Jumat, 17 April 2015
Rabu, 15 April 2015
Tips Mendidik Anak (USIA 10 – 14 TAHUN) part 2
1. Membantu anak jika ia tidak mampu
melakukan sesuatu
Rasulullah bertemu seorang anak muda yang sedang menguliti
kulit kambing, lalu beliau memperlihatkan cara yang benar dalam melakukan itu.
Beliau membantu anak dan memberitahu anak dalam melakukan sesuatu.
2. Melatih anak cara pengobatan alami
Ketika beliau jatuh dari unta, beliau mengajari seorang anak cara
memijitnya untuk meluruskan kembali otot-otonya dan menyembuhkan memar yang
dialaminya.
3. Menghukum anak dengan halus dan lembut
Nabi saw pernah mengeluarkan buah kurma dari mulut al-Hasan dan bersabda
kepadanya, “ Ukh! Ukh! Tidakkah kamu tahu bahwa kita tidak boleh makan zakat?”
yakni bermaksud meminta al-Hasan memuntahkan yang ada dalam mulutnya. Saat itu
al-Hasan yang masih kecil mengambil buah kurma yang dikumpulkan oleh kaum
muslimin dan diserahkan kepada Nabi saw sebagai zakat atau sedekah dan akan
dibagi-bagikan oleh Nabi saw kepada orang-orang miskin. Nabi saw dan ahlul
baitnya diharamkan memakan zakat atau sedekah, maka Nabi saw mengeluarkan kurma
itu dari mulut al-Hasan. Ketegasan yang dihiasi dengan kasih sayang adalah cara
yang digunakan oleh Nabi saw untuk mendidik anak, melindunginya dari api
neraka.
4. Bergaul dengan anak dan menceritakan
pengalaman masa kecilnya kepada anak
Nabi saw menceritakan kepada anak-anak tentang pengalaman masa kecilnya
saat ia menghadiri pertemuan orang-orang dewasa agar tergambarkan dalam benak
mereka bagaimana cara yang baik dan terhormat bagi anak-anak muda bergaul
dengan orang-orang dewasa.
Anas ra mengatakan, “Sesungguhnya dahulu Rasulullah saw benar-benar
bergaul dengan kami.” (HR. Bukhari, Kitabul Adab, no.5664).
5. Mengucapkan salam kepada anak-anak
Anas ra menceritakan bahwa pada suatu hari Rasulullah saw bersua dengan
sekumpulan anak-anak yang sedang bermain, lalu Rasulullah saw mengucapkan salam
kepada mereka (HR. Bukhari, Kitabul Isti’dzan no.5778).
6. Mengajari anak etika masuk rumah
Anas ra menceritakan bahwa Rasulullah saw bersabda kepadanya, “Hai
anakku, jika kamu masuk ke dalam rumah keluargamu, ucapkanlah salam, niscaya
akan membawa berkah bagimu dan bagi keluargamu.” (HR. Tirmidzi, Kitabul Adab
wal Isti’dzan, no.2622).
Rasulullah saw juga mengajari etika mengucapkan salam, “Orang yang
berkendaraan mengucapkan salam kepada orang yang berjalan kaki; orang yang
berjalan kaki mengucapkan salam kepada orang yang duduk; kelompok yang sedikit
mengucapkan salam kepada kelompok yang banyak; dan yang muda mengucapkan salam
kepada orang yang dewasa.” (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, abu Dawud, Ahmad,
Malik, dan ad-Darimi).
7. Mendukung anak mengikuti pertemuan
yang menggembirakan dan mengunjungi kerabat untuk membangun pengalaman
Manfaat mengajak anak ke pertemuan-pertemuan yang menggembirakan –
pertemuan yang di dalamnya tidak melanggar syariat – merupakan upaya membimbing
anak bersosialisasi dengan masyarakat dan belajar menempatkan diri secara baik.
Mengajak anak berkunjung ke rumah kerabat atau orang-orang shalih
merupakan cara yang sangat efektif untuk menuntun anak meneladani orang shalih
dan menjalin silaturahim.
