memulai pekerjaan seorang sipil yang sebenarnya. Kepalanya meletup-letup. Tak sabar. Ia mau buru-buru tidur.

Sebelum beranjak ke peraduan, Mala merasa ada sedikit rutinitas yang hilang. Ia mencoba mengecek smsnya. Nothing. Sebelumnya, kadang jam segini pun ia bisa bercengkerama dengan Dio lewat media apapun. Kini, gangguan itu hilang seketika. Tak ada apa pun. Tak ada sms iseng. Sms kosong atau yang lainnya. WellI guess it ended here.. she sleep away as she close her eyes…thinking about something else…


5 bulan kemudian.

Minggu, 11 Januari 2015

Waktu Itu Pada Suatu Ketika


Cappuccino pertama di bulan Desember 2014.
Sedikit pahit dan asam.
Menggoda seluruh inderawi.

Tak ada yang mengingatkanku untuk membawa payung. Kedinginan karena setengah kebasahan. Hmm, tak apa-apalah. Lagipula, di malam hujan dan di sudut kafe yang temaram ini, siapa sih yang akan memperhatikan gadis gembel bercelana belel berkaus gombrong dengan laptop di hadapannya? Hanya orang iseng mungkin.
Ceritaku hampir jadi. Yup. Sudah klimaks dan tinggal penyelesaian. Mencari happy-ending yang pas tanpa terkesan dibuat-buat adalah seni yang sedang kupelajari sekarang ini. Gampang-gampang susah. Editorku, mbak Ririn, sudah mewanti-wanti supaya ending kali ini nggak terlalu mellow dan lebih tough.
Si handphone bergetar lembut minta perhatian. Rupanya ada beberapa pesan online yang masuk.
“Kamu dimana? Belikan Mama bakwan dan sate kambing di pertigaan gang ya sayang,” Si Boss. Alias mamaku. Bernada perintah dan tanpa ada ruang diskusi. Artinya kebelet makan kambing. Harus beli dengan hati ikhlas. Absolute order.
“Mbak, sepatunya yang abu Echi pinjem ya. Tar dibalikin,” si Mpus Meong. Yang abu yang mana ya? Perasaan yang abu mah baru beli belum go public deh. Bernada maksa tanpa syarat dan ketentuan berlaku. Artinya dibalikin kalo inget. Kalo ngga, ya jadi hak milik. Waduh kacau.
Belum selesai aku membalas, Si handphone bergetar kembali. Seseorang menelpon. Tanpa identitas. Rasanya aku kenal nomor itu. Ooh ya. Tentu aku kenal. Aku selalu mengenalnya seakan ruang dan waktu tak berjarak.  Menyusut hingga seperti kemarin dan sedekat debaran jantung.

Sejenak ia nikmati ringtone-nya Yogyakarta Kla Project. Tak ada yang istimewa. Hanya saja ia tahu Jogja pernah begitu berarti dan masih lekat, syahdu dalam ingatannya. Ia kenang satu nama. Andro.

***

Jogja, 2010.
Kopi hitam pertama di bulan Oktober.



Agak pahit sedikit manis dan asam di ujung lidah. Sensasi tradisional nan berkelas.
Mengajak raga bertualang.

Moncong Nikon-nya mengarah luwes ke semua angle yang cantik yang dapat dipikirnya. Cukup untuk beberapa sesi hunting kali ini. Lansekap pantai, laut dan ekosistem dipantai tak bernama ini sungguh menggodanya. Memaksanya untuk mencicipi nuansa kemping disini. Besok ia akan bertemu Dimas untuk menyerahkan foto dan artikel feature-nya. Sebulan sudah ia freelance fotografer di jogja.
“Sundak nama pantai ini,” seorang pria berkata dari jarak 2 meter.   Beranjak keluar dari lensa intipnya, Anin melirik pria bercelana jeans biru yang digulung ujungnya, tampaknya ia telah bermain air di pantai itu. Beberapa garis pasir melekat di kaus hitamnya. Sang pria tersenyum. Nyess di hati Anin.

Sejenak menikmati deburan ombak



“Ohya,” sahut Anin, “Terima kasih banyak atas infonya. Kebetulan saja saya kemari bermotor dan menemukan pantai indah seperti ini. Di Jogja banyak pantai yang cantik ya?” Matanya segera menangkap burung yang melesat terbang rendah di buihan ombak yang tenang dan menjepretnya dengan kamera. Keburu hilang momennya nanti.
Pria itu masih berjarak dua meter dan ia menerawang horizon seraya membait-kan sebuah puisi,
“Angin dingin menari laksana panah berkelana
Dia tak tergoyahkan batu karang
Hanya bisu dan kelamnya malam
Temani sunyi mencari jiwa
Adakah seseorang dalam bintang?”

