Senin, 27 April 2015

Senja di Batas Kota (Part 7) engl.vers

She lay on the grass champ elyesees, covering her eyes with sunglasses and enjoying the morning sun when a middle-aged Caucasian man came to her and smiled.

lay down a while in champ elysee garden

"Sprechen Sie Deutsch?" (Do you speak German?)
"Ist dies der weg nach to Bogor?" (Is this the way to Bogor?)
Mala immediately sat down, removed her sunglasses, and hugged him. Her father who had not been met. Her father is a German, had come to pick Mala in Eiffel. She was very nostalgic and want to tell him a lot.
"Guten morgen Papa. Wie geht es Ihnen? "(Good morning, Dad. How are you?)
"Good. Why you never came to see papa? " As he ruffled hair Mala," already busy ya now. Say you become a celebrity in Indonesia. "

Papa and Mala are both smiling. They talked about many things while visiting the Eiffel Tower, and out of the art museum and last visit Monalisa painting.

"Do you still love mama? Why never intended to reunited? We all miss you guys together again. "
Papa looked at faraway, can only smile like typical parent. "Mala will grown, then also you will understand. There are things that are better not to be together. Mama would have been much better. Now, tell me, is mama health? Aunt and your sister? You already have someone? "

She was in no mood to tell stories. "Papa, please give one piece of advice to tackle this thorny pa .."
"What makes the issue complicated is that man itself. You are making it complicated and convoluted."
Without further asked, Dad just said, "You just have to be yourself. Do whatever your conscience. That is what will make you happy, my sweet. "

Mala tried to absorb the words. Slowly, she took a deep breath and realized the mistake she had done. But how she should straighten out the error? How can she straighten it? You know, sometimes the mind is not necessary to resolve all the issues detailed in this world. You just have to try his best, then pray everything to God. He is the Almighty.


***

March 2015.
That evening, little rain fell throughout West Germany, precisely in Frankfurt, home to Mala's dad. Mala decided to accompany her father a short stay for 1 month. Someon knocked the door with a 4/4 rhythm.



raining outside ...

Buku


Senja di Batas Kota (Part 7)



Ia berbaring di atas rumput champ elyesees, menutup matanya dengan kacamata hitam dan menikmati sinar matahari pagi ketika seorang pria bule paruh baya mendatanginya dan tersenyum.

lay down a while in champ elysees garden

Sprechen Sie Deutsch?” (Apakah Anda dapat berbahasa Jerman?)
Ist dies der weg nach Bogor?” (Apakah ini jalan ke Bogor?)
Mala segera duduk, membuka kacamata hitamnya, dan langsung memeluk pria itu. Papanya yang sudah lama tak ditemuinya. Papanya yang orang Jerman, sengaja datang menjemput Mala di Eiffel. Ia sangat kangen dan ingin bercerita banyak.

Guten morgen Papa. Wie geht's, Papa?” (Selamat pagi, Papa. Bagaimana kabarmu?)

“Baik. Kamu kenapa tidak pernah datang menjenguk papa?” seraya mengacak-acak rambut Mala, “sudah sibuk ya sekarang. Katanya kamu jadi selebritis di Indonesia.”

Papa dan Mala sama-sama tersenyum. Walking around in Paris all day long. Mereka bercerita banyak hal sembari mengunjungi menara Eiffel, keluar masuk art museum dan terakhir mengunjungi lukisan Leonardo da Vinci yang terkenal, Monalisa.

“Apa papa masih sayang sama mama? Kenapa tak pernah berniat rujuk? Kami semua rindu kalian bersama-sama lagi.”

Papa menerawang jauh, hanya dapat tersenyum khas orangtua. “Mala sudah dewasa, nanti juga kau akan mengerti. Ada hal-hal yang lebih baik tidak untuk bersama. Mama pasti jauh lebih baik. Sekarang, ceritakan sama Papa, mamamu sehat? Tante dan adikmu? Kamu sudah ada calon pendamping?”

Ia sedang tak ingin bercerita. “Berikan Mala satu nasihat untuk menghadapi masalah pelik ini pa..”
“Yang membuat masalah pelik adalah manusia sendiri. Kamu yang membuatnya rumit dan pelik." 

Tanpa ditanya lebih lanjut, papa hanya bilang, “Kamu hanya harus menjadi dirimu sendiri. Lakukan sesuai kata hati nuranimu. Itulah yang akan membuatmu bahagia, manisku.”

