Rabu, 15 April 2015

Tips Mendidik Anak (USIA 10 – 14 TAHUN) part 2

1.      Membantu anak jika ia tidak mampu melakukan sesuatu
Rasulullah bertemu seorang anak muda yang sedang menguliti kulit kambing, lalu beliau memperlihatkan cara yang benar dalam melakukan itu. Beliau membantu anak dan memberitahu anak dalam melakukan sesuatu.

2.      Melatih anak cara pengobatan alami
Ketika beliau jatuh dari unta, beliau mengajari seorang anak cara memijitnya untuk meluruskan kembali otot-otonya dan menyembuhkan memar yang dialaminya.

3.      Menghukum anak dengan halus dan lembut
Nabi saw pernah mengeluarkan buah kurma dari mulut al-Hasan dan bersabda kepadanya, “ Ukh! Ukh! Tidakkah kamu tahu bahwa kita tidak boleh makan zakat?” yakni bermaksud meminta al-Hasan memuntahkan yang ada dalam mulutnya. Saat itu al-Hasan yang masih kecil mengambil buah kurma yang dikumpulkan oleh kaum muslimin dan diserahkan kepada Nabi saw sebagai zakat atau sedekah dan akan dibagi-bagikan oleh Nabi saw kepada orang-orang miskin. Nabi saw dan ahlul baitnya diharamkan memakan zakat atau sedekah, maka Nabi saw mengeluarkan kurma itu dari mulut al-Hasan. Ketegasan yang dihiasi dengan kasih sayang adalah cara yang digunakan oleh Nabi saw untuk mendidik anak, melindunginya dari api neraka.

4.      Bergaul dengan anak dan menceritakan pengalaman masa kecilnya kepada anak
Nabi saw menceritakan kepada anak-anak tentang pengalaman masa kecilnya saat ia menghadiri pertemuan orang-orang dewasa agar tergambarkan dalam benak mereka bagaimana cara yang baik dan terhormat bagi anak-anak muda bergaul dengan orang-orang dewasa.
Anas ra mengatakan, “Sesungguhnya dahulu Rasulullah saw benar-benar bergaul dengan kami.” (HR. Bukhari, Kitabul Adab, no.5664).

5.      Mengucapkan salam kepada anak-anak
Anas ra menceritakan bahwa pada suatu hari Rasulullah saw bersua dengan sekumpulan anak-anak yang sedang bermain, lalu Rasulullah saw mengucapkan salam kepada mereka (HR. Bukhari, Kitabul Isti’dzan no.5778).

6.      Mengajari anak etika masuk rumah
Anas ra menceritakan bahwa Rasulullah saw bersabda kepadanya, “Hai anakku, jika kamu masuk ke dalam rumah keluargamu, ucapkanlah salam, niscaya akan membawa berkah bagimu dan bagi keluargamu.” (HR. Tirmidzi, Kitabul Adab wal Isti’dzan, no.2622).
Rasulullah saw juga mengajari etika mengucapkan salam, “Orang yang berkendaraan mengucapkan salam kepada orang yang berjalan kaki; orang yang berjalan kaki mengucapkan salam kepada orang yang duduk; kelompok yang sedikit mengucapkan salam kepada kelompok yang banyak; dan yang muda mengucapkan salam kepada orang yang dewasa.” (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, abu Dawud, Ahmad, Malik, dan ad-Darimi).

7.      Mendukung anak mengikuti pertemuan yang menggembirakan dan mengunjungi kerabat untuk membangun pengalaman
Manfaat mengajak anak ke pertemuan-pertemuan yang menggembirakan – pertemuan yang di dalamnya tidak melanggar syariat – merupakan upaya membimbing anak bersosialisasi dengan masyarakat dan belajar menempatkan diri secara baik.
Mengajak anak berkunjung ke rumah kerabat atau orang-orang shalih merupakan cara yang sangat efektif untuk menuntun anak meneladani orang shalih dan menjalin silaturahim.