8. Mendukung anak bergaul dengan ulama
dan bersikap santun terhadap mereka
Abu Umamah ra mengatakan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya
Luqman pernah berkata kepada puteranya, ‘Hai anakku, hadirilah majelis para
ulama dan dengarkanlah perkataan orang-orang bijak, karena sesungguhnya Allah
menghidupkan hati yang mati dengan cahaya hikmah sebagaimana Dia menghidupkan
bumi dengan air hujan yang deras.” (HR. Thabarani, al-Kabir).
9. Mengingatkan anak agar tidak bergaul
dan bertemu dengan orang jahat
Abu Hurairah ra mengatakan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Seseorang itu
mengikuti agama orang kesayangannya. Oleh karena itu, hendaklah seseorang di
antara kalian memperhatikan siapa yang menjadi kesayangannya.” (HR. Abu Dawud,
Kitabul Adab, no.4139).
10. Mengajari etika berbicara dan
menghormati orang yang lebih tua
Rasulullah saw bersabda, “Hormatilah yang lebih tua! Hormatilah yang
lebih tua!” (HR. Bukhari, no.3002).
Dalam hadits disebutkan, “Bukanlah termasuk golonganku umatku yang tidak
menghormati orang yang lebih tua di antara kita.”
Rasulullah saw mengajarkan kepada anak-anak untuk berdiri sebagai
ungkapan hormat kepada orang yang tua, baik ayah, kakek, maupun guru.
Rasulullah saw berdiri apabila Fatimah, puterinya masuk menemuinya, ia bangkit
menyambutnya dan menciumnya serta mendudukkannya di tempat duduknya. Begitu pun
sebaliknya, apabila Nabi saw masuk menemui Fatimah, maka puterinya itu bangkit
menyambutnya dan menciumnya serta mempersilakannya duduk di tempat duduknya. Nabi
saw melakukan ini karena rasa cinta, hormat, dan memuliakan puterinya. Fatimah
pun melakukan hal yang sama terhadap ayahnya.
Referensi:
Ensiklopedia Nabi Muhammad saw sebagai Pendidik.
Tips Mendidik Anak (USIA 10 – 14 TAHUN) part 1
Anak-anak
adalah amanah dari Allah yang harus kita jaga, didik dan diberikan bekal yang
cukup sebagai dasar untuk menghadapi kehidupannya. Namun, sebagai orangtua kita
juga harus menyadari bahwa anak adalah titipan, bukan benda yang dapat
dimiliki. Anakmu adalah anak-anak kehidupan. Sehingga anak harus diberikan
pendidikan sekaligus ruang untuk menjadi dirinya sendiri sesuai ajaran agama.
Berikut ini beberapa pedoman dalam mendidik anak usia remaja, dalam hal ini
anak usia SD menjelang SMP (kelas 4, 5, 6, 7, 8).
1. Menyuruh anak segera tidur sesudah
shalat Isya
Banyaknya acara TV menyebabkan anak tidak langsung tidur setelah shalat
Isya. Mereka beralasan jika tidak mengikuti acara TV, mereka nantinya tidak
bisa mengikuti pembicaraan antar teman mereka di sekolah yang kebanyakan
membicarakan acara TV. Acara TV yang ditayangkan pada jam prime time ( pukul 19.00 sampai 21.00) pada umumnya kurang layak
dikonsumi oleh anak-anak, yaitu sinetron yang banyak diwarnai aksi percintaan,
kekerasan, mistik, dan muatan yang kurang sesuai untuk anak. Tak jarang
perilaku di sinetron yang dilihat anak, akan dipraktekkan dalam kehidupan
sehari-hari mereka. oleh karena itu, sebaiknya setelah shalat Isya atau setelah
belajar malam dan mengerjakan PR, orangtua menyuruh anak segera tidur agar anak
mendapat waktu istirahat yang cukup dan segar untuk aktivitas esok hari.
Nabi saw dan para sahabatnya mengakhirkan shalat Isya, tetapi Umar ra
memerintahkan kepada anak dan isteri-isterinya untuk menyegerakan shalat Isya
agar mereka segera tidur sesudah mengerjakan shalat.