Mala mencoba meresapi kata-kata itu. Perlahan, ia menarik napas dalam dan menyadari kesalahan yang telah ia perbuat. Namun bagaimana ia harus meluruskan kesalahan itu? Dengan cara bagaimanakah ia membereskan hal itu? Kau tahu, kadang tidak diperlukan pikiran  mendetail untuk menyelesaikan segala masalah di dunia ini. Kau hanya harus berusaha semampunya, kemudian pasrahkan segalanya kepada Allah. Dialah yang Mahakuasa lagi Mahaberkehendak.


***


Maret 2015.

Sore itu, hujan kecil turun di seantero Jerman Barat, tepatnya di Frankfurt, tempat tinggal papa Mala. Mala memutuskan tinggal sebentar menemani papanya selama 1 bulan. Pintu diketok dengan irama 4/4.

raining in Frankfurt

Senja di Batas Kota (Part 6)


Percakapan itu masih terngiang kembali.
“Ibu ngga akan pernah setuju kamu berpacaran apalagi menikah dengan gadis proyek itu. Dia itu ngga cocok sama ibu. Dia ngga akan menjadi istri dan ibu yang baik bagi anak-anak kamu. Kamu tak perlu mengajar-ngejarnya lagi. Ibu sudah menjodohkanmu dengan Dinda, penerus pimpinan Uniheart.”

Meskipun sudah berkepala tiga, di hadapan ibunya, Dio merasa menjadi anak kecil yang selalu diurus dan diatur ibunya, tak punya kebebasan menentukan pilihan. Kadang ia ingin pergi saja dari rumah ini. Tapi ia begitu sayang pada ibunya. Siapa yang akan merawat ibu dan menemaninya nanti? Ia anak satu-satunya. Ayahnya sudah lama menikah lagi dan tinggal dengan istri mudanya. Dio serba salah.

“Bu, tolonglah bu. Sekali ini saja Dio ingin menentukan pilihan hati Dio. Selama ini ibu yang memiliki kuasa atas semua keputusan hidup yang Dio jalani. Sungguh beberapa tidak menghasilkan kebahagiaan yang ibu inginkan pada Dio. Sekali ini saja bu… Dio mohon..”
Ibu berpaling ke jendela, tak tega memandang Dio yang kini berlelehan air mata. Suasana dilematis ini bukannya tak pernah ia rasakan. Kini, ia seperti berada di posisi orangtuanya dahulu yang melakukan hal yang sama dengan yang ia lakukan. Apakah ia akan mengorbankan kebahagian anaknya, demi harta dan tahta? Hidupnya sudah cukup menjadi pelajaran untuk tidak melakukan hal yang sama.

“Ibu, ananda mohon izin dan do’a…”
Ibu berurai air mata, masih tak mau menatap Dio, “Pergilah anakku. Pergi temukan kebahagiaanmu..”

***

Dio menemui Mala, dalam suatu jadwal penerbangan yang sempit di Singapura. Mala hendak pergi ke Inggris, untuk mengambil masternya. Dio memohonnya untuk bertemu sebentar. Maka mereka berjanji untuk bertemu ketika Mala transit.


memorable place at the time

“Seharusnya kukatakan sejak dulu. Mala, maafkan aku. Selama ini aku tidak menjadi tuan atas nuraniku. Aku sengaja menghinamu, selalu menolak pekerjaanmu, karena dengan begitu aku bisa melihatmu lebih lama. Bisa menutupi perasaanku yang sebenarnya. Padahal aku menipu diri sendiri. Kelakuanku yang demikian, tak juga menghapuskan perasaanku padamu, Mala..” untuk pertama kalinya Mala melihat laki-laki itu meruntuhkan tembok kesombongan dalam dirinya. Ia trenyuh.
Mala tersenyum kaku, merasa tersanjung. Ia sudah memaafkannya, dalam hati ia selalu memaafkannya.

“Maukah menikah denganku?”

“Aku sudah memaafkanmu, pak. Tapi untuk menikah. Mungkin belum… aku ingin menggapai apa yang sudah kucita-citakan sejak dulu.”

Penolakan halus. Apa yang harus kulakukan sekarang? Dengan kata-kata itu, berakhirlah pertemuan mereka.

“Aku akan menjemputmu Mala. Pada saatnya nanti kau akan tahu janjiku. Ingatlah itu baik-baik.”
Mala berlalu pergi meninggalkan Dio yang terpaku. Gadis itu pergi mengajar karir dan cita-citanya. Ia tidak bisa dengan egois menghentikannya. Ia rapuh. Tak tahu apa yang akan dilakukannya sekarang. Ketika restu sudah didapat dan semua jalan dilancarkan, jika Tuhan belum berkehendak, maka segalanya tak mungkin terjadi. Belum terjadi setidaknya.. Dio pergi. Ia akan pergi dan tak kembali untuk mengobati luka hatinya. Sampai ia bisa pulih menghadapi dunia. Ia akan minta pindah. Selamat jalan hatiku… selamat tinggal Indonesia…untuk sementara, hingga aku bisa tegak menghadapi dunia..