8.      Mendukung anak bergaul dengan ulama dan bersikap santun terhadap mereka
Abu Umamah ra mengatakan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Luqman pernah berkata kepada puteranya, ‘Hai anakku, hadirilah majelis para ulama dan dengarkanlah perkataan orang-orang bijak, karena sesungguhnya Allah menghidupkan hati yang mati dengan cahaya hikmah sebagaimana Dia menghidupkan bumi dengan air hujan yang deras.” (HR. Thabarani, al-Kabir).

9.      Mengingatkan anak agar tidak bergaul dan bertemu dengan orang jahat
Abu Hurairah ra mengatakan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Seseorang itu mengikuti agama orang kesayangannya. Oleh karena itu, hendaklah seseorang di antara kalian memperhatikan siapa yang menjadi kesayangannya.” (HR. Abu Dawud, Kitabul Adab, no.4139).

10.  Mengajari etika berbicara dan menghormati orang yang lebih tua
Rasulullah saw bersabda, “Hormatilah yang lebih tua! Hormatilah yang lebih tua!” (HR. Bukhari, no.3002).
Dalam hadits disebutkan, “Bukanlah termasuk golonganku umatku yang tidak menghormati orang yang lebih tua di antara kita.”
Rasulullah saw mengajarkan kepada anak-anak untuk berdiri sebagai ungkapan hormat kepada orang yang tua, baik ayah, kakek, maupun guru. Rasulullah saw berdiri apabila Fatimah, puterinya masuk menemuinya, ia bangkit menyambutnya dan menciumnya serta mendudukkannya di tempat duduknya. Begitu pun sebaliknya, apabila Nabi saw masuk menemui Fatimah, maka puterinya itu bangkit menyambutnya dan menciumnya serta mempersilakannya duduk di tempat duduknya. Nabi saw melakukan ini karena rasa cinta, hormat, dan memuliakan puterinya. Fatimah pun melakukan hal yang sama terhadap ayahnya.

Referensi:
Ensiklopedia Nabi Muhammad saw sebagai Pendidik.

Tips Mendidik Anak (USIA 10 – 14 TAHUN) part 1



Anak-anak adalah amanah dari Allah yang harus kita jaga, didik dan diberikan bekal yang cukup sebagai dasar untuk menghadapi kehidupannya. Namun, sebagai orangtua kita juga harus menyadari bahwa anak adalah titipan, bukan benda yang dapat dimiliki. Anakmu adalah anak-anak kehidupan. Sehingga anak harus diberikan pendidikan sekaligus ruang untuk menjadi dirinya sendiri sesuai ajaran agama. Berikut ini beberapa pedoman dalam mendidik anak usia remaja, dalam hal ini anak usia SD menjelang SMP (kelas 4, 5, 6, 7, 8).


1.      Menyuruh anak segera tidur sesudah shalat Isya
Banyaknya acara TV menyebabkan anak tidak langsung tidur setelah shalat Isya. Mereka beralasan jika tidak mengikuti acara TV, mereka nantinya tidak bisa mengikuti pembicaraan antar teman mereka di sekolah yang kebanyakan membicarakan acara TV. Acara TV yang ditayangkan pada jam prime time ( pukul 19.00 sampai 21.00) pada umumnya kurang layak dikonsumi oleh anak-anak, yaitu sinetron yang banyak diwarnai aksi percintaan, kekerasan, mistik, dan muatan yang kurang sesuai untuk anak. Tak jarang perilaku di sinetron yang dilihat anak, akan dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari mereka. oleh karena itu, sebaiknya setelah shalat Isya atau setelah belajar malam dan mengerjakan PR, orangtua menyuruh anak segera tidur agar anak mendapat waktu istirahat yang cukup dan segar untuk aktivitas esok hari.
Nabi saw dan para sahabatnya mengakhirkan shalat Isya, tetapi Umar ra memerintahkan kepada anak dan isteri-isterinya untuk menyegerakan shalat Isya agar mereka segera tidur sesudah mengerjakan shalat.