2. Memisahkan tempat tidur anak sejak
usia 10 tahun
Kakak dan adik masih tidur satu kamar? Hal itu boleh-boleh saja. Namun
ketika menjelang usia 10 tahun, orangtua sebaiknya mulai membiasakan untuk
memisahkan tempat tidur anak agar anak berani tidur sendiri dan mulai diberikan
kepercayaan untuk mengurus kamar. Membersihkan, merapikan, mengatur
barang-barang dan mendekor kamarnya merupakan salah satu bentuk latihan
memberikan kepercayaan kepada anak. Dan juga sebagai latihan untuk anak untuk
bertanggung jawab terhadap kamarnya.
Ketika anak menginjak usia 10 tahun, instingnya sedang menuju ke arah
perkembangan dan ingin membuktikan eksistensi dirinya. Karena itu ia harus
diperlakukan dengan hati-hati untuk menangkal semua penyebab kerusakan, jalan
penyimpangan, dan terseret arus negatif. Salah satu cara melindungi anak dari
kerusakan ini adalah dengan memisahkan tempat tidur mereka, yaitu tidak
membiarkan mereka tidur dalam satu kasur.
3. Melarang anak tidur tengkurap
Catatan penting bagi kaum muslimin adalah bahwa tidur dengan posisi
tengkurap tidak dianjurkan dalam ajaran Islam, dari sisi kesehatan pun juga
dipandang tidak baik.
Ya’isy bin Thakhfah al-Ghifari meriwayatkan dari ayahnya bahwa ketika ia
sedang berbaring tengkurap di dalam masjid, tiba-tiba ada seorang laki-laki
yabg menggoyangkan tubuhnya dengan kakinya sambil berkata, “Ini adalah cara
berbaring yang dimurkai oleh Allah!” Ketika ia menoleh, ternyata laki-laki itu
adalah Rasulullah saw (HR. Abu Dawud, Kitabul Adab no.4383).
4. Membiasakan anak menundukkan
pandangan dan menutup aurat
Dalam riwayat Ibnu Khuzaimah, diriwayatkan bahwa Nabi saw berkata kepada
AL-Fadhal, “Hai anak saudaraku, sesungguhnya hari ini adalah hari milik orang
yang menundukkan pandangan matanya dan memelihara kemaluan dan lisannya, karena
dia akan mendapatkan ampunan (dari segala dosanya).
5. Tidak memukul anak
Aisyah ra menceritakan, “Rasulullah saw tidak pernah memukul dengan
tangannya, baik terhadap isteri maupun pelayannya, kecuali bila sedang berjihad
di jalan Allah.” (HR. Muslim, Kitabul Fadhail no.4296).
Rasulullah saw bersabda, “Seseorang yang benar-benar jagoan bukanlah
seseorang yang mampu membanting orang lain, melainkan orang yang mampu
mengendalikan dirinya saat sedang marah.” (HR. Bukhari, Kitabul Adab no.5649).
Pesan Rasulullah saw kepada Mu’adz bin Jabal, “Janganlag mengangkat
tongkatmu terhadap mereka untuk mendidik, tetapi buatlah mereka takut terhadap
Allah.” (HR. Ahmad, no.21060).
6. Menghentikan pukulan hukuman bila
anak meminta tolong kepada Allah
Dianjurkan untuk bersikap khusyu, tunduk, malu, dan merendahkan diri
apabila disebutkan nama Allah di hadapan kaum muslim. Rasulullah saw bersanda,
“Apabila salah seorang di antara kalian memukul pelayannya, lalu pelayannya
menyebut nama Allah, maka tahanlah tangan kalian (dari memukulnya).” (HR.
Tirmidzi, Kitabul Birri wash Shihah no.1873).
Apabila hal ini dianjurkan, meskipun terhadap pelayan, maka terlebih lagi
pada anak.
7. Tidak memukul anak pada bagian yang
sensitif saat emosi
Sesungguhnya, seorang yang menghukum anaknya, sedang ia dalam keadaan
marah, maka hukuman yang ditimpakan akan berakibat tidak bermanfaat karena:
·
Menimbulkan
sifat kebencian dan antipasti dalam diri anak;
·
Pukulan
yang diberikan itu bukan untuk mendidik, melainkan untuk memuaskan diri dan
menyalurkan kemarahan terhadap anak didik yang patut dikasihani;
·
Orang
yang dalam keadaan marah biasanya tidak manjaga nilai-nilai hukum Allah.