^^^

2015.
Setahun berlalu sejak pertemuan terakhir mereka. Ia sudah jarang menyelam, fokus dengan master-nya. Begitupun Dio. Sejak itu, tak pernah ada email atau berita apa pun. Rere kadang berkomentar sebal, bahwa Mala, kan sudah dewasa, tapi untuk memutuskan pilihan hidupnya saja susahnya minta ampun: antara Roni dan Dio. Yang menderita adalah mereka bertiga akibat kegamangan Mala dalam membuat keputusan yang tegas.

Mala berdalih, bahwa ia sudah tidak memiliki perasaan apa pun terhadap Roni. Pria itulah yang masih mengharapkannya. Ia tak menyalahkannya. Mencintai adalah hak pribadi. Ia tak bisa melarang seseorang untuk mencintai orang lain karena itu akan membuat mereka bahagia. Rere berkata sebal, terserahlah. Lalu bagaimana dengan Dio. Pusing. Ia tak mau membahas mereka. Sekarang ia hanya ingin bekerja dan menyelesaikan master. Sudah itu bekerja lagi, entah pulang ke Indonesia, entah di sini. Dimanapun tak jadi masalah, pikirnya enteng. Tapi mama selalu bertanya kapan pulang.. dan ia sudah lama tak berjumpa dengan papanya di Jerman. Esok, ia akan membeli tiket untuk pergi ke Jerman. Sebelumnya akan melihat menara Eiffel yang terkenal itu.

tiket apapun yang didapat, just so be it.

Senja di Batas Kota (Part 5)


restaurant with a nice foyer, jazzy.

Senja di Batas Kota (Part 4)




Mama menjemputnya di bandara dan tante Hani memberinya sekotak coklat sebagai hadiah selamat datang, mereka sepertinya sehat dan masih selalu meributkan kemacetan yang seperti tiada akhir. Mala bersyukur.




Tante Hani selalu tahu apa yang Mala sukai:)

“Gimana proyeknya?” Tante Hani mengalihkan pembicaraan dari topik kemacetan. Seraya meninggalkan bandara menuju Jakarta.

“Oke saja tan, tinggal ketemu wartawan saja besok,” Mala berusaha biasa saja, meski hatinya sedikit kelam, “setelah itu selesai.”

“Oh. Mama seneng deh dengarnya. Mulai bulan ini kamu stay di Bogor lagi, kan? Jangan sering-sering tinggalin mama dong, Mala” mama merajuk, seraya berbisik di kuping Mala katanya papa bangga kamu bisa bikin sesuatu kaya gitu. Tante Hani berdeham. Mala tersenyum. Sangat khas keluarganya. Ia rindu mereka. Ia juga kangen Rere. Anak itu belum membalas email terakhirnya dua hari kemarin. Mungkin sedang sibuk praktek. 

“Iya Ma. Terima kasih…” hanya itu yang ingin Mala ucapkan saat ini. Entah kenapa ia menjadi melankolis, menatap ke luar tol Jakarta yang kini digelayuti awan yang mendung. Mala kembali untuk konferensi pers jalan tol di Jakarta. Acara itu dihadiri oleh petinggi-petinggi negeri, pejabat, bos-bos besar, staf Mala, kementerian yang terlibat, para awak media dalam dan luar negeri dan tentunya Mala. Tentunya ada banyak kilatan foto nanti, maka ia harus tampil sebaik mungkin, sebagaimana kerja professional terakhirnya dalam suatu proyek. Tentu saja Dio akan hadir disana. Ia harus tegar.

Sebenarnya tidak ada yang salah sih. Lancar. Teramat lancar malahan. Beberapa orang penting dan stakeholder memberikan sepatah dua patah kata yang patah-patah untuk bahan tulisan awak media. Mala hanya memberi pernyataan yang mengungkapkan kegembiraannya bahwa proyek ini selesai tepat waktu. Itu saja. 