2.      Memisahkan tempat tidur anak sejak usia 10 tahun
Kakak dan adik masih tidur satu kamar? Hal itu boleh-boleh saja. Namun ketika menjelang usia 10 tahun, orangtua sebaiknya mulai membiasakan untuk memisahkan tempat tidur anak agar anak berani tidur sendiri dan mulai diberikan kepercayaan untuk mengurus kamar. Membersihkan, merapikan, mengatur barang-barang dan mendekor kamarnya merupakan salah satu bentuk latihan memberikan kepercayaan kepada anak. Dan juga sebagai latihan untuk anak untuk bertanggung jawab terhadap kamarnya.
Ketika anak menginjak usia 10 tahun, instingnya sedang menuju ke arah perkembangan dan ingin membuktikan eksistensi dirinya. Karena itu ia harus diperlakukan dengan hati-hati untuk menangkal semua penyebab kerusakan, jalan penyimpangan, dan terseret arus negatif. Salah satu cara melindungi anak dari kerusakan ini adalah dengan memisahkan tempat tidur mereka, yaitu tidak membiarkan mereka tidur dalam satu kasur.

3.      Melarang anak tidur tengkurap
Catatan penting bagi kaum muslimin adalah bahwa tidur dengan posisi tengkurap tidak dianjurkan dalam ajaran Islam, dari sisi kesehatan pun juga dipandang tidak baik.
Ya’isy bin Thakhfah al-Ghifari meriwayatkan dari ayahnya bahwa ketika ia sedang berbaring tengkurap di dalam masjid, tiba-tiba ada seorang laki-laki yabg menggoyangkan tubuhnya dengan kakinya sambil berkata, “Ini adalah cara berbaring yang dimurkai oleh Allah!” Ketika ia menoleh, ternyata laki-laki itu adalah Rasulullah saw (HR. Abu Dawud, Kitabul Adab no.4383).

4.      Membiasakan anak menundukkan pandangan dan menutup aurat
Dalam riwayat Ibnu Khuzaimah, diriwayatkan bahwa Nabi saw berkata kepada AL-Fadhal, “Hai anak saudaraku, sesungguhnya hari ini adalah hari milik orang yang menundukkan pandangan matanya dan memelihara kemaluan dan lisannya, karena dia akan mendapatkan ampunan (dari segala dosanya).

5.      Tidak memukul anak
Aisyah ra menceritakan, “Rasulullah saw tidak pernah memukul dengan tangannya, baik terhadap isteri maupun pelayannya, kecuali bila sedang berjihad di jalan Allah.” (HR. Muslim, Kitabul Fadhail no.4296).
Rasulullah saw bersabda, “Seseorang yang benar-benar jagoan bukanlah seseorang yang mampu membanting orang lain, melainkan orang yang mampu mengendalikan dirinya saat sedang marah.” (HR. Bukhari, Kitabul Adab no.5649).
Pesan Rasulullah saw kepada Mu’adz bin Jabal, “Janganlag mengangkat tongkatmu terhadap mereka untuk mendidik, tetapi buatlah mereka takut terhadap Allah.” (HR. Ahmad, no.21060).

6.      Menghentikan pukulan hukuman bila anak meminta tolong kepada Allah
Dianjurkan untuk bersikap khusyu, tunduk, malu, dan merendahkan diri apabila disebutkan nama Allah di hadapan kaum muslim. Rasulullah saw bersanda, “Apabila salah seorang di antara kalian memukul pelayannya, lalu pelayannya menyebut nama Allah, maka tahanlah tangan kalian (dari memukulnya).” (HR. Tirmidzi, Kitabul Birri wash Shihah no.1873).
Apabila hal ini dianjurkan, meskipun terhadap pelayan, maka terlebih lagi pada anak.