Rasulullah saw, “Apabila seseorang di antara kalian memukul,
maka hindarilah bagian wajah.” (HR. Muslim, Kitabul Birri was Shilah no.4729).
Khalifah Ali ra terhadap pria yang mabuk dan harus menjalani
hukuman had minum-minuman Khamer, “Deralah ia dan berikanlah setiap anggota
tubuhnya bagian yang berhak diterimanya, tetapi hindarilah wajah dan kemaluan!”
8. Tidak memanjakan anak dan menuruti
semua kemauannya
Sikap memanjakan anak dan memperturutkan semua keinginannya akan membuat
anak tidak mandiri, bahkan akan menjadikan anak mudah berbuat kejahatan kepada
orang lain agar terpenuhi semua keinginannya, bahkan berbuat jahat kepada orang
tua yang telah memanjakannya.
Nabi saw bersabda, “Ingatlah, tidaklah sekali-kali seseorang melakukan
kejahatan, melainkan akibatnya akan menimpa dirinya sendiri. Orang tua tidak
boleh berbuat jahat terhadap anaknya dan seorang anak tidak boleh berbuat jahat
terhadap orang tuanya.” (HR. Tirmidzi, Kitab Tafsirul Qur’an, no.3012).
9. Menjenguk anak yang sakit, mendoakan
kesembuhan dan mengobatinya
Nabi saw memelihara seorang anak Yahudi yang bekerja melayaninya, suatu
ketika anak itu sakit. Nabi saw datang menjenguknya dan duduk di dekat
kepalanya, lalu bersabda, “Masuk Islamlah.”
Anak itu memandang ayahnya yang saat itu juga berada di sisinya, lalu
ayahnya berkata, “Turutilah Abul Qosim (Muhammad).” Anak itu pun masuk Islam.
Tidak lama kemudian, anak itu menghembuskan nafas terakhirnya. Nabi saw keluar
dan berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkannya dari neraka.”
(HR. Bukhari, Kitabul Janaiz, no.1268).
Rasulullah pernah mengusap dada anak yang sakit dan berdoa untuk
kesembuhannya sehingga tak lama kemudian anak itu muntah dan keluarlah dari
mulutnya segumpal darah seperti anak anjing hitam dan saat itu juga anak itu
sembuh.
10. Meluruskan kesalahpahaman dan
kekeliruan anak dengan bijak
Nabi saw bila meluruskan kekeliruan selalu dengan memberikan contoh dan
menunjukkan hal yang seharusnya dilakukan dengan mengacu pada kaidah umum
syariat. Artinya, Nabi saw mencabut kekeliruan dari akarnya dan merealisasikan
keuntungan yang besar dalam menerapkan manhaj pendidikan Islam.
Referensi:
Ensiklopedia
Nabi Muhammad saw sebagai Pendidik.
Selasa, 13 Januari 2015
Kejadian yang Patut Dikenang
Salah satu kejadian yang patut
dikenang adalah ini: mencari buku dan mempraktekkannya dalam kehidupan kita
secara tidak sengaja.
Seperti biasa, menjelang uas,
setiap dosen akan memberikan tugas makalah. Mahasiswa diminta untuk membuat
makalah sesuai dengan tema yang sudah disetujui. Nah, temaku adalah belajar mandiri.
Berawal dari tugas makalah yang
berjudul belajar mandiri inilah, yang membawaku kepada bukunya Prof. Rhenald
Kasali, orang yang keren (as in quality). Sebenarnya hunting buku sih asik-asik
aja, kalau ada sumber dananya. Tapi kita tidak bicara itu. Yang jadi masalah,
waktu yang diberikan adalah seminggu saja. Dimana pada minggu itu, orang-orang
biasanya pergi berlibur, pulang ke kampung halaman, dan tutup warung/toko.
Kalang kabut mencari buku.
Grame*** sepanjang Jalan Pajajaran, termasuk toko buku loak depan gerbang Unpak
dan Stasiun Bogor selesai dikunjungi, namun tak jua menemukan yang dicari. Kebanyakan
buku lama dan toko buku loak nyaris tutup semua.