Anin menghentikan sejenak aktivitasnya dan merenungkan ulang kata-kata dalam puisi barusan. Mengapa kedengarannya sunyi sekali? Sepi begitu.
“Puisi yang indah,” Anin berdeham demi kesopanan, “Cuma sayangnya saya kurang paham maksudnya. Hehe.”
“Apakah perlu dikatakan, jika hati sudah merasakan keindahannya?” sang pria mengulurkan tangannya untuk bersalaman, “Nama saya Andro.”

***

Perkenalannya dengan Andro di pantai Sundak adalah suatu kebetulan. Tapi sebenarnya tiada yang kebetulan kan? Bahwa Anin harus mencari sebuah destinasi wisata pantai untuk artikel majalahnya adalah takdir. Sudah digariskan. Bahwa Andro saat itu harus putus dengan kekasihnya karena ternyata sang kekasih dijodohkan orangtuanya, adalah takdir. Bahwa keduanya memutuskan untuk berkenalan dan menjalani hubungan pertemanan, itu adalah takdir. Tak lebih karena hati Andro yang hancur dan Anin tak mau pusing dengan urusan cinta.
Anin betah di Jogja. Kota yang bersahabat. Ia kost di daerah Kaliurang. 

Kaliurang


Kadang kalau sudah menuntaskan deadline dan ia merasa harus istirahat sejenak, Andro-lah yang menjadi sahabatnya. Menjadi tumpahan curahan hatinya, bahwa ia kangen. Kangen mama, kangen Echi adiknya, kangen papa yang sudah meninggal. Jam berapa pun, Andro akan datang ke tempat janjian mereka bertemu. Sekali waktu di jam 3 pagi di restoran Kaliurang (yang masih buka, sebab angkringan sudah tutup), mereka membicarakan banyak hal, kecuali politik. Anin jenuh dengan rutinitas freelance. Ia ingin sesuatu yang lebih menantang. Andro adalah pengusaha mebel, usaha warisan turun-temurun dari orangtuanya. Generasi ke-4. Andro juga bilang jenuh dengan keseharian, seperti tidak ada greget.
“Apa karena tidak ada cinta?” Andro beretorika. Anin memutar bola matanya. Sudah lama ia enggan menyapa cinta dengan laki-laki.
“Apa yang mau kau lakukan selanjutnya?” tanya Andro.
Anin mengedikkan bahunya, galau. “Entahlah, Dro,” Ia meliarkan matanya ke sekeliling restoran, sepi. “Kurasa aku butuh penyegaran. Mungkin 2-3 tahun di luar negeri atau menjelajah Indonesia, mungkin seperti kamu yang hobinya bikin usaha baru. Atau bikin majalah sendiri, menarik bukan? Yang jelas aku ingin kabur dari sini. Dan merasa rindu akan Jogja..”
Kalimatnya menggantung, air matanya tak terasa meleleh, ia tak tahu mengapa. Andro tak kuasa menatapnya, menunduk dalam-dalam, rasanya ia mencium aroma perpisahan dengan jelas. Sudah 1 tahun mereka berhasil bersahabat tanpa embel-embel asmara.
Mamanya Anin sering menggodanya berkata bahwa tak ada persahabatan murni di antara wanita dan laki-laki. Tak percaya, buktinya mereka bisa bersahabat selama 1 tahun belakangan ini.

Anin menyelipkan kalung berliontinkan lempengan perak di atas meja. Lempengan perak itu sebenarnya bisa diukir dengan nama, tapi Anin memutuskan untuk mengosongkannya. “Buatmu. Aku kasih pinjam. Tak usah dipakai karena norak. Dan kembalikan lagi kalau suatu saat kita ketemu.” Anin berjalan meninggalkan gelas kopinya yang nyaris kosong. Berjalan menjauhi Andro yang masih terkejut dengan sikap Anin. Berjalan pergi dari kehidupannya. Tanpa tahu kapan akan kembali. Semacam perpisahan sementara namun tak dikatakan secara tersurat. Hanya tersirat. Untuk beberapa tahun kemudian mereka berpisah tanpa saling menyapa..

***

2012.
Anin berada di seberang gunung Fuji, lisannya tak henti bertasbih. Ia terkenang mama, Echi, dan Andro. Ia akan pulang untuk menemui mereka, sekaligus liputan di Indonesia.

***

Agustus 2014.
Kopi pahit tanpa gula.
Senikmat malam ditemani bintang-bintang.



Pada siapa ku harus mengadu? Mama dan Echi menjadikannya sandaran dan tumpuan dalam hidup. Ia menampung segala keluh kesah mereka dan mencarikannya solusi. Ia telah terbiasa. Urusan hidupnya adalah urusannya sendiri. Ia butuh teman bersandar. Ia butuh jawaban atas doanya. Ia ingin ke Jogja. Resolusi awal tahunnya untuk sowan ke Jogja tak kunjung ia lakukan. Ia takut. Takut mencederai suatu hubungan. Ia sudah menulis satu buku. Tentangnya. Dan tentang mimpinya. Haruskah ia membuat suatu pengakuan? Jika hati sudah merasakannya, perlukah lisan berbicara? Justru itulah. Harus. Supaya sinkron.
Hari berganti. Bulan berlalu. Sudah pertengahan tahun. Mungkinkah resolusi hanya sebatas resolusi?
Kopinya pahit, dengan suatu janji manis di ujung lidah. Membuatnya sedikit menaruh harapan.