7.      Tidak memukul anak pada bagian yang sensitif saat emosi
Sesungguhnya, seorang yang menghukum anaknya, sedang ia dalam keadaan marah, maka hukuman yang ditimpakan akan berakibat tidak bermanfaat karena:
·         Menimbulkan sifat kebencian dan antipasti dalam diri anak;
·         Pukulan yang diberikan itu bukan untuk mendidik, melainkan untuk memuaskan diri dan menyalurkan kemarahan terhadap anak didik yang patut dikasihani;
·         Orang yang dalam keadaan marah biasanya tidak manjaga nilai-nilai hukum Allah.
Rasulullah saw, “Apabila seseorang di antara kalian memukul, maka hindarilah bagian wajah.” (HR. Muslim, Kitabul Birri was Shilah no.4729).
Khalifah Ali ra terhadap pria yang mabuk dan harus menjalani hukuman had minum-minuman Khamer, “Deralah ia dan berikanlah setiap anggota tubuhnya bagian yang berhak diterimanya, tetapi hindarilah wajah dan kemaluan!”

8.      Tidak memanjakan anak dan menuruti semua kemauannya
Sikap memanjakan anak dan memperturutkan semua keinginannya akan membuat anak tidak mandiri, bahkan akan menjadikan anak mudah berbuat kejahatan kepada orang lain agar terpenuhi semua keinginannya, bahkan berbuat jahat kepada orang tua yang telah memanjakannya.
Nabi saw bersabda, “Ingatlah, tidaklah sekali-kali seseorang melakukan kejahatan, melainkan akibatnya akan menimpa dirinya sendiri. Orang tua tidak boleh berbuat jahat terhadap anaknya dan seorang anak tidak boleh berbuat jahat terhadap orang tuanya.” (HR. Tirmidzi, Kitab Tafsirul Qur’an, no.3012).

9.      Menjenguk anak yang sakit, mendoakan kesembuhan dan mengobatinya
Nabi saw memelihara seorang anak Yahudi yang bekerja melayaninya, suatu ketika anak itu sakit. Nabi saw datang menjenguknya dan duduk di dekat kepalanya, lalu bersabda, “Masuk Islamlah.”  Anak itu memandang ayahnya yang saat itu juga berada di sisinya, lalu ayahnya berkata, “Turutilah Abul Qosim (Muhammad).” Anak itu pun masuk Islam. Tidak lama kemudian, anak itu menghembuskan nafas terakhirnya. Nabi saw keluar dan berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkannya dari neraka.” (HR. Bukhari, Kitabul Janaiz, no.1268).
Rasulullah pernah mengusap dada anak yang sakit dan berdoa untuk kesembuhannya sehingga tak lama kemudian anak itu muntah dan keluarlah dari mulutnya segumpal darah seperti anak anjing hitam dan saat itu juga anak itu sembuh.

10.  Meluruskan kesalahpahaman dan kekeliruan anak dengan bijak
Nabi saw bila meluruskan kekeliruan selalu dengan memberikan contoh dan menunjukkan hal yang seharusnya dilakukan dengan mengacu pada kaidah umum syariat. Artinya, Nabi saw mencabut kekeliruan dari akarnya dan merealisasikan keuntungan yang besar dalam menerapkan manhaj pendidikan Islam.

Referensi:

Ensiklopedia Nabi Muhammad saw sebagai Pendidik.

Selasa, 13 Januari 2015

Kejadian yang Patut Dikenang

Salah satu kejadian yang patut dikenang adalah ini: mencari buku dan mempraktekkannya dalam kehidupan kita secara tidak sengaja.
Seperti biasa, menjelang uas, setiap dosen akan memberikan tugas makalah. Mahasiswa diminta untuk membuat makalah sesuai dengan tema yang sudah disetujui. Nah, temaku adalah belajar mandiri.
Berawal dari tugas makalah yang berjudul belajar mandiri inilah, yang membawaku kepada bukunya Prof. Rhenald Kasali, orang yang keren (as in quality). Sebenarnya hunting  buku sih asik-asik aja, kalau ada sumber dananya. Tapi kita tidak bicara itu. Yang jadi masalah, waktu yang diberikan adalah seminggu saja. Dimana pada minggu itu, orang-orang biasanya pergi berlibur, pulang ke kampung halaman, dan tutup warung/toko.
Kalang kabut mencari buku. Grame*** sepanjang Jalan Pajajaran, termasuk toko buku loak depan gerbang Unpak dan Stasiun Bogor selesai dikunjungi, namun tak jua menemukan yang dicari. Kebanyakan buku lama dan toko buku loak nyaris tutup semua.
Maka bersama seorang teman, kami berangkat ke Kwitang: mencari buku. Dan dapat! Alhamdulillah. Seharian ini terbayar. Mungkin proses mencari buku ini sudah termasuk kategori belajar mandiri J
Ohya, ketika di Grame***, sudah kumasukkan semua keyword yang mendukung judul makalah belajar mandiri, atau yang kira-kira nyangkutlah, supaya ketemu buku referensi yang dicari. Hasil yang paling mendekati adalah bukunya Prof. Rhenald Kasali yang berjudul Self Driving (Kasali, 2014). 