Maka bersama seorang teman, kami
berangkat ke Kwitang: mencari buku. Dan dapat! Alhamdulillah. Seharian ini
terbayar. Mungkin proses mencari buku ini sudah termasuk kategori belajar
mandiri J
Ohya, ketika di Grame***, sudah kumasukkan semua
keyword yang mendukung judul makalah
belajar mandiri, atau yang kira-kira nyangkutlah, supaya ketemu buku referensi
yang dicari. Hasil yang paling mendekati adalah bukunya Prof. Rhenald Kasali
yang berjudul Self Driving (Kasali, 2014).
Ini kayanya nyambung dengan
pembelajaran mandiri. Akan tetapi bukunya (menurutku) sudah masuk tataran
realisasi di lapangan. Inilah yang dinamakan belajar mandiri dan dasar
pembelajaran sepanjang hayat (life long
learning). Ada banyak hal yang bisa dipraktekkan dari buku itu, kalau
(tentu saja) kita mau berubah untuk yang lebih baik.
“…sebab walaupun semua orang
bicara hak, soal kemampuan dan minat bisa membuat masa depan berbeda.” Ujar Dekan
Erasmus yang ditanya mengenai bagaimana membangun bangsa dari lulusan yang asal
masuk Universitas Erasmus Belanda. Menurutnya, semua warga negara memiliki hak
untuk mendapat pendidikan. Maka, semua yang mendaftar ke Erasmus wajib
diterima. Namun beranjak ke tahun kedua,
angka drop out tinggi sekali. Itulah cara
mereka menyeleksi mahasiswa, yakni diseleksi di tahun kedua, karena disinilah
mereka baru bicara kualitas pendidikan.
Sedikit random sih, meskipun begitu adalah sah menuangkan isi pikiran,
bukan?
Daftar Pustaka:
Kasali, Rhenald. 2014. Self
Driving, Menjadi Driver atau Menjadi Passenger. Jakarta: Mizan.
Memulai Lagi Suatu Kisah
Tugas kali ini adalah dalam
rangka pemenuhan tugas akhir matkul teknologi informasi dan komunikasi
pendidikan. Tugasnya dimulai 4 Desember
2014 dan dikumpulkan Selasa, 13 Januari kemarin. Tugasnya adalah membuat blog.
Bicara blog, setelah
kupikir-pikir, rasanya aku punya blog tapi entah blog itu terdampar dimana,
tiada yang datang berkunjung, tidak diurusi. Kumal dan kusam. Ibarat rumah
mungkin sudah jadi rumah hantu. Tak berpenghuni namun tetap ada. Aku hanya
ingat nama blognya persis nama emailku yang sekarang. Maka, sejak beberapa hari
ditugaskan blog itu, aku mulai searching
alamat blogspot dengan keyword
namaku. Hasilnya: voila, ketemu!
Sedih sekali melihat keadaan blog
itu. Sunyi sepi tiada yang datang berkunjung. Kasihan. Aku ingin blog-ku hidup, ada
temannya, sharing, diskusi, pokoknya
beraktivitas, disamping sekalian sebagai ajang mengasah tulisanku menjadi
setajam (silet :).
Kuputuskan untuk mulai menulis
lagi. Untuk menghibur diri. Untuk refreshing.
Berhubung aku agak random, maka semua yang menurutku menarik, mungkin akan
kutayangkan. Doakan saja semoga berkah dan bermanfaat dunia akhirat. Aamiin.
Minggu, 11 Januari 2015
Waktu Itu Pada Suatu Ketika
Cappuccino pertama di bulan Desember 2014.
Sedikit pahit dan asam.
Menggoda seluruh inderawi.
Tak ada yang mengingatkanku untuk membawa payung. Kedinginan
karena setengah kebasahan. Hmm, tak apa-apalah. Lagipula, di malam hujan dan di
sudut kafe yang temaram ini, siapa sih yang akan memperhatikan gadis gembel
bercelana belel berkaus gombrong dengan laptop di hadapannya? Hanya orang iseng
mungkin.
