Senin, 27 April 2015

Senja di Batas Kota (Part 2)



Seminggu kemudian …
Sketsa jalan tol itu berada di hadapan Dio. Ia masih belum menandatanganinya. Malah Pak Aswin, asisten Mala yang mengantarkan. Haruskah ia mengatakan cintanya kepada Mala? Itu akan seperti menyerah terhadap Mala. Tapi itu memang kenyataannya. Ia merasa seperti ingin menyanyi. Dan menari. Padahal ia tak suka menari. Saat tujuh belasan dulu ia benci jika disuruh tampil menari di panggung. Kini ia merasakan dorongan untuk itu.. Kalau saja boleh memilih dengan siapa ia harus jatuh cinta, maka Mala adalah pilihan ke-10 nya. Nahas. Nyatanya tipe wanitanya berlainan dengan karakter Mala.

Baiklah, cukup sudah ia bersikap arogan. Dio segera menandatangani proposal itu singkat dan cepat. That’s it! There’s no turning back. Hmm, so long my love. Adios mi amor

Hah. Macam mana pula. Seperti mau berakhir saja hidupnya. Calm down bro, there’s plenty of pretty young ladies.. otaknya berpikir dan hatinya berkata bahwa bukan itu jawabannya. Bersama dengan diawalinya pembangunan proyek ini, maka berakhirlah permainannya selama ini.
Dan kemana saja sih Mala itu? Sopan sekali, hanya mengirimkan asistennya dalam urusan terakhir ini. Dio tersenyum kecut. Lagaknya seperti dipecundangi bawahan. Oke, untuk kali ini kau bisa lolos…

Ia sendiri tak yakin, siapa yang berhasil lolos dari permainannya ini…

Mala berjibaku menambahkan detail akhir sketsanya. Kantor sudah sebagian gelap. Walau sudah ditandatangani Dio, ia melihat masih ada saja yang perlu direvisi. Good work always needs a perfect detail

Mala pulang hampir jam 1 pagi. Hatinya kegirangan dan nyaris menceburkan diri di kolam dekat apartemennya, demi memikirkan besok akan memulai pekerjaan seorang sipil yang sebenarnya. Kepalanya meletup-letup. Tak sabar. Ia mau buru-buru tidur.

Sebelum beranjak ke peraduan, Mala merasa ada sedikit rutinitas yang hilang. Ia mencoba mengecek smsnya. Nothing. Sebelumnya, kadang jam segini pun ia bisa bercengkerama dengan Dio lewat media apapun. Kini, gangguan itu hilang seketika. Tak ada apa pun. Tak ada sms iseng. Sms kosong atau yang lainnya. WellI guess it ended here.. she sleep away as she close her eyes…thinking about something else…


5 bulan kemudian.


Mala memainkan gitar melodinya. Ia memainkan Bizarre love triangle-nya Frente. Make-up nya belum juga dihapus. Ia memejamkan mata. Ini adalah bulan kelima sejak mulainya pembangunan jalan tol. Kok ya jalan tol mesti lama banget sih? Ada apa ya? Entahlah. 

Aku selalu suka hujan
Hujan adalah berkah
Rahmat dari Yang Mahakuasa

Aku selalu suka hujan
Dari rintikannya, kudengar dan kuresapi nyanyianmu
Gerimisnya adalah kebahagiaan
Jatuh membuyar di danau, hutan, dan laut
Membasahi tanah yang harum baunya

Oh Tuhan
Aku selalu suka hujan
Mengingatkanku akan sesuatu
Saat aku berada di ketinggian
Dan kami hanya ditemani angin, air hujan, dan gemuruh
Suryakencana menjadi saksi
Atas ketidakyakinan, atas bisikan hati
Atas harapan, atas kenekatan untuk berjuang hidup
Kami pertaruhkan hidup dalam derasnya hujan

Pada Desember yang dingin itu
Disaksikan kumpulan edelweiss yang belum mekar
Lakukan apa yang harus dilakukan
Lakukan atas apa yang menjadi keyakinan
Lakukan hidup bagai selamanya

Dingin, beku, basah, gemetar, survival
Sepi, angin kencang, doa yang terjawab
Persahabatan selamanya, tenda di pinggir padang savanna
Gelap, berkabut, bersama, memasak
Bercerita, bermain, bertukar tawa
Bekerjasama, membuat kisah
Membuat asa, menunggu kisah dari seberang Geger Bentang..
Yang tak kunjung datang
Hangat karena panasnya kopi
Dingin karena padamnya imaji
My friendthere is a million wind chimes out there, but..
We have made it
Satu kisah untuk dikenang selamanya

(Untuk Dio yang berada entah dimana, tapi bisa kurasakan kehadirannya). Was it too late to follow my passion? I mean, in this old age..