Ini kayanya nyambung dengan pembelajaran mandiri. Akan tetapi bukunya (menurutku) sudah masuk tataran realisasi di lapangan. Inilah yang dinamakan belajar mandiri dan dasar pembelajaran sepanjang hayat (life long learning). Ada banyak hal yang bisa dipraktekkan dari buku itu, kalau (tentu saja) kita mau berubah untuk yang lebih baik.
“…sebab walaupun semua orang bicara hak, soal kemampuan dan minat bisa membuat masa depan berbeda.” Ujar Dekan Erasmus yang ditanya mengenai bagaimana membangun bangsa dari lulusan yang asal masuk Universitas Erasmus Belanda. Menurutnya, semua warga negara memiliki hak untuk mendapat pendidikan. Maka, semua yang mendaftar ke Erasmus wajib diterima.  Namun beranjak ke tahun kedua, angka drop out tinggi sekali. Itulah cara mereka menyeleksi mahasiswa, yakni diseleksi di tahun kedua, karena disinilah mereka baru bicara kualitas pendidikan.
Sedikit random sih, meskipun begitu adalah sah menuangkan isi pikiran, bukan?


Daftar Pustaka:
Kasali, Rhenald. 2014. Self Driving, Menjadi Driver atau Menjadi Passenger. Jakarta: Mizan.

Memulai Lagi Suatu Kisah

Tugas kali ini adalah dalam rangka pemenuhan tugas akhir matkul teknologi informasi dan komunikasi pendidikan. Tugasnya dimulai  4 Desember 2014 dan dikumpulkan Selasa, 13 Januari kemarin. Tugasnya adalah membuat blog.
Bicara blog, setelah kupikir-pikir, rasanya aku punya blog tapi entah blog itu terdampar dimana, tiada yang datang berkunjung, tidak diurusi. Kumal dan kusam. Ibarat rumah mungkin sudah jadi rumah hantu. Tak berpenghuni namun tetap ada. Aku hanya ingat nama blognya persis nama emailku yang sekarang. Maka, sejak beberapa hari ditugaskan blog itu, aku mulai searching alamat blogspot dengan keyword namaku. Hasilnya: voila, ketemu!
Sedih sekali melihat keadaan blog itu. Sunyi sepi tiada yang datang berkunjung.  Kasihan. Aku ingin blog-ku hidup, ada temannya, sharing, diskusi, pokoknya beraktivitas, disamping sekalian sebagai ajang mengasah tulisanku menjadi setajam (silet :).
Kuputuskan untuk mulai menulis lagi. Untuk menghibur diri. Untuk refreshing.  Berhubung aku agak random, maka semua yang menurutku menarik, mungkin akan kutayangkan. Doakan saja semoga berkah dan bermanfaat dunia akhirat. Aamiin.

Minggu, 11 Januari 2015

Waktu Itu Pada Suatu Ketika


Cappuccino pertama di bulan Desember 2014.
Sedikit pahit dan asam.
Menggoda seluruh inderawi.