Ceritaku hampir jadi. Yup. Sudah klimaks dan tinggal
penyelesaian. Mencari happy-ending yang pas tanpa terkesan
dibuat-buat adalah seni yang sedang kupelajari sekarang ini. Gampang-gampang
susah. Editorku, mbak Ririn, sudah mewanti-wanti supaya ending kali ini nggak terlalu mellow
dan lebih tough.
Si handphone bergetar lembut minta perhatian. Rupanya ada
beberapa pesan online yang masuk.
“Kamu dimana? Belikan Mama bakwan dan sate kambing di
pertigaan gang ya sayang,” Si Boss. Alias mamaku. Bernada perintah dan tanpa
ada ruang diskusi. Artinya kebelet makan kambing. Harus beli dengan hati
ikhlas. Absolute order.
“Mbak, sepatunya yang abu Echi pinjem ya. Tar dibalikin,” si
Mpus Meong. Yang abu yang mana ya? Perasaan yang abu mah baru beli belum go public deh. Bernada maksa tanpa
syarat dan ketentuan berlaku. Artinya dibalikin kalo inget. Kalo ngga, ya jadi
hak milik. Waduh kacau.
Belum selesai aku membalas, Si handphone bergetar kembali.
Seseorang menelpon. Tanpa identitas. Rasanya aku kenal nomor itu. Ooh ya. Tentu
aku kenal. Aku selalu mengenalnya seakan ruang dan waktu tak berjarak. Menyusut hingga seperti kemarin dan sedekat
debaran jantung.
Sejenak ia nikmati ringtone-nya
Yogyakarta Kla Project. Tak ada yang istimewa. Hanya saja ia tahu Jogja pernah
begitu berarti dan masih lekat, syahdu dalam ingatannya. Ia kenang satu nama. Andro.
***
Jogja, 2010.
Kopi hitam pertama di bulan
Oktober.
Agak pahit sedikit manis dan asam
di ujung lidah. Sensasi tradisional nan berkelas.
Mengajak raga bertualang.
Moncong Nikon-nya mengarah luwes
ke semua angle yang cantik yang dapat
dipikirnya. Cukup untuk beberapa sesi hunting
kali ini. Lansekap pantai, laut dan ekosistem dipantai tak bernama ini sungguh
menggodanya. Memaksanya untuk mencicipi nuansa kemping disini. Besok ia akan
bertemu Dimas untuk menyerahkan foto dan artikel feature-nya. Sebulan sudah ia freelance
fotografer di jogja.
“Sundak nama pantai ini,” seorang
pria berkata dari jarak 2 meter. Beranjak keluar dari lensa intipnya, Anin
melirik pria bercelana jeans biru yang digulung ujungnya, tampaknya ia telah
bermain air di pantai itu. Beberapa garis pasir melekat di kaus hitamnya. Sang
pria tersenyum. Nyess di hati Anin.
![]() |
Sejenak menikmati deburan ombak |
“Ohya,” sahut Anin, “Terima kasih
banyak atas infonya. Kebetulan saja saya kemari bermotor dan menemukan pantai
indah seperti ini. Di Jogja banyak pantai yang cantik ya?” Matanya segera menangkap
burung yang melesat terbang rendah di buihan ombak yang tenang dan menjepretnya
dengan kamera. Keburu hilang momennya nanti.
Pria itu masih berjarak dua meter
dan ia menerawang horizon seraya membait-kan sebuah puisi,
“Angin dingin menari laksana panah
berkelana
Dia tak tergoyahkan batu karang
Hanya bisu dan kelamnya malam
Temani sunyi mencari jiwa
Adakah seseorang dalam bintang?”
Anin menghentikan sejenak
aktivitasnya dan merenungkan ulang kata-kata dalam puisi barusan. Mengapa
kedengarannya sunyi sekali? Sepi begitu.
“Puisi yang indah,” Anin berdeham
demi kesopanan, “Cuma sayangnya saya kurang paham maksudnya. Hehe.”
“Apakah perlu dikatakan, jika
hati sudah merasakan keindahannya?” sang pria mengulurkan tangannya untuk
bersalaman, “Nama saya Andro.”
***
Perkenalannya dengan Andro di
pantai Sundak adalah suatu kebetulan. Tapi sebenarnya tiada yang kebetulan kan?