Meskipun sudah beberapa bulan berlalu, rasanya baru kemarin memulai. Ini proyek besar. Ini menjadi salah satu penanda karirnya. Bagaimanapun karir internasionalnya melejit, tapi jika ia belum menyumbangkan sesuatu yang benar-benar Indonesia seperti ini, maka ia berpikir belum berguna sebagai warga negara. Oh yeah, I am definitely serious to be a good citizen. Semuanya sudah ia kerahkan. Best sketches, best network, best scene, high-skilled employee, best budget, best place, best working schedule, all the best money and time could buy.
Tidak, ia belum bekerja maksimal. Kalau ia sudah bekerja maksimal, lalu kenapa perasaannya semakin tidak karuan? Why she feel awful? She has done a great wonderful job, hasn’t she? Proyek sudah 75% loading. She’s in good health. Mama baik-baik saja.
Kalau ia sudah bekerja maksimal, kenapa ia dilanda gundah gulana? Ada yang salah? Apa yang salah? Ya, pejamkan mata seperti ini dan nyaris semuanya tergambar. Sebenarnya kalau mau jujur, ia sudah tahu jawabannya. Jawaban yang membutuhkan dua-pertiga nyali dari seluruh hidupnya. Mengakui sesuatu dan melakukan sesuatu yang akan menurunkan harkat dan martabatnya: melamar Dio. Euh, sangat tidak dirinya, dimana gengsi dan harga diri adalah yang paling menentukan sikap hidupnya. Ia tak akan pernah mau begitu. Jangan pernah berpikir. Don’t even think of that… but, I thought about it in here (in my head) and here (in my heart). Dear God… Hati dan pikirannya berkecamuk begitu lama, hingga ia kesal sendiri. Dilemparnya headphone ke tempat tidurnya. Gitarnya terbaring di lantai sedang ia duduk menyender dekat jendela kamarnya, menerawang bulan yang muncul setelah hujan merintik dan saling menyapa untuk sementara. Awan gelap perlahan membuka jalan untuk sinar rembulan. Sungguh scene yang bagus untuk minidrama tentang kegalauan hidup gadis di puncak karir. Ia tertawa sinis dalam hati.
Aku ingin…
Apa yang sebenarnya kuinginkan, my dear?
I just want to be happy. I need a shoulder to cry on, my Dear God…
I just want to feel relaxed. Taking all of my burden and pfiuuuh…just let it go…
Okay, let’s deal with it. And say it now.
I want to be on his side. With Dio. Right now, it s the most logical fact i’ve known. Then why can’t I be with him now? Hmmm, it’s complicated though.

Ia berpikir untuk menundanya. Menunda bertemu Dio dan menyatakan perasaannya sungguh pilihan yang tepat untuk saat ini. Pusing ia memikirkannya. Untuk apa berpayah-payah memikirkan sesuatu yang bahkan orang itu tak peduli. Dio pasti tidak peduli.
I think I’m in love

Mala tidur setelah membersihkan wajahnya dan setengah jam menulis cerita pendek tentang kegalauan seorang gadis. Ia sedikit lebih baik dan tidak mau memikirkan esok. Carpe diem.
Ia berjanji untuk tidak bertemu Dio selama satu bulan. Bulan berikutnya. Bulan berikutnya. Dan bulan berikutnya. Dan bulan berikutnya.

(bersambung ..)


Gambar:
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg2inyw7C__2ZXPl_Kff_C1g3vGKoJX7fPHDwCmF-pOsUkBRxV9ViT_3c0rX_gEOA571ntzzOvsGc2VnavyQSd1mk9Add9LNvoK0YyL3U6IrVu0GHvnTI8ZtuT6iIkzf6o-wUxdjXBKCB-q/s1600/ilaefh.jpg
http://www.achilez.com/wp-content/uploads/2011/08/achilez-blog-danbo-ajax-danboard-365-faces-danbo-playing-guitar-happy-monday-2011-650.jpg

Tidak ada komentar:

Posting Komentar