Tak ada yang mengingatkanku untuk membawa payung. Kedinginan karena setengah kebasahan. Hmm, tak apa-apalah. Lagipula, di malam hujan dan di sudut kafe yang temaram ini, siapa sih yang akan memperhatikan gadis gembel bercelana belel berkaus gombrong dengan laptop di hadapannya? Hanya orang iseng mungkin.
Ceritaku hampir jadi. Yup. Sudah klimaks dan tinggal penyelesaian. Mencari happy-ending yang pas tanpa terkesan dibuat-buat adalah seni yang sedang kupelajari sekarang ini. Gampang-gampang susah. Editorku, mbak Ririn, sudah mewanti-wanti supaya ending kali ini nggak terlalu mellow dan lebih tough.
Si handphone bergetar lembut minta perhatian. Rupanya ada beberapa pesan online yang masuk.
“Kamu dimana? Belikan Mama bakwan dan sate kambing di pertigaan gang ya sayang,” Si Boss. Alias mamaku. Bernada perintah dan tanpa ada ruang diskusi. Artinya kebelet makan kambing. Harus beli dengan hati ikhlas. Absolute order.
“Mbak, sepatunya yang abu Echi pinjem ya. Tar dibalikin,” si Mpus Meong. Yang abu yang mana ya? Perasaan yang abu mah baru beli belum go public deh. Bernada maksa tanpa syarat dan ketentuan berlaku. Artinya dibalikin kalo inget. Kalo ngga, ya jadi hak milik. Waduh kacau.
Belum selesai aku membalas, Si handphone bergetar kembali. Seseorang menelpon. Tanpa identitas. Rasanya aku kenal nomor itu. Ooh ya. Tentu aku kenal. Aku selalu mengenalnya seakan ruang dan waktu tak berjarak.  Menyusut hingga seperti kemarin dan sedekat debaran jantung.

Sejenak ia nikmati ringtone-nya Yogyakarta Kla Project. Tak ada yang istimewa. Hanya saja ia tahu Jogja pernah begitu berarti dan masih lekat, syahdu dalam ingatannya. Ia kenang satu nama. Andro.

***

Jogja, 2010.
Kopi hitam pertama di bulan Oktober.



Agak pahit sedikit manis dan asam di ujung lidah. Sensasi tradisional nan berkelas.
Mengajak raga bertualang.

Moncong Nikon-nya mengarah luwes ke semua angle yang cantik yang dapat dipikirnya. Cukup untuk beberapa sesi hunting kali ini. Lansekap pantai, laut dan ekosistem dipantai tak bernama ini sungguh menggodanya. Memaksanya untuk mencicipi nuansa kemping disini. Besok ia akan bertemu Dimas untuk menyerahkan foto dan artikel feature-nya. Sebulan sudah ia freelance fotografer di jogja.
“Sundak nama pantai ini,” seorang pria berkata dari jarak 2 meter.   Beranjak keluar dari lensa intipnya, Anin melirik pria bercelana jeans biru yang digulung ujungnya, tampaknya ia telah bermain air di pantai itu. Beberapa garis pasir melekat di kaus hitamnya. Sang pria tersenyum. Nyess di hati Anin.

Sejenak menikmati deburan ombak



“Ohya,” sahut Anin, “Terima kasih banyak atas infonya. Kebetulan saja saya kemari bermotor dan menemukan pantai indah seperti ini. Di Jogja banyak pantai yang cantik ya?” Matanya segera menangkap burung yang melesat terbang rendah di buihan ombak yang tenang dan menjepretnya dengan kamera. Keburu hilang momennya nanti.
Pria itu masih berjarak dua meter dan ia menerawang horizon seraya membait-kan sebuah puisi,
“Angin dingin menari laksana panah berkelana
Dia tak tergoyahkan batu karang
Hanya bisu dan kelamnya malam
Temani sunyi mencari jiwa
Adakah seseorang dalam bintang?”

Anin menghentikan sejenak aktivitasnya dan merenungkan ulang kata-kata dalam puisi barusan. Mengapa kedengarannya sunyi sekali? Sepi begitu.
“Puisi yang indah,” Anin berdeham demi kesopanan, “Cuma sayangnya saya kurang paham maksudnya. Hehe.”
“Apakah perlu dikatakan, jika hati sudah merasakan keindahannya?” sang pria mengulurkan tangannya untuk bersalaman, “Nama saya Andro.”