Bahwa Anin harus mencari sebuah destinasi wisata pantai untuk artikel majalahnya
adalah takdir. Sudah digariskan. Bahwa Andro saat itu harus putus dengan
kekasihnya karena ternyata sang kekasih dijodohkan orangtuanya, adalah takdir.
Bahwa keduanya memutuskan untuk berkenalan dan menjalani hubungan pertemanan,
itu adalah takdir. Tak lebih karena hati Andro yang hancur dan Anin tak mau
pusing dengan urusan cinta.
Anin betah di Jogja. Kota yang
bersahabat. Ia kost di daerah Kaliurang.
Kaliurang |
Kadang kalau sudah menuntaskan deadline dan ia merasa harus istirahat
sejenak, Andro-lah yang menjadi sahabatnya. Menjadi tumpahan curahan hatinya,
bahwa ia kangen. Kangen mama, kangen Echi adiknya, kangen papa yang sudah
meninggal. Jam berapa pun, Andro akan datang ke tempat janjian mereka bertemu.
Sekali waktu di jam 3 pagi di restoran Kaliurang (yang masih buka, sebab
angkringan sudah tutup), mereka membicarakan banyak hal, kecuali politik. Anin
jenuh dengan rutinitas freelance. Ia
ingin sesuatu yang lebih menantang. Andro adalah pengusaha mebel, usaha warisan
turun-temurun dari orangtuanya. Generasi ke-4. Andro juga bilang jenuh dengan
keseharian, seperti tidak ada greget.
“Apa karena tidak ada cinta?”
Andro beretorika. Anin memutar bola matanya. Sudah lama ia enggan menyapa cinta
dengan laki-laki.
“Apa yang mau kau lakukan
selanjutnya?” tanya Andro.
Anin mengedikkan bahunya, galau.
“Entahlah, Dro,” Ia meliarkan matanya ke sekeliling restoran, sepi. “Kurasa aku
butuh penyegaran. Mungkin 2-3 tahun di luar negeri atau menjelajah Indonesia,
mungkin seperti kamu yang hobinya bikin usaha baru. Atau bikin majalah sendiri,
menarik bukan? Yang jelas aku ingin kabur dari sini. Dan merasa rindu akan
Jogja..”
Kalimatnya menggantung, air
matanya tak terasa meleleh, ia tak tahu mengapa. Andro tak kuasa menatapnya,
menunduk dalam-dalam, rasanya ia mencium aroma perpisahan dengan jelas. Sudah 1
tahun mereka berhasil bersahabat tanpa embel-embel asmara.
Mamanya Anin sering menggodanya
berkata bahwa tak ada persahabatan murni di antara wanita dan laki-laki. Tak percaya,
buktinya mereka bisa bersahabat selama 1 tahun belakangan ini.
Anin menyelipkan kalung
berliontinkan lempengan perak di atas meja. Lempengan perak itu sebenarnya bisa
diukir dengan nama, tapi Anin memutuskan untuk mengosongkannya. “Buatmu. Aku kasih
pinjam. Tak usah dipakai karena norak. Dan kembalikan lagi kalau suatu saat
kita ketemu.” Anin berjalan meninggalkan gelas kopinya yang nyaris kosong.
Berjalan menjauhi Andro yang masih terkejut dengan sikap Anin. Berjalan pergi
dari kehidupannya. Tanpa tahu kapan akan kembali. Semacam perpisahan sementara
namun tak dikatakan secara tersurat. Hanya tersirat. Untuk beberapa tahun
kemudian mereka berpisah tanpa saling menyapa..
***
2012.
Anin berada di seberang gunung
Fuji, lisannya tak henti bertasbih. Ia terkenang mama, Echi, dan Andro. Ia akan
pulang untuk menemui mereka, sekaligus liputan di Indonesia.
***
Agustus 2014.
Kopi pahit tanpa gula.
Senikmat malam ditemani
bintang-bintang.