Pejabat dan semua pihak hampir semuanya puas atas kerja tim Mala. Sebagian besar menyatakan keterkejutannya, dalam arti positif, bahwa Penanggung jawabnya adalah seorang perempuan yang masih muda (pula!), dan di akhir acara, beberapa media malah menghampirinya dan berniat untuk membuat video FT khusus tentang Mala. Itu adalah beberapa hal baik yang terjadi. Para petinggi itu juga ada yang sengaja bertukar kartu nama dengan Mala hanya untuk mengetahui nomor telepon asistennya (Mala mencantumkan nomor telepon asistennya di kartu namanya, bukan nomor aslinya). Dan plus, Mala tampil sebaik mungkin dengan gaun baru rancangan seseorang yang dipaksa untuk dipakai Mala oleh mamanya. Gaun itu berwarna biru lembut dan sekaligus memberikan efek intensif. Yang melihatnya akan terkesima saat itu juga.

Harusnya Mala bahagia. Tapi ternyata tidak. Sepanjang acara, Dio terlihat sengaja menghindari Mala. Hanya saling menyapa di awal acara sebagai bagian dari kesopanan belaka. Dio berdiri di pinggir seksi kementerian, tanpa pernah berpaling padanya. Mala tersisih. Ia kecewa, sedikitnya ia masih berharap Dio akan menyuruhnya push-up, bercanda tentang keberhasilannya mengerjakan proyek lokal, menyindirnya, atau apalah yang menandakan reaksi normalnya jika bertemu Mala. Well, itu tak terjadi. Dio hanya tersenyum manis, berbasa-basi sebentar mengenai kabar dan cuaca, serta kemacetan dan hujan. Lalu ia pergi, bergabung bersama kawan-kawannya di sana. Tak terjangkau.
Mala tak bisa berbuat apa-apa, jadi ia hanya membalas dengan jawaban yang sekadarnya. 

Apa yang harus dikatakannya saat itu, bagaimana kabarmu pak? Masih suka menyelam? Atau kapan kita akan main di Bunaken atau Raja Ampat lagi? Saling sindir seperti biasa, bercanda di media sosial. Mala pikir itu sudah bagian dari masa lalu mereka. If they were had one. Punya masa lalu, maksudnya, yang benar saja.

Mala baik-baik saja. Dio sangat baik, sehat dan tambah gemuk sekarang. Terakhir melihatnya adalah bulan Mei, dan itu sekitar 6 bulan yang lalu. Waktu berlalu begitu cepat. Bulan November mengaburkan ingatan rupanya. Yang berubah dari Dio adalah satu. Matanya. Tatapan matanya tidak pernah menatap langsung mata Mala lebih dari 3 detik. Palsu. Hanya untuk etika dan kesopanan. Benarkah? Dio tidak mau berjarak dekat dengan Mala, karenanya menghindari dengan berada sejauh mungkin dari meja kelompok Mala, ketika acara makan malam. Pun ia juga dikerubuti oleh wartawan. Malam ini, tersirat, ia adalah bintangnya. Ia bersinar.

Dio berpura-pura baik-baik saja. Seperti tidak terjadi peristiwa apapun di antara mereka. Mala berpikir seharusnya Dio minta maaf padanya atas tuduhannya yang tidak benar, yang menyebabkan ia pergi dari lokasi seminggu sebelum konferensi pers. Sungguh tidak professional meskipun sebenarnya sudah selesai tugasnya. Tekanan yang tidak tertahankan dan sikap Dio yang tidak mendukung, adalah penyebabnya. Mala enggan mengakuinya.

Di sesi makan malam, salah seorang wartawan yang mengerubutinya bertanya, “Mbak, setelah menyelesaikan proyek ini, apakah akan terus mengerjakan proyek pemerintah atau fokus di dunia karir internasional?” Selama ini reputasi Mala memang lebih mentereng di dunia internasional daripada di dalam negeri.

Mala tertawa renyah, “Waduh, berat sekali pertanyaannya.” Mala diam sejenak, “sepertinya saya mau liburan dulu. Next project will have to wait. Untuk berapa lamanya, saya belum tahu. Masih ingin santai dulu.” Seketika ia berpikir untuk mengambil master di Inggris, Jerman atau Perancis. Mungkin menikah dan punya anak juga merupakan rencana yang bagus. Bersama Dio. Malam berakhir dengan aroma kebekuan yang menguar di antara Mala dan Dio. Tidak tegur sapa, tidak tegur canda. Hanya do’a-do’a yang tak terjawab.

^^^

Rere pulang ke Indonesia untuk liburan musim panas. Sebelum memulai ujian akhir, ia memutuskan untuk memberi kejutan pada kakaknya. Mala sedang asyik membuka majalah di kamar, ketika Rere menghampiri.
Rere mendekat dan duduk di bangku samping ranjang.


Aku mau ke Jogya. Jalan-jalan santai, kata Rere sembari asyik rebahan di bangku