***

Perkenalannya dengan Andro di pantai Sundak adalah suatu kebetulan. Tapi sebenarnya tiada yang kebetulan kan? Bahwa Anin harus mencari sebuah destinasi wisata pantai untuk artikel majalahnya adalah takdir. Sudah digariskan. Bahwa Andro saat itu harus putus dengan kekasihnya karena ternyata sang kekasih dijodohkan orangtuanya, adalah takdir. Bahwa keduanya memutuskan untuk berkenalan dan menjalani hubungan pertemanan, itu adalah takdir. Tak lebih karena hati Andro yang hancur dan Anin tak mau pusing dengan urusan cinta.
Anin betah di Jogja. Kota yang bersahabat. Ia kost di daerah Kaliurang. 

Kaliurang


Kadang kalau sudah menuntaskan deadline dan ia merasa harus istirahat sejenak, Andro-lah yang menjadi sahabatnya. Menjadi tumpahan curahan hatinya, bahwa ia kangen. Kangen mama, kangen Echi adiknya, kangen papa yang sudah meninggal. Jam berapa pun, Andro akan datang ke tempat janjian mereka bertemu. Sekali waktu di jam 3 pagi di restoran Kaliurang (yang masih buka, sebab angkringan sudah tutup), mereka membicarakan banyak hal, kecuali politik. Anin jenuh dengan rutinitas freelance. Ia ingin sesuatu yang lebih menantang. Andro adalah pengusaha mebel, usaha warisan turun-temurun dari orangtuanya. Generasi ke-4. Andro juga bilang jenuh dengan keseharian, seperti tidak ada greget.
“Apa karena tidak ada cinta?” Andro beretorika. Anin memutar bola matanya. Sudah lama ia enggan menyapa cinta dengan laki-laki.
“Apa yang mau kau lakukan selanjutnya?” tanya Andro.
Anin mengedikkan bahunya, galau. “Entahlah, Dro,” Ia meliarkan matanya ke sekeliling restoran, sepi. “Kurasa aku butuh penyegaran. Mungkin 2-3 tahun di luar negeri atau menjelajah Indonesia, mungkin seperti kamu yang hobinya bikin usaha baru. Atau bikin majalah sendiri, menarik bukan? Yang jelas aku ingin kabur dari sini. Dan merasa rindu akan Jogja..”
Kalimatnya menggantung, air matanya tak terasa meleleh, ia tak tahu mengapa. Andro tak kuasa menatapnya, menunduk dalam-dalam, rasanya ia mencium aroma perpisahan dengan jelas. Sudah 1 tahun mereka berhasil bersahabat tanpa embel-embel asmara.
Mamanya Anin sering menggodanya berkata bahwa tak ada persahabatan murni di antara wanita dan laki-laki. Tak percaya, buktinya mereka bisa bersahabat selama 1 tahun belakangan ini.

Anin menyelipkan kalung berliontinkan lempengan perak di atas meja. Lempengan perak itu sebenarnya bisa diukir dengan nama, tapi Anin memutuskan untuk mengosongkannya. “Buatmu. Aku kasih pinjam. Tak usah dipakai karena norak. Dan kembalikan lagi kalau suatu saat kita ketemu.” Anin berjalan meninggalkan gelas kopinya yang nyaris kosong. Berjalan menjauhi Andro yang masih terkejut dengan sikap Anin. Berjalan pergi dari kehidupannya. Tanpa tahu kapan akan kembali. Semacam perpisahan sementara namun tak dikatakan secara tersurat. Hanya tersirat. Untuk beberapa tahun kemudian mereka berpisah tanpa saling menyapa..

***

2012.
Anin berada di seberang gunung Fuji, lisannya tak henti bertasbih. Ia terkenang mama, Echi, dan Andro. Ia akan pulang untuk menemui mereka, sekaligus liputan di Indonesia.

***

Agustus 2014.
Kopi pahit tanpa gula.
Senikmat malam ditemani bintang-bintang.