Pada siapa ku harus mengadu? Mama
dan Echi menjadikannya sandaran dan tumpuan dalam hidup. Ia menampung segala
keluh kesah mereka dan mencarikannya solusi. Ia telah terbiasa. Urusan hidupnya
adalah urusannya sendiri. Ia butuh teman bersandar. Ia butuh jawaban atas
doanya. Ia ingin ke Jogja. Resolusi awal tahunnya untuk sowan ke Jogja tak
kunjung ia lakukan. Ia takut. Takut mencederai suatu hubungan. Ia sudah menulis
satu buku. Tentangnya. Dan tentang mimpinya. Haruskah ia membuat suatu
pengakuan? Jika hati sudah merasakannya, perlukah lisan berbicara? Justru
itulah. Harus. Supaya sinkron.
Hari berganti. Bulan berlalu.
Sudah pertengahan tahun. Mungkinkah resolusi hanya sebatas resolusi?
Kopinya pahit, dengan suatu janji
manis di ujung lidah. Membuatnya sedikit menaruh harapan.
***
November 2014.
Lembang yang dingin. Hujan
membuat suasana berkabut dan jarak seakan samar. Suara-suara sayup meningkahi
gemericik gerimis. Syahdu yang ramai di tengah malam. Tiada bintang, hanya
hujan. Bahkan menggodanya untuk menarik sarung lebih erat mengusir dingin. Di
bale-bale panggung rumah itu, duduk di sampingnya Mang Asep yang bercerita
mengenai tradisi kampungnya di Lembang ini. Kali ini Anin menulis feature. Ia jadi ingin pulang ke Bogor.
Dan Jogja. Rumah keduanya.
Desember 2014.
Andro mengabarinya bahwa ia akan
menikah dengan gadis pilihan ibunya. Dari keluarga pengusaha batik. Cocok
katanya dalam hati. Cemburu dan sedih. Cemburu karena Andro tak bisa setiap
saat siaga membantunya, menampung jeritan hatinya lagi. Sedih karena ia akan
ditinggalkan. Sendiri lagi. Rasanya ia tak sanggup. Sudah cukup edisi satu. Ia
ingin ketemu Andro, mau mengutarakan isi hatinya. Beruntung Andro juga mau
menemuinya mengantarkan undangan.
Sabtu sore, Anin ke Jogja, untuk
kali ini tidak di angkringan tapi di restoran yang agak sedikit mahal dan
berkelas.
Aku cinta kamu. Itulah kalimat
pertama yang dilontarkan Anin begitu bertemu. Andro sedikit kikuk. Namun ia
hanya tersenyum.
Andro duduk di seberang meja dan
tersenyum manis seperti 4 tahun yang lalu saat pertama mereka bertemu. “Tidak,”
katanya, “Akulah yang lebih dulu mencintaimu.” Andro berkata mantap.
“Bahkan saat kau di belakang
kameramu dan aku masih menangisi diputuskan karena perjodohan sepihak, rasanya
aku sudah mulai mencintaimu. Namun aku tak menyadarinya.”
Butuh waktu yang lama untuk
menyadarinya. Mama yang pertama menyadarinya. Ada banyak kesempatan untuk
bilang sayang. Ada banyak kesempatan untuk menjalin kasih. Namun persahabatan
yang mereka junjung tinggi nilainya terlalu kuat. Jika sudah begini, manakah
yang didahulukan? Bakti kepada orangtua kah? Atau rasa cinta yang teruji waktu?
Anin menangisi kebodohannya.
Mungkin ini sudah takdir. Andro menatapnya dalam-dalam. Demi melihat mascara yang mulai pudar dan berleleran
di sekitar pipinya, Andro menahan tawa untuk menyampaikan maksudnya.
“Ternyata butuh waktu 4 tahun
untuk mendengarkan dan mengakui bahwa kau mencintaiku. Memang ibuku sudah
menjodohkan aku dan Ira. Namun kami sepakat untuk menolaknya karena Ira sudah
punya pilihannya sendiri. Dan aku hingga saat ini masih menunggumu menyadari
keberadaanku. Lama juga ya.” Andro tersenyum lebar.
Anin tertegun. Jadi undangan itu?
Undangan itu bohong belaka. Untuk mengetes saja. Cukup berisiko tapi sepadan
harganya. Anin tak kuasa menahan tangisnya. Ia sudah menemukan jawaban atas
doanya. Bersama Andro. Di Jogja, kota kenangan.
Langganan:
Postingan (Atom)