Senin, 27 April 2015

Senja di Batas Kota (Part 5)


restaurant with a nice foyer, jazzy.



Di pojok lain restoran itu….
Bertemulah dua anak manusia yang telah lama tidak berjumpa.

“Aku tidak pernah menghubungimu karena khawatir akan ada yang marah,” Mala menggumam.
Laki-laki itu paham ke arah mana pertanyaan itu, bahwa Mala ingin tahu apakah dia sudah berkeluarga atau belum.

“Siapa yang marah? Lha wong aku masih bujangan dan tinggal sama keponakanku di Aussie. Justru aku mau minta maaf Mala.. pertunangan kita harus putus karena orangtuaku yang menjodohkan aku. Tapi ternyata, malah aku yang dicampakkan oleh pihak rekan bisnis ayah. Perjanjian nikah itu adalah urusan bisnis semata, aku pun sama sadarnya ketika dipaksa untuk setuju. Untunglah perempuan itu lebih memiliki akal sehat dan lari bersama pilihan hatinya. Orang tua kami kecewa namun tidak menyalahkan siapa-siapa. Karena kami toh sudah sama-sama dewasa. Hanya saja, ketika alasan untuk menemuimu sudah kutemukan, engkau masih tak jua mau bertemu denganku.”

Rere yang sedang terburu-buru, menyenggol pelayan yang berdiri di samping meja Dio. Ia segera minta maaf, dan sekilas Dio merasa pernah melihat Rere. Rere dan Mala sangat mirip.

Ternyata, Mala sedang menunggu gadis itu di bagian restoran sebelah kiri bersama dengan seorang pria. Roni nama pria itu. Rere sengaja datang terlambat karena sengaja sudah menyiapkan kejutan ini sebelumnya. Kejutan untuk menghadirkan Roni ke hadapan Mala. Roni dan Mala memiliki masa lalu bersama, namun kondisi menyebabkan hubungan mereka renggang tanpa kata putus jalan masing-masing. Roni adalah seorang pengusaha mebel yang kini menetap di Australia.

“Hei, mbak, mas. Sori ya, aku telat nih. Ada janji dulu dengan calon pasienku.” Rere menyeringai beralasan. Meskipun hal itu benar, tapi keduanya sudah sama-sama tahu rencana Rere untuk men-setting pertemuan ini. Mereka maklum dalam diam.

“Ngga apa-apa kok. Justru saya yang berterima kasih sama Rere. Selama ini, saya mengetahui berita kamu dari Rere. Sejak kepergianmu, saya mencoba menghubungi tapi selalu tidak ada jawaban. Saya bersyukur atas pertemuan hari ini. Terima kasih sudah mau datang kemari.” Roni berujar panjang lebar.

“Mala tak ingin menghubungimu, karena ia masih cinta,” Rere tersenyum tidak bersalah. Mala menginjak kakinya di bawah meja, seraya mengaduh. Habislah kau nanti adikku sayang.
Di meja lain, Dio memperhatikan gerak-gerik mereka. Sehingga apa yang diomongkan oleh ibundanya, tidak banyak masuk telinga. Suasana hatinya mendadak keruh, hilang selera makan, dan ingin sekali mengobrak-abrik restoran yang tenang itu. Siapakah laki-laki itu? Tampaknya arah duduk laki-laki itu condong ke arah Mala. Sudah jelas bukan? Apa sih yang diobrolkan mereka sehingga Mala bisa tertawa lepas seperti itu? Untuk alasan apa ia marah? Toh Mala bukan siapa-siapanya Dio. Kontrak kerja pun beberapa hari yang lalu sudah selesai. Tak ada kewajiban Mala yang harus digugurkan kepada Dio. Kini, mereka hanya sebatas kenalan kerja professional.

Dio berdiri, mengagetkan ibunya yang sedang menyantap dessert pudding mount brulee chocolate. Ia berjalan pasti menuju meja Mala, Rere, dan pria tak dikenal itu. sopankah? Masa bodoh.


puding mount brulee chocolate

“Hai, maaf mengganggu. Saya Dio. Temannya Mala. senang bertemu dengan Anda sekalian,” Dio menyalami Rere dan Roni. Mala terkejut dan bertanya-tanya sepersekian detik apa yang terjadi pada mantan bosnya ini. “Boleh duduk di sini?”

Obrolan mereka jadi sedikit canggung. Dio hanya bertegur sapa sebentar dan mencoba menegaskan hubungan kerja yang pernah dimiliki Mala dan Dio sebelumnya. Roni tersenyum geli, menangkap apa yang sedang terjadi di sekitar mereka. Ia tak banyak bicara. Dio segera kembali ke mejanya dan menjelaskan sekadarnya pada ibunya. Ibunya jelas kurang suka dan memberikan sedikit tatapan sinis pada meja Mala.

Setelah itu, makan malam berjalan lancar, agak kaku sebelum berpisah. Tak ada janji temu, hanya menggantung. Mala capek sekali hari ini, ia tak ingin menyalakan ponselnya, ia tak ingin tahu apa yang terjadi di luar sana. Besok harus menunggu.

Dio mencoba menghubungi Mala berpuluh-puluh kali dan hanya mendapat jawaban pesan telepon. Jadi, ia mencoba meng-email Mala. Tidak gentleman, tapi apa yang dapat diperbuat seorang laki-laki yang dilanda rasa cemburu? Ia segera mengetik suratnya. Apa kabarmu Sayang? Baru saja kita tak bertemu sebentar, kamu sudah punya gandengan baru rupanya. Hm, kalau boleh tahu siapakah dia? Apa benar dia pacar barumu? Tolong katakan yang sejujurnya. Aku..

Dio berpikir isinya sungguh lucu, pun saat ia marah seperti ini. Isi surat itu seperti kecemburuan seorang anak kecil yang tidak ikut diajak bermain. Ditinggalkan. Apa boleh buat. Send. Sent. Mandi di bawah siraman shower setidaknya cukup untuk melegakannya malam ini. Tak usah dibalaspun, Dio sudah tahu bahwa itu pacar barunya Mala. Bagi gadis seatraktif Mala, tak susah mendapatkan pria manapun yang diinginkannya. Begitu pikirnya. Benarkah? Dio tak pernah menyatakan sukanya pada Mala, hanya menggombal.

(bersambung..)



Gambar:
http://media-cdn.tripadvisor.com/media/photo-s/07/05/83/71/white-chocolate-creme.jpg
http://www.theromanticholiday.com/sites/default/files/personalized%20dining%20thumb.jpg

Tidak ada komentar:

Posting Komentar