Pada siapa ku harus mengadu? Mama dan Echi menjadikannya sandaran dan tumpuan dalam hidup. Ia menampung segala keluh kesah mereka dan mencarikannya solusi. Ia telah terbiasa. Urusan hidupnya adalah urusannya sendiri. Ia butuh teman bersandar. Ia butuh jawaban atas doanya. Ia ingin ke Jogja. Resolusi awal tahunnya untuk sowan ke Jogja tak kunjung ia lakukan. Ia takut. Takut mencederai suatu hubungan. Ia sudah menulis satu buku. Tentangnya. Dan tentang mimpinya. Haruskah ia membuat suatu pengakuan? Jika hati sudah merasakannya, perlukah lisan berbicara? Justru itulah. Harus. Supaya sinkron.
Hari berganti. Bulan berlalu. Sudah pertengahan tahun. Mungkinkah resolusi hanya sebatas resolusi?
Kopinya pahit, dengan suatu janji manis di ujung lidah. Membuatnya sedikit menaruh harapan.

***
November 2014.
Lembang yang dingin. Hujan membuat suasana berkabut dan jarak seakan samar. Suara-suara sayup meningkahi gemericik gerimis. Syahdu yang ramai di tengah malam. Tiada bintang, hanya hujan. Bahkan menggodanya untuk menarik sarung lebih erat mengusir dingin. Di bale-bale panggung rumah itu, duduk di sampingnya Mang Asep yang bercerita mengenai tradisi kampungnya di Lembang ini. Kali ini Anin menulis feature. Ia jadi ingin pulang ke Bogor. Dan Jogja. Rumah keduanya.
Desember 2014.
Andro mengabarinya bahwa ia akan menikah dengan gadis pilihan ibunya. Dari keluarga pengusaha batik. Cocok katanya dalam hati. Cemburu dan sedih. Cemburu karena Andro tak bisa setiap saat siaga membantunya, menampung jeritan hatinya lagi. Sedih karena ia akan ditinggalkan. Sendiri lagi. Rasanya ia tak sanggup. Sudah cukup edisi satu. Ia ingin ketemu Andro, mau mengutarakan isi hatinya. Beruntung Andro juga mau menemuinya mengantarkan undangan.
Sabtu sore, Anin ke Jogja, untuk kali ini tidak di angkringan tapi di restoran yang agak sedikit mahal dan berkelas.
Aku cinta kamu. Itulah kalimat pertama yang dilontarkan Anin begitu bertemu. Andro sedikit kikuk. Namun ia hanya tersenyum.
Andro duduk di seberang meja dan tersenyum manis seperti 4 tahun yang lalu saat pertama mereka bertemu. “Tidak,” katanya, “Akulah yang lebih dulu mencintaimu.” Andro berkata mantap.
“Bahkan saat kau di belakang kameramu dan aku masih menangisi diputuskan karena perjodohan sepihak, rasanya aku sudah mulai mencintaimu. Namun aku tak menyadarinya.”
Butuh waktu yang lama untuk menyadarinya. Mama yang pertama menyadarinya. Ada banyak kesempatan untuk bilang sayang. Ada banyak kesempatan untuk menjalin kasih. Namun persahabatan yang mereka junjung tinggi nilainya terlalu kuat. Jika sudah begini, manakah yang didahulukan? Bakti kepada orangtua kah? Atau rasa cinta yang teruji waktu?
Anin menangisi kebodohannya. Mungkin ini sudah takdir. Andro menatapnya dalam-dalam. Demi melihat mascara yang mulai pudar dan berleleran di sekitar pipinya, Andro menahan tawa untuk menyampaikan maksudnya.
“Ternyata butuh waktu 4 tahun untuk mendengarkan dan mengakui bahwa kau mencintaiku. Memang ibuku sudah menjodohkan aku dan Ira. Namun kami sepakat untuk menolaknya karena Ira sudah punya pilihannya sendiri. Dan aku hingga saat ini masih menunggumu menyadari keberadaanku. Lama juga ya.” Andro tersenyum lebar.

Anin tertegun. Jadi undangan itu? Undangan itu bohong belaka. Untuk mengetes saja. Cukup berisiko tapi sepadan harganya. Anin tak kuasa menahan tangisnya. Ia sudah menemukan jawaban atas doanya. Bersama Andro. Di Jogja, kota kenangan.