***
November 2014.
Lembang yang dingin. Hujan membuat suasana berkabut dan jarak seakan samar. Suara-suara sayup meningkahi gemericik gerimis. Syahdu yang ramai di tengah malam. Tiada bintang, hanya hujan. Bahkan menggodanya untuk menarik sarung lebih erat mengusir dingin. Di bale-bale panggung rumah itu, duduk di sampingnya Mang Asep yang bercerita mengenai tradisi kampungnya di Lembang ini. Kali ini Anin menulis feature. Ia jadi ingin pulang ke Bogor. Dan Jogja. Rumah keduanya.
Desember 2014.
Andro mengabarinya bahwa ia akan menikah dengan gadis pilihan ibunya. Dari keluarga pengusaha batik. Cocok katanya dalam hati. Cemburu dan sedih. Cemburu karena Andro tak bisa setiap saat siaga membantunya, menampung jeritan hatinya lagi. Sedih karena ia akan ditinggalkan. Sendiri lagi. Rasanya ia tak sanggup. Sudah cukup edisi satu. Ia ingin ketemu Andro, mau mengutarakan isi hatinya. Beruntung Andro juga mau menemuinya mengantarkan undangan.
Sabtu sore, Anin ke Jogja, untuk kali ini tidak di angkringan tapi di restoran yang agak sedikit mahal dan berkelas.
Aku cinta kamu. Itulah kalimat pertama yang dilontarkan Anin begitu bertemu. Andro sedikit kikuk. Namun ia hanya tersenyum.
Andro duduk di seberang meja dan tersenyum manis seperti 4 tahun yang lalu saat pertama mereka bertemu. “Tidak,” katanya, “Akulah yang lebih dulu mencintaimu.” Andro berkata mantap.
“Bahkan saat kau di belakang kameramu dan aku masih menangisi diputuskan karena perjodohan sepihak, rasanya aku sudah mulai mencintaimu. Namun aku tak menyadarinya.”
Butuh waktu yang lama untuk menyadarinya. Mama yang pertama menyadarinya. Ada banyak kesempatan untuk bilang sayang. Ada banyak kesempatan untuk menjalin kasih. Namun persahabatan yang mereka junjung tinggi nilainya terlalu kuat. Jika sudah begini, manakah yang didahulukan? Bakti kepada orangtua kah? Atau rasa cinta yang teruji waktu?
Anin menangisi kebodohannya. Mungkin ini sudah takdir. Andro menatapnya dalam-dalam. Demi melihat mascara yang mulai pudar dan berleleran di sekitar pipinya, Andro menahan tawa untuk menyampaikan maksudnya.
“Ternyata butuh waktu 4 tahun untuk mendengarkan dan mengakui bahwa kau mencintaiku. Memang ibuku sudah menjodohkan aku dan Ira. Namun kami sepakat untuk menolaknya karena Ira sudah punya pilihannya sendiri. Dan aku hingga saat ini masih menunggumu menyadari keberadaanku. Lama juga ya.” Andro tersenyum lebar.

Anin tertegun. Jadi undangan itu? Undangan itu bohong belaka. Untuk mengetes saja. Cukup berisiko tapi sepadan harganya. Anin tak kuasa menahan tangisnya. Ia sudah menemukan jawaban atas doanya. Bersama Andro. Di Jogja, kota kenangan.

Minggu, 21 Desember 2014

An Ode of Thoughts










Beberapa hal tidak tampak seperti di permukaannya
Bahkan berbeda dari yang kita bayangkan
Ada orang yang keyakinannya teguh, bahkan melewati ekspektasinya
Ada orang yang terus berjuang, meyakinkan dirinya dan orang di sekitarnya akan mimpinya dan hal-hal prinsipil yang dipegangnya
Ada orang yang mencoba berdamai dengan realita kehidupannya dan mengadaptasi mimpinya agar bisa bertahan hidup, survive di kerasnya kehidupan dunia
Manusia adalah makhluk sosial
Butuh orang lain
Butuh didengarkan
Terkadang, kalian benar-benar akan membayar untuk sekedar bisa duduk bercerita, minta didengarkan tanpa justifikasi dan tanpa pretensi apapun layaknya topeng
Aku ngantuk dan mencoba untuk tidak menguap
Dikalahkan oleh kantuk, sungguh sangat tidak lucu
Tapi ketika mata sudah lelah oleh saratnya kemunafikan hidup,
Maka tidurlah sayangku…
Tidur yang nyenyak



Bogor, 21st December 2014