Senin, 27 April 2015

Senja di Batas Kota (Part 4)




Mama menjemputnya di bandara dan tante Hani memberinya sekotak coklat sebagai hadiah selamat datang, mereka sepertinya sehat dan masih selalu meributkan kemacetan yang seperti tiada akhir. Mala bersyukur.




Tante Hani selalu tahu apa yang Mala sukai:)

“Gimana proyeknya?” Tante Hani mengalihkan pembicaraan dari topik kemacetan. Seraya meninggalkan bandara menuju Jakarta.

“Oke saja tan, tinggal ketemu wartawan saja besok,” Mala berusaha biasa saja, meski hatinya sedikit kelam, “setelah itu selesai.”

“Oh. Mama seneng deh dengarnya. Mulai bulan ini kamu stay di Bogor lagi, kan? Jangan sering-sering tinggalin mama dong, Mala” mama merajuk, seraya berbisik di kuping Mala katanya papa bangga kamu bisa bikin sesuatu kaya gitu. Tante Hani berdeham. Mala tersenyum. Sangat khas keluarganya. Ia rindu mereka. Ia juga kangen Rere. Anak itu belum membalas email terakhirnya dua hari kemarin. Mungkin sedang sibuk praktek. 

“Iya Ma. Terima kasih…” hanya itu yang ingin Mala ucapkan saat ini. Entah kenapa ia menjadi melankolis, menatap ke luar tol Jakarta yang kini digelayuti awan yang mendung. Mala kembali untuk konferensi pers jalan tol di Jakarta. Acara itu dihadiri oleh petinggi-petinggi negeri, pejabat, bos-bos besar, staf Mala, kementerian yang terlibat, para awak media dalam dan luar negeri dan tentunya Mala. Tentunya ada banyak kilatan foto nanti, maka ia harus tampil sebaik mungkin, sebagaimana kerja professional terakhirnya dalam suatu proyek. Tentu saja Dio akan hadir disana. Ia harus tegar.

Sebenarnya tidak ada yang salah sih. Lancar. Teramat lancar malahan. Beberapa orang penting dan stakeholder memberikan sepatah dua patah kata yang patah-patah untuk bahan tulisan awak media. Mala hanya memberi pernyataan yang mengungkapkan kegembiraannya bahwa proyek ini selesai tepat waktu. Itu saja. 

Pejabat dan semua pihak hampir semuanya puas atas kerja tim Mala. Sebagian besar menyatakan keterkejutannya, dalam arti positif, bahwa Penanggung jawabnya adalah seorang perempuan yang masih muda (pula!), dan di akhir acara, beberapa media malah menghampirinya dan berniat untuk membuat video FT khusus tentang Mala. Itu adalah beberapa hal baik yang terjadi. Para petinggi itu juga ada yang sengaja bertukar kartu nama dengan Mala hanya untuk mengetahui nomor telepon asistennya (Mala mencantumkan nomor telepon asistennya di kartu namanya, bukan nomor aslinya). Dan plus, Mala tampil sebaik mungkin dengan gaun baru rancangan seseorang yang dipaksa untuk dipakai Mala oleh mamanya. Gaun itu berwarna biru lembut dan sekaligus memberikan efek intensif. Yang melihatnya akan terkesima saat itu juga.

Harusnya Mala bahagia. Tapi ternyata tidak. Sepanjang acara, Dio terlihat sengaja menghindari Mala. Hanya saling menyapa di awal acara sebagai bagian dari kesopanan belaka. Dio berdiri di pinggir seksi kementerian, tanpa pernah berpaling padanya. Mala tersisih. Ia kecewa, sedikitnya ia masih berharap Dio akan menyuruhnya push-up, bercanda tentang keberhasilannya mengerjakan proyek lokal, menyindirnya, atau apalah yang menandakan reaksi normalnya jika bertemu Mala. Well, itu tak terjadi. Dio hanya tersenyum manis, berbasa-basi sebentar mengenai kabar dan cuaca, serta kemacetan dan hujan. Lalu ia pergi, bergabung bersama kawan-kawannya di sana. Tak terjangkau.
Mala tak bisa berbuat apa-apa, jadi ia hanya membalas dengan jawaban yang sekadarnya. 

Apa yang harus dikatakannya saat itu, bagaimana kabarmu pak? Masih suka menyelam? Atau kapan kita akan main di Bunaken atau Raja Ampat lagi? Saling sindir seperti biasa, bercanda di media sosial. Mala pikir itu sudah bagian dari masa lalu mereka. If they were had one. Punya masa lalu, maksudnya, yang benar saja.

Mala baik-baik saja. Dio sangat baik, sehat dan tambah gemuk sekarang. Terakhir melihatnya adalah bulan Mei, dan itu sekitar 6 bulan yang lalu. Waktu berlalu begitu cepat. Bulan November mengaburkan ingatan rupanya. Yang berubah dari Dio adalah satu. Matanya. Tatapan matanya tidak pernah menatap langsung mata Mala lebih dari 3 detik. Palsu. Hanya untuk etika dan kesopanan. Benarkah? Dio tidak mau berjarak dekat dengan Mala, karenanya menghindari dengan berada sejauh mungkin dari meja kelompok Mala, ketika acara makan malam. Pun ia juga dikerubuti oleh wartawan. Malam ini, tersirat, ia adalah bintangnya. Ia bersinar.

Dio berpura-pura baik-baik saja. Seperti tidak terjadi peristiwa apapun di antara mereka. Mala berpikir seharusnya Dio minta maaf padanya atas tuduhannya yang tidak benar, yang menyebabkan ia pergi dari lokasi seminggu sebelum konferensi pers. Sungguh tidak professional meskipun sebenarnya sudah selesai tugasnya. Tekanan yang tidak tertahankan dan sikap Dio yang tidak mendukung, adalah penyebabnya. Mala enggan mengakuinya.

Di sesi makan malam, salah seorang wartawan yang mengerubutinya bertanya, “Mbak, setelah menyelesaikan proyek ini, apakah akan terus mengerjakan proyek pemerintah atau fokus di dunia karir internasional?” Selama ini reputasi Mala memang lebih mentereng di dunia internasional daripada di dalam negeri.

Mala tertawa renyah, “Waduh, berat sekali pertanyaannya.” Mala diam sejenak, “sepertinya saya mau liburan dulu. Next project will have to wait. Untuk berapa lamanya, saya belum tahu. Masih ingin santai dulu.” Seketika ia berpikir untuk mengambil master di Inggris, Jerman atau Perancis. Mungkin menikah dan punya anak juga merupakan rencana yang bagus. Bersama Dio. Malam berakhir dengan aroma kebekuan yang menguar di antara Mala dan Dio. Tidak tegur sapa, tidak tegur canda. Hanya do’a-do’a yang tak terjawab.

^^^

Rere pulang ke Indonesia untuk liburan musim panas. Sebelum memulai ujian akhir, ia memutuskan untuk memberi kejutan pada kakaknya. Mala sedang asyik membuka majalah di kamar, ketika Rere menghampiri.
Rere mendekat dan duduk di bangku samping ranjang.


Aku mau ke Jogya. Jalan-jalan santai, kata Rere sembari asyik rebahan di bangku


“Mbak, kita kuliner yuk. Sudah lama kita nggak hang out bareng. Magang bener-bener menguras tenaga dan pikiran. Makanya, aku ingin refreshing, ngga mau mikirin kerjaan dan kuliah dulu. Mau kuliner yang enak dan seru-seruan di Indonesia.”

“Memangnya kamu mau kemana sih?” tanya Mala dengan tatapan yang mengisyaratkan kecurigaan. Ia bukannya tak mempercayai Rere, karena kali terakhir ia diajak main adalah ke Bunaken yang membuatnya keranjingan menyelam. Main sejauh-jauhnya. Rere adalah adik yang jarang dijumpainya. Maka untuk satu permintaan, ia akan memenuhinya begitu saja.

“Aku mau ke Jogjakarta. Jalan-jalan santai saja.”

“Jalan santai…?!” gumam Mala menahan geli. 
Definisi kata santai menurut Rere kadang tidak sesuai dengan arti harafiah dalam kamus. Santai-nya Rere kadang memicu adrenalin dan menantang jiwa petualangan. Meskipun demikian, tidak ada salahnya toh? Lagipula sepanjang tahun ini, ia sudah bekerja keras membangun satu proyek megah untuk kemajuan bangsa dan negara. Sudah sepatutnya ia mendapat hadiah dan pengalaman yang luar biasa, bukan?

***

Culinary time.
Lilin-lilin di restoran itu menyala redup dan syahdu. Alunan swing jazz mengiringi suara penyanyi yang riang di nada alto. Pengunjung memenuhi hampir seluruh sudut restoran. Peak season. Sibuk. Di sisi kanan restoran, foyer dengan anggrek berwarna ungu dan putih menyembul di dindingnya menambah semarak suasana. Di dekatnya, terletak meja 7 yang diisi sepasang ibu dan anak laki-lakinya, makan malam dalam suasana semi formal.

“Apa memang ngga ada laki-laki yang lebih berkompeten mengurusi pekerjaan sebesar itu, nak? Ibu paling ngga suka anak perempuan merintah ini itu sama anak laki-laki. Ngga sopan.”
Dio tersenyum berusaha menenangkannya, toh semua sudah selesai.

“Namanya Mala, ibuke. Dia seorang professional dan pekerjaannya bahkan sudah diakui dunia internasional. Dio hanya merekomendasikannya saja. Masalah dia jadi selebritis saat ini, itu mungkin pembawaannya. Itu bukan tanggung jawab Dio, bu.”

“Tapi dia itu bergaulnya sama laki-laki. Kamu jangan sekali-sekali dekat-dekat wanita seperti itu. kerjanya di lapangan, perempuan kok senangnya kerja kasar.” 

(bersambung..)


Gambar:
https://healingthoughtsblog.files.wordpress.com/2012/06/box-of-chocolates1.jpg

Tidak ada komentar:

Posting